Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 17

Setelah meninggalkan vila Keluarga Sany, Cindy tidak pulang ke rumah Keluarga Kusnadi, melainkan naik taksi ke rumah sewaannya. Rumah itu seluas 80 meter persegi dengan dua kamar dan satu ruang tamu. Rumah itu disewa oleh Cindy dua tahun lalu. Ada partisi ruangan di ruang tamu untuk memisahkan area bermain Indah. Di sudut ruangan, ada tenda kecil yang berisi beragam mainan. Dua kamar itu adalah kamar tidur dan ruang kerja. Ada dua meja panjang di dalam ruang kerja. Satunya untuk menyimpan bahan dan alat ukir. Satunya lagi untuk menyimpan kertas jimat, tinta sinabar, serta beragam buku kuno dan artefak sihir. Kedua meja itu sangat kontras. Cindy berjalan ke depan dan mengemas barang-barang. Cindy tidak membawa apa-apa saat pergi ke rumah Keluarga Kusnadi. Jimat pelindung sudah habis. Untuk menukar kembali satu intelektual Liliana, Cindy harus membuat persiapan dari awal. Tepat ketika itu, ponsel Cindy yang diletakkan di samping berdering. Cindy melirik ke layar ponsel, peneleponnya adalah "Kepala Kuil Dharma". Setelah dipikir-pikir, Cindy menjawab telepon. Terdengar suara seorang pria tua di telepon. "Cindy, masalah yang kutanyakan sebelumnya itu, sudah kamu pertimbangkan belum? Jadi dosen tamu Perguruan Tinggi Taoisme Kota Timus. Bukannya kamu mau kuliah di Universitas Timus? Ada kerja sama antara Universitas Timus dan Perguruan Tinggi Taoisme. Kalauppun nilaimu tidak cukup, kamu bisa dibeasiswakan. Tapi menurutku, kamu hanya buang-buang waktu kalau kuliah. Dua tahun jadi dosen tamu Perguruan Tinggi Taoisme sudah jadi mentor kehormatan, setara dengan gelar doktor ...." Pria itu berceloteh, tetapi Cindy tidak merasa jengkel. Cindy memindahkan ponsel ke telinga yang lain dan mendengar sampai habis. Barulah Cindy menjawab. "Nilaiku harusnya cukup." Cindy berucap, "Tapi aku belum putuskan mau pergi ke Kota Timus atau tetap di Kota Horia." Sebelumnya, Cindy ingin kuliah di Universitas Timus karena ingin pergi dari rumah Keluarga Gunawan. Hal itu sudah terjadi sekarang. Jadi, Cindy tidak terlalu ingin meninggalkan Kota Horia. Mendengar Cindy ingin tinggal di Kota Horia, pria tua itu tidak lagi membujuk Cindy untuk kuliah di Perguruan Tinggi Taoisme Kota Timus. Pria tua itu terkekeh-kekeh dan berkata, "Kota Horia bagus, ada banyak orang unggul, dan aku punya hak suara di Universitas Horia. Kalau begitu, aku bantu kamu tolak Perguruan Tinggi Taoisme. Oh, ya, Cindy, mau tidak kamu langsung ke Kuil Dharma? Dengan bakatmu ...." Mendengar pria tua itu hendak cerewet lagi, Cindy langsung menolak, "Tidak mau, aku mau kuliah." Pria tua itu mengembuskan napas di telepon. Lalu, dia meneruskan, "Jimat keselamatan di kuil sudah habis. Kapan kamu antarkan lagi? Seperti biasa, enam juta per lembar ...." Cindy menjadi bersemangat ketika mendengar ada "bisnis". Setelah mengecek persediaan di dalam laci meja, Cindy mengangguk. "Bisa, aku antarkan dua puluh lembar dulu." Dua puluh lembar berarti seratus dua puluh juta. Setelah disumbangkan separuh, Cindy masih punya enam puluh juta. Untuk mengembalikan biaya asuh Keluarga Gunawan, tidak bisa hanya dengan menjual jimat. ... Cindy adalah seorang master jimat. Ilmu metafisika terdiri dari lima cabang, yaitu ilmu kultivasi, pengobatan, ramalan, fisiognomi, dan alam. Jimat adalah salah satu bagian dari ilmu kultivasi, merupakan ilmu yang paling misterius dan sulit dipelajari di antara semua ilmu metafisika. Cindy mempelajari kelima ilmu tersebut, tetapi paling terampil dan mendalami ilmu jimat. Selain jimat khusus, jimat pada umumnya dituliskan pada kertas. Menggambar jimat adalah kemampuan paling mendasar dalam