Bab 2
Dia menoleh ke Sandy.
Ternyata mengucapkan kata cerai itu tak begitu sulit.
"Aku nggak akan bercerai denganmu, kamu jelas tahu itu," ujar Sandy dengan raut muka datar.
"Kamu itu pengacara, seharusnya tahu kalau tuduhan itu terbukti, aku akan dijebloskan ke penjara …"
"Dihadapkan dengan semua bukti yang ada, aku hanya bisa melakukan itu …"
"Nggak, kamu lebih percaya ke Yuna daripada aku." Xena tahu betul inti permasalahannya.
Pria itu tak memercayainya.
Mungkin Yuna lebih penting di hatinya, jadi dia lebih memilih orang yang dijebloskan ke penjara adalah dirinya.
"Ayo, pulang." Sandy melangkah turun dari tangga.
Xena merapikan mantel dan berjalan menuju mobil. Angin dingin berhembus kencang, menerpa wajahnya seperti sayatan pisau.
Saat berada di dalam mobil, mereka berdua hanya diam membisu. Sungguh keheningan yang mengerikan.
Sesampainya di rumah, Sandy tak turun dari mobil, begitu Xena keluar, dia langsung tancap gas dan pergi dari sana.
Xena yang melihatnya pergi, tak bertanya apa-apa.
Saat ini, dia seharusnya sangat khawatir kepada Yuna yang sedang diinterogasi, 'kan?
Hal pertama yang dia lakukan setelah sampai rumah adalah membuat secarik surat cerai, lalu mulai membereskan barang-barang.
Tempat yang mereka tinggali saat ini merupakan rumah yang baru Sandy beli, apartemen super megah yang bertempatkan di kawasan mewah dan memiliki luas 400 meter persegi. Mereka baru saja pindah ke sini, jadi barang-barangnya tak banyak dan ada beberapa barang dari rumah lama. Satu koper besar sudah cukup untuk menampungnya.
Dia merapikan rumah dengan sangat bersih dan rapi karena Sandy memiliki sifat perfeksionis. Begitu dia selesai mengambil barang-barangnya, hampir tak ada bekas dirinya tersisa di rumah itu.
Xena menandatangani surat cerai, lalu menundukkan kepala untuk melihat cincin nikah yang sudah dikenakan selama empat tahun tanpa melepasnya sekali pun, dia mengelus-elus cincin itu. Pada akhirnya, wanita itu melepas cincin nikah dan menaruh di atas surat cerai, lalu meletakkannya di atas meja kerja Sandy.
Setelah keluar dari kawasan apartemen, dia memilih untuk tak pulang ke rumah. Kalau sampai orang tuanya tahu, pasti mereka akan khawatir dan marah.
Wina yang merupakan satu-satunya sahabat, sekarang tinggal bersama kekasihnya. Jelas dia tak bisa menginap di sana, jadi Xena memilih untuk tinggal di hotel sementara waktu.
Ngung!
Ponselnya tiba-tiba berdering.
Menyadari panggilan tersebut berasal dari Wina, dia meletakkan ponsel di telinga dan menjawab, "Halo."
"Gimana? Apa aku perlu bersaksi untukmu?"
Xena sedang menulis resume, tetapi saat membaca riwayat pekerjaan, dia jatuh ke dalam kekecewaan dan hanya bisa tersenyum tipis. Riwayat pendidikannya cukup bagus, tetapi tak memiliki pengalaman kerja.
Xena menghela napas. "Nggak usah, sudah selesai, kok."
"Apa Sandy sudah memercayaimu?" Wina mencibir, "Yuna si rubah betina, pada akhirnya tetap nggak bisa mengalahkan posisimu di hatinya …"
"Kami mau cerai."
Wina terdiam untuk sesaat. "Kamu sekarang di mana? Aku ke sana."
Xena menyebutkan alamat hotel tempat dia menginap.
Wina segera pergi menghampirinya.
Saat Xena membuka pintu, terlihat Wina bersandar di samping pintu, mengenakan gaun merah dan mantel kasmir wol hitam, tampak begitu memesona. "Apa yang terjadi?"
"Masuklah." dia membalikkan badan.
Wina berjalan masuk. "Kamu tinggal di sini?"
"Cuma sementara," jawab Xena.
Xena menuangkan segelas air dan memberikannya pada Wina. "Justru sebaliknya, dia nggak memercayaiku, jadi nggak ada artinya melanjutkan pernikahan ini. Aku sudah membicarakan ini dengan Sandy, seharusnya dia akan segera melihat surat cerai yang aku berikan."
Wina terdiam sejenak, tak tahu bagaimana harus menghiburnya.
"Sebenarnya …"
"Aku tahu kamu pasti akan mengatakan itu, sayang sekali." Xena menundukkan pandangan. "Aku sudah memberi kesempatan, tapi dia menyia-nyiakannya."
Wina mengalihkan topik pembicaraan. "Apa ada yang bisa aku bantu?"
"Aku siap-siap cari kerja." Dia menengadahkan wajah sembari tersenyum. "Aku sudah lama memisahkan diri dari masyarakat, waktunya mencari kerjaan."
Waktunya membangun kembali impian untuk bekerja di bidang hukum yang sudah dia singkirkan selama empat tahun.
Tak ada lagi orang yang layak baginya untuk mengorbankan impian.
