Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 18

"Pfft ...." Henri tidak bisa menahan tawa setelah mendengar omongan Cindy. Namun, wajah Andri menjadi masam. "Kamu sengaja! Itu mana mungkin!" Cindy menatap Andri dengan cuek. "Bukannya itu penalaranmu? Aku hanya ajukan persyaratan padamu sesuai penalaranmu sendiri. Apa salahnya?" "Barang di Museum Nasional itu tidak sama dengan kamar!" Andri sangat gusar. Sovian menyela dari samping, "Cindy, kenapa kamu pelit sekali? Itu hanya satu kamar, juga bukannya tidak kasih kamu kamar. Apa perlu begini?" Cindy hanya tersenyum. Ya, ada begitu banyak kamar, mengapa harus merebut kamarnya? Jeremy Kusnadi, putra dari Calvin, juga menyahut, "Andri benar, kamar bergaya putri dongeng itu memang disiapkan untuk anak kecil. Kamu juga belum tentu suka, kenapa harus rebut dengan anak kecil? Kalau tidak, aku kasih kamarku ke kamu, lalu kamu kasih kamar ini ke Yanny. Sudah, begini saja, jangan ribut. Sudah ribut dari kemarin karena satu kamar saja, benar-benar bikin malu." Sovian mendengus. "Ya karena dia. Dulu tidak ada masalah begini di rumah." Implikasinya adalah Cindy membuat banyak masalah setelah pulang. Linda-lah yang mengatur tentang kamar, tetapi semua orang merasa itu adalah kesalahan Cindy. Senyuman Henri menjadi dingin setelah mendengar ucapan mereka. Akan tetapi, sebelum Henri sempat berbicara .... Andri menyeletuk lagi, "Sudah jelas, kamu tidak mau kasih ...." "Ya, aku tidak mau kasih ...." Suara Cindy yang jelas terdengar oleh semua orang. Andri dan yang lain tidak menyangka Cindy akan menolak dengan lugas. Namun, Cindy berkata demikian. Mata Cindy yang jernih tenang tak beriak saat menatap mereka. Sejatinya, Cindy sering mendengar teguran semacam itu sejak kecil. "Sinthia adikmu. Sebagai kakak, kamu harus mengalah!" "Mana bisa rubah ini dipelihara di rumah? Bagaimana kalau Sinthia takut? Cepat buang!" "Kamu sudah hidup gratis di rumah ini, sekarang masih mau pelihara hewan? Cindy, kamu sengaja mau bikin masalah?" Cindy sudah terbiasa dengan "teguran" seperti itu. Namun, sudah terbiasa tidak berarti menerima. Semua orang hanya hidup satu kali. Mengapa aku harus mengalah karena kamu lebih kecil? Apalagi kamar itu disiapkan oleh orang tuanya yang menantikan kelahirannya. Kemarin Cindy baru tahu dulu ada orang yang menantikan kelahirannya. ... Yanny mengira kamar itu pasti akan jadi miliknya hari ini dengan bantuan kakak-kakak. Namun, pada akhirnya, Cindy si wanita jahat itu tidak mau mengalah! Kak Devina benar. Begitu Cindy pulang, dia bukan satu-satunya anak perempuan di rumah lagi. Semua orang tidak akan pilih kasih padanya seperti dulu. Lihat, Kak Henri pun tidak memihak padanya. Yanny makin marah dan langsung menangis. "Hiks, aku benci kamu! Pergi dari rumahku! Pergi!" Detik berikutnya, lorong itu menjadi hening. Bulu mata Cindy bergetar. Cindy berdiri di sana, tetapi ekspresinya tidak terbaca. Sovian dan yang lain juga tercengang. Walau bertengkar, Sovian yang paling sembrono di Keluarga Kusnadi pun tahu ada perkataan yang tidak boleh sembarangan diucapkan. Benar saja. Detik berikutnya, terdengar peringatan yang tegas. "Yanny!" Ketegasan yang belum pernah ada sebelumnya menghiasi wajah Henri ketika dia menatap Yanny. Yanny yang ingin merengek lagi langsung bergidik. Seketika, Yanny lupa untuk menangis. Tepat saat itu, dua orang naik dari lantai bawah. Adrian dan Calvin baru pulang dari perusahaan. Wajah Adrian tetap dingin dan tegas seperti biasa. "Apa yang kalian ributkan?" Hati Linda menegang. Sebelum yang lain sempat berbicara, Linda membawa Yanny berjalan ke sana dan menjelaskan sambil tersenyum canggung. "Anak-anak bertengkar. Ini salahku, tidak pikirkan baik-baik saat atur kamar Cindy. Yanny mau tukar kamar dengan Cindy, tapi Cindy tidak mau ...." Hanya dengan beberapa kalimat, Linda menyembunyikan detail bahwa kakak beradik itu memaksa Cindy untuk memberikan kamarnya, justru menegaskan bahwa Cindy tidak mau memberikan kamar. Henri mengernyit dan ingin