Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 8

"Aku biasa pakai ini buat bekerja, ada yang salah? Mungkin kamu rasa, aku akan mempermalukanmu saat bertemu rekan-rekan kerjamu dengan pakaian begini?" "Aku nggak maksud begitu, jangan dibawa hati." Hania tidak berpikir demikian. Namun, jauh lebih baik kalau mengenakan pakaian yang tidak mencolok saat acara kumpul-kumpul, menurut Hania. Setelah Hania berpikir ulang, Jamal pasti sibuk bekerja, sehingga tidak sempat berganti pakaian. Menyadari ucapannya mungkin saja melukai harga diri Jamal, dia langsung meraih tangan pria itu. "Rekan-rekan kerjaku masih menunggu di sana. Ayo, biar kukenalkan kamu ke mereka." Kehangatan terasa dari telapak tangannya, jemarinya pun dirangkum tangan halus Hania. Alis Jamal sedikit terangkat, bahkan langkah kakinya mengikuti arah tarikan Hania tanpa dia sadari. "Ini suaminya Hania? Ganteng sekali! Lebih tampan dari aktor terkenal!" "Benar, bentuk wajahnya mirip lukisan!" "Hania benar-benar punya selera bagus. Bisa melihat suami setampan ini setiap hari, pasti sangat bahagia!" Saat langkah mereka makin dekat, seruan kekaguman dari rekan-rekan kerja membuat Hania sedikit memalingkan kepala. Tampang Jamal memang begitu menarik. Sekalipun dia mengenakan pakaian kerja yang usang, figurnya tetap terlihat elegan. Sosoknya terlihat seperti putra sulung keluarga kaya yang tengah mencoba bertahan hidup sembari mengenakan seragam kerja. Saat Yelena melihat wajahnya dengan jelas, matanya hampir terbelalak. "Hania, dia suamimu?" tanya Yelena tidak sabar. Hania mengangguk. "Benar, ini suamiku, Jamal." Dia malu-malu saat melafalkan kata "suami". Keduanya belum lama saling kenal, sehingga memanggil Jamal di depan umum dengan sebutan itu membuatnya agak canggung. Jamal, yang diperkenalkan sebagai suami, agak terkejut. 'Benar-benar nggak malu denganku, ya?' 'Nggak … pasti cuma gimik. Dia malu kalau bertengkar langsung denganku di depan orang-orang ini, aku yakin.' "Nggak mungkin!" seru Yelena memecah canggung. Yelena menggertakkan gigi sambil bergumam, merasa ada yang keliru di sini. Suami Hania jelas-jelas pria jelek dan memuakkan itu! "Hania, kalau pakaian suamimu begini, berarti bekerja di lokasi konstruksi, ya?" Tidak bisa mencela penampilan, Yelena mengalihkan sindirannya menuju pakaian Jamal. Hania tidak tahu apa pekerjaan Jamal, membuat dirinya menatap pria itu penuh harap saja. Sayangnya, Jamal tetap diam. Kedatangan Jamal hari ini memang diperuntukkan guna mempermalukan Hania. Wanita matre begini pasti sangat peduli penampilan di depan umum. Dia ingin melihat seberapa lama wanita ini bisa berpura-pura. "Eh ... betul, pekerjaannya seputar proyek bangunan." Jamal belum angkat bicara, membuat Hania berasumsi bahwa pernyataan itu benar adanya. Yelena langsung tertawa. "Jadi, kamu mencari seorang buruh bangunan, ya!" Rekan-rekan kerja lainnya pun mulai memperlihatkan ekspresi meremehkan. Jamal tampak mengamati reaksi Hania. Semua orang mentertawakan dia seperti ini. Hania pasti tidak bisa bertahan lagi dan pasti akan memperlihatkan wajah aslinya. Anehnya, Hania membela dia. "Nggak ada strata rendah atau tinggi soal pekerjaan. Pekerja kasar juga pakai kemampuannya buat banting tulang cari nafkah, sama dengan kita. Ada masalah?" "Tentu nggak masalah. Penampilannya seperti pria nggak berpengalaman saja, sih. Mungkin nggak bisa melakukan pekerjaan berat dan hasil uangnya nggak banyak juga. Jangan sampai kamu berakhir membiayai dia, lho!" "Meskipun nggak bisa menghasilkan banyak uang, itu adalah pilihanku sendiri. Nggak ada orang lain yang boleh merendahkan suamiku!" final Hania. Meskipun Hania sangat melindungi Jamal, tetapi orang-orang ini sangat realistis. Rekan kerjanya mengetahui bahwa dia hanya menikahi seorang buruh dan mereka mulai berbisik-bisik. Wajah semua orang terlihat meremehkan Hania. Yelena terlihat menggandeng lengan pacarnya, Terence, lalu berkata pada rekan kerja lainnya, "Zaman sekarang, tampang saja nggak cukup buat menghidupi seseorang. Status sosial yang tinggi dan penghasilan besar adalah kemampuan sejati seorang pria!" "Kak Yelena, jabatan pacarmu dengar-dengar eksekutif di Grup Lestanto. Gajinya pasti besar, ya?" "Wah, Grup Lestanto! Bukan sembarang orang bisa masuk, lho. Pacarmu masih menjabat sebagai eksekutif di dalamnya, 'kan? Dia bisa