Wina menepuk-nepuk bahunya. "Ide yang bagus."
"Untuk merayakan perceraianmu, gimana kalau aku traktir minum?" Wina mengangkat alis kepadanya.
Hatinya masih merasa kalut, dia juga tahu Wina berusaha untuk menghiburnya. "Minum?"
"Tunggu bentar, aku ganti baju."
Wina mengangguk dan tak lupa berpesan, "Kenakan pakaian yang cantik."
Xena membuka koper, di dalamnya tak ada pakaian cantik. Biasanya, dia hanya mengerjakan pekerjaan rumah dan memenuhi kebutuhan Sandy. Tempat yang paling sering dikunjungi adalah toko swalayan dan pasar, jadi semua pakaian yang dia punya cukup longgar dan nyaman saat bergerak, terkadang itu juga memudahkannya saat mengangkat barang berat.
"gimana kalau kita beli sekarang?" Dia mendongakkan wajah menatap Wina.
Wina tersenyum jahat. "Kalian masih belum mengurus perceraian, 'kan? Jangan sia-siakan kartu debitnya. Kalau kita belanja sekarang, semua barang itu masih tetap milikmu."
"Benar juga." Xena tersenyum.
"Kalau gitu, ayo jalan." Wina menariknya keluar dari hotel.
Semua orang tahu persidangan diadakan hari ini dan masalah pasti akan selesai juga.
Beberapa orang yang dipimpin oleh Yulian mengajak Sandy keluar agar bisa menenangkan suasana hati.
Raut muka Sandy tampak sangat suram.
Dia sudah mencari tahu.
Kepolisian sudah membuka kasus ini, selain itu semua bukti tentang kejahatan Yuna sudah terpampang nyata.
"Aduh, mungkin kakak ipar terlalu santai di rumah, jadi …" Yulian mencoba menghibur.
Suasana di ruang VIP begitu mencekam.
Yifan berusaha meredakan suasana dengan berkata, "Eh, Yuna mana?"
Dia mencolek Sandy dengan lembut. "Kak Sandy, nggak usah terlalu putus asa. Bukannya masih ada istri muda yang menemanimu …"
Duar!
Kata 'istri muda' yang Yifan ucapkan menyulut emosi Sandy.
Dia tiba-tiba melemparkan gelas yang dipegangnya!
Gelas itu menghantam dinding sampai pecah berkeping-keping bersamaan degan suara yang keras, anggur merah berceceran ke mana-mana. Semua orang terkejut.
Seketika, mereka semua terdiam.
Yulian yang mengira suasana hati Sandy memburuk karena Xena masuk penjara, segera menghampiri untuk menenangkannya, "Kak Sandy, kamu pasti merasa gelisah karena masalah Kak Xena, kami paham, kok. Obat-obatan terlarang yang dimilikinya nggak banyak, 'kan? Meski dijatuhi hukuman, nggak akan lama, kok. Selain itu, di sampingmu masih ada Yuna yang bisa menemani ..."
"Apa kamu sudah selesai bicara?" Sebenarnya Sandy sudah merasa tertekan, mereka yang terus-menerus menyebutkan Yuna, membuat amarah yang terpendam di dalam hatinya meluap seketika.
Yuna membohonginya dan sudah melewati batas.
Karena hal ini, Xena mengajukan cerai. Hatinya begitu gelisah.
Mengambil mantel dan pergi.
"Kak Sandy." Yulian merasa agak bingung.
Sandy berjalan sampai pintu keluar, menghentikan langkah kaki, lalu menoleh ke semua orang. "Mulai sekarang, jangan sebut nama Yuna lagi di hadapanku. Aku akan memusuhi siapa pun yang melakukan itu."
Setelah mengatakan itu, dia pergi dan membanting pintu.
Orang-orang yang masih berada di sana saling menatap satu sama lain.
"Dia kenapa?" Yuda duduk di tempat gelap sembari mengernyitkan dahi.
Yulian mengangkat bahu. "Nggak tahu."
Sandy mengendarai mobil dan pulang ke rumah.
Dulu, setiap kali terdengar suara pintu terbuka, Xena pasti akan segera meninggalkan apa yang dikerjakannya dan pergi ke pintu untuk menyambut suaminya pulang, menyiapkan sandal untuknya, membantu melepaskan mantel, dan merawatnya dengan penuh perhatian.
Namun, hari ini, ketika dia membuka pintu, rumah terasa begitu sepi, Xena juga tak ada untuk menyambutnya di depan pintu.
Dia masih agak tak terbiasa, melepaskan mantel dan melemparkan sembarangan, lalu membungkuk untuk mengambil sandal dari rak sepatu.
Saat masuk ke dalam, dia yang kelelahan duduk di sofa, bersandar dan menutup mata untuk beristirahat. "Xena, aku cape banget."
Jika dia bilang dirinya sedang lelah, Xena pasti akan langsung menemani di sampingnya dan memijatnya dengan teknik yang begitu profesional. Hal itu membuat suasana hatinya membaik dan perlahan mengurangi kelelahan yang dirasakan.
Namun, Xena tak kunjung keluar, rumah juga terasa begitu sepi.
"Xena?"
Tak ada jawaban.
Keberadaannya seperti menghilang di telan bumi, Sandy berdiri dan mencarinya.