menjelaskan, tetapi Calvin bertanya dengan heran, "Itu soal kamar saja. Bukannya sudah diatur kemarin?" Adrian mengernyit dan menoleh pada Cindy. Adrian berujar, "Soal kamar nanti dulu. Cindy, Ayah tanya kamu." Cindy secara refleks menoleh pada Adrian. Adrian bertanya dengan suara yang berat, "Hari ini, kamu pergi ke rumah Keluarga Sany, ya?" Cahaya melintas di mata Cindy, tetapi segera kembali normal. Cindy mengangguk. "Ya." Wajah Adrian makin tegas saat dia mengernyit. "Kemarin bukannya sudah suruh kamu jangan ikut campur dalam masalah Keluarga Sany? Ayah akan urus." Henri menyadari ada yang tidak beres dari sikap ayahnya. Henri maju ke depan Cindy dan bertanya pada Adrian, "Apa terjadi sesuatu?" Calvin yang berdiri di samping menjelaskan, "Keluarga Sany sudah telepon Kak Adrian. Katanya Cindy katakan hal-hal aneh pada Nyonya Irene sore ini. Mereka konfirmasi dengan Kak Adrian." Mendengar itu, semua orang serempak menoleh pada Cindy. Ada yang kaget, ada yang jengkel. Mereka semua jelas menyalahkan Cindy yang suka ikut campur. Dikarenakan penukaran intelektual yang Cindy katakan sebelumnya, Keluarga Kusnadi sangat waswas terhadap masalah Nona Keluarga Sany. Alhasil, Cindy pergi ke rumah Keluarga Sany dan beromong kosong. Apakah Cindy ingin merusak hubungan antara Keluarga Sany dan Keluarga Kusnadi? "Kamu mau apa? Ya sudah kalau kamu katakan hal-hal gaib di rumah. Kenapa kamu pergi ke rumah Keluarga Sany? Kamu tidak dengar apa kata Paman Adrian kemarin?" "Cindy, kamu terlalu sembrono. Ada proyek kerja sama antara Keluarga Sany dan keluarga kita," tegur Linda dengan nada kesal. Sovian juga menyeletuk, "Lihat, baru berapa lama kamu pulang? Sudah bikin banyak masalah!" Cindy berdiri di sana dan menatap Adrian, tidak menghiraukan cemooh orang lain. "Aku tidak bilang aku dari Keluarga Kusnadi." Calvin berkata, "Mudah sekali kalau Keluarga Sany ingin selidiki seseorang. Apalagi katanya kamu naik mobil Keluarga Christian ke sana." Cindy merapatkan bibir. Dia memang kurang perhitungan. Adrian menanyakan apa yang telah Cindy katakan pada Keluarga Sany. Saat menelepon, nada bicara Melvin sepertinya sedang menekan kemarahan. Cindy secara ringkat menceritakan perjalanannya ke rumah Keluarga Sany, termasuk pengamatannya bahwa Liliana mungkin akan berada dalam bahaya. Semua orang makin kaget lagi saat menatap Cindy. Datang ke rumah orang dan mengatakan akan ada bahaya, bukannya itu mengutuk orang? Cindy benar-benar sembrono! Adrian menatap Cindy dengan ekspresi tegas. Sesaat kemudian, Adrian berucap, "Kamu terlalu sembrono dalam hal ini. Sekalipun kamu benaran paham, kamu tidak bisa datang tiba-tiba dan bilang begitu. Ayah akan jelaskan pada Keluarga Sany, tapi kamu jangan urus masalah Liliana lagi." Adrian tidak ingin putrinya yang baru ditemukan kembali terlibat dalam masalah. Cindy membuka mulut dan ingin mengatakan sesuatu, tetapi Adrian berkata lagi, "Soal kamar, kamu kasih saja kalau Yanny suka. Ayah akan suruh pengurus siapkan kamar yang lain untukmu, kamu bisa dekorasi semaumu." Soal kamar tidak penting bagi Adrian. Dulu, kamar itu adalah bentuk kerinduannya pada Cindy. Sekarang Cindy sudah ditemukan kembali. Jadi, kamar itu tidak seberapa penting. Dibandingkan itu, Adrian tidak ingin Cindy yang baru pulang berkonflik dengan anggota keluarga yang lain. Jika tidak, Cindy tidak akan bisa berbaur dengan anak-anak di rumah. Adrian tidak tahu bahwa omongannya yang santai membuat Cindy terbengong. Sesaat kemudian, cahaya di mata Cindy perlahan meredup. Seolah-olah api yang melintas kilat di hutan tengah malam dan hilang dalam sekejap. Henri yang berdiri di samping berseru, "Ayah!" Ketika Henri ingin menjelaskan bahwa masalahnya tidak sesederhana itu, Cindy berkata dengan suara datar dan tenang, "Tidak perlu." Nada bicara Cindy datar, tetapi entah mengapa, terasa lebih cuek dari kemarin. Cindy menatap Adrian seraya berkata dengan suara datar. "Aku akan pindah keluar."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.