bertemu Bos besar kita!" Terence merapikan dasinya, berdeham pelan, kemudian berkata, "Aku sering mendiskusikan proyek bersama Pak Jamal Lestanto." "Bisa diskusi langsung dengan Bos Besar, keren sekali!" "Terence, kasih tahu kami, dong. Apakah Pak Jamal benar-benar tampan seperti ucapan orang-orang?" Rekan-rekan kerja Hania tampak berdesakan sembari mengelilingi Yelena dan Terence. Belum semenit, Hania dan Jamal terdorong ke samping. Jamal langsung menatap Terence. Dia selalu ingat dengan baik, tetapi orang ini berkata dirinya sering berdiskusi tentang rencana ini, sama sekali tidak mengenalnya. Sepertinya, nama besarnya hanya dipakai untuk pamer. Hania tampak berpikir, mengira dia masih kesal karena perkataan Yelena tadi. Lantas, dia mencoba menghibur, "Pak Jamal, abaikan saja ucapan temanku. Karakter dia memang begitu, suka bicara kasar ke siapa saja." Jamal memang tidak terlalu memperhatikan sembari menganggapnya sebagai lelucon. Akan, tetapi dari perkataan Hania ini, dia mendengar banyak informasi. "Apakah dia sering mengganggumu?" "Nggak bisa dibilang ganggu, aku juga bukan orang yang bisa diperlakukan semaunya. Tapi, karena kami kerja di tempat yang sama, aku nggak mau soal ini membesar. Kalau bisa tahan, tinggal ditahan." Kata-kata ini membuat Jamal tidak nyaman, tetapi dia tidak berkata apa-apa lagi. Di ruang makan VIP. Setelah duduk, rekan-rekan tetap fokus pada Yelena dan Terence. Mereka mengabaikan Hania dan Jamal. Yelena tersenyum puas melihat dua orang itu duduk di tempat paling pojok. Makin membuat Hania tak dianggap, dia berkata, "Hari ini, pacarku pesan Lobster Astria. Tolong makan yang banyak nanti, jangan sungkan!" Semua orang tampak terkejut. Lobster Astria adalah salah satu andalan hotel ini. Harganya termasuk sangat mahal, bahkan harus dipesan setidaknya satu bulan sebelumnya. "Kak Yelena, pacarmu sangat kaya dan baik hati. Aku benar-benar iri padamu!" "Hari ini, kita bisa merasakan kebahagiaan orang kaya berkat Kak Yelena." Yelena tersenyum dan berkata, "Pacar saya temannya manajer hotel ini, bukan masalah besar." Hania menepuk lembut lengan Jamal seraya berbisik, "Lobster Astria mahal, lho! Aku saja belum pernah lihat, kamu juga belum pernah coba, 'kan? Pasti belum pernah coba, harus makan banyak nanti!" Jamal melirik Hania, penuh muak di balik iris matanya. Wanita ini hanya tahu soal makan. Apa dia sama sekali tidak sadar dengan situasi yang kurang nyaman? Hari ini, seharusnya, mereka menjadi pusat atensi. Kini, justru orang lain yang mendapat sorotan. Wanita bernama Yelena itu jelas sudah mempersiapkan segalanya untuk membuat Hania malu. Hania tak peduli sama sekali, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Entah polos atau bodoh, Jamal tidak memahami aksi wanita ini. Melihat ekspresi wajah Jamal yang terus mengeras, dia kira, Jamal masih kesal karena kejadian tadi dan diam-diam menghela napas. "Pria ini benar-benar pemarah!" batin Hania. Selanjutnya, dia tidak berkata apa-apa lagi, diam-diam menunggu makanan dihidangkan. Tidak lama kemudian, seorang pelayan masuk ke ruang makan pribadi. "Maaf, Tuan Fernandes. Pesanan Lobster Astria yang Anda pesan kemungkinan nggak bisa dikirim hari ini karena keterlambatan pengiriman." "Nggak bisa disajikan?" Semua orang sangat kecewa. Hania pun menyesal dalam hati, lalu berkata ke Jamal, "Aku pikir, kita akan dapat makanan enak hari ini. Sayang sekali, huft ..." Jamal memalingkan wajahnya. Tidak mau menyulitkan pelayan, Terence berbaik hati menjawab, "Kalau nggak bisa dihidangkan, nggak apa-apa. Kita bisa pesan hidangan lain. Soal Lobster Astria, nanti aku undang kalian untuk makan lagi!" "Masih ada kesempatan berikutnya? Yelena, pacarmu benar-benar murah hati!" Semua orang mengira, kejadian ini hanyalah nasib yang belum berpihak saja. Namun, Jamal refleks menangkap sesuatu yang mencurigakan di balik ini. Lewat semua perilaku Terence, Jamal bisa menilai, dia adalah seorang pria sombong dan haus atensi. Kesempatan unjuk diri yang bagus di depan banyak orang, Terence justru menyerah begitu saja. Benar-benar di luar karakternya. Kelihatannya, dia membayar pelayan untuk sandiwara, bahkan menyentuh 80% kemungkinannya. Terence kelihatan ingin pamer, seolah-olah sosoknya kaya raya ketika kehidupan aslinya tidak begitu.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.