ilmu jimat. Selain itu, ada jimat ukir seperti lencana giok yang Cindy berikan pada Aaron, dan menggambar jimat di udara. Keduanya membutuhkan tenaga yang berbeda. Usai menyiapkan kertas jimat dan tinta sinabar di meja, Cindy menggunakan kuas untuk menggambar jimat dengan gerakan tangkas. Saat selesai, samar-samar ada cahaya spiritual di ujung kuas. Dengan demikian, terciptalah selembar jimat keselamatan. Cindy menggambar dua puluh lembar jimat sekaligus. Waktunya bahkan belum sampai lima belas menit. Selesai membuat jimat keselamatan untuk Kuil Dharma, Cindy teringat akan pembelaan dari kakak dan ayahnya. Lalu, Cindy mengambil sebongkah batu berkualitas tinggi dan mulai mengukir jimat pelindung. Cindy menghabiskan waktu sepanjang sore di rumah sewaan. Ketika hari sudah malam, Cindy mengemas barang-barang, lalu naik taksi ke rumah Keluarga Kusnadi bersama Indah. Di lantai atas, Cindy membuka pintu kamar dan hendak menaruh barang ke dalam. Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari ke arahnya. Cindy menolehkan kepala. Yanny Kusnadi, adik sepupu Cindy yang berumur enam tahun, langsung berlari ke dalam kamar dan mendorong Cindy sambil berteriak dengan galak. "Ini kamarku. Kamu tidak boleh masuk kamarku!" Cindy termangu seraya melirik ke belakang Yanny. Itu memang kamarnya. Tepat saat itu, Linda datang. Melihat perbuatan Yanny, Linda menegurnya, "Yanny, tidak boleh begitu. Cepat minta maaf dengan kakak sepupumu." Namun, Yanny tidak peduli. Yanny malah menunjuk kamar di belakangnya dan berteriak pada Linda. "Ibu bilang kamar ini untukku! Kenapa dia tinggal di kamar ini? Ibu tidak tepat janji! Aku tidak mau tahu! Ini kamarku!" Suara Yanny yang nyaring membuat Sovian dan saudara lain keluar dari kamar. Mereka pas mendengar perkataan Yanny. Barulah Cindy paham. Mengapa Bibi Linda menyiapkan kamar lain untuknya di awal? Ternyata ingin memberikan kamar bergaya putri dongeng itu pada putrinya. Linda tampak canggung karena tidak menyangka putrinya akan keceplosan. Linda tersenyum canggung saat menjelaskan. "Bukan ... Yanny suka kamar ini. Sebelumnya aku tidak tahu Cindy akan pulang, jadi aku bilang ...." "Cindy pulang atau tidak, itu tetap kamarnya." Tepat saat itu, suara Henri datang dari sisi lain lorong. Henri jelas datang karena mendengar keributan di sana. Wajah Henri tetap lembut dan ramah, tetapi tatapan matanya menyiratkan kedinginan. Henri menatap Linda seraya bertanya, "Memangnya Bibi tidak tahu?" Jangankan Cindy sudah ditemukan kembali, sekalipun tidak, tidak ada yang bisa merebut kamar itu. Ekspresi Linda membeku. Linda terus menggerakkan bibirnya, tampak sedikit canggung. Andri Kusnadi, putra dari Bernard, merasa jengkel terhadap sikap Henri pada ibunya. Andri maju dan berkata, "Kak Henri, ibuku bukan sengaja. Itu masalah kamar saja dan kamar itu memang disiapkan untuk anak kecil. Kalau Yanny suka, kenapa tidak kasih dia saja?" Andri melirik Cindy dengan kesal. "Kamu sudah dewasa, masih mau rebut kamar dengan anak kecil?" Seolah-olah Cindy-lah yang merebut kamar itu. Cindy mengernyit. Cindy tidak suka berdebat, tetapi tidak akan berdiam diri jika ditargetkan. "Maksudmu, karena dia kecil, aku harus kasih kamarku yang dia suka ini? Kalau tidak, artinya aku merebut?" "Memangnya bukan?" Andri mengotot. Cindy memasang ekspresi paham. "Kalau begitu, aku suka lukisan di Museum Nasional. Kalau kamu bisa meyakinkan Museum Nasional untuk berikan lukisan itu padaku, aku akan berikan kamar ini pada Yanny. Bagaimana?" Cindy menengadahkan tangan dengan ekspresi kosong seraya menegaskan, "Aku 'kan masih kecil, aku hanya mau satu lukisan saja."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.