Bab 2
Mendengar kata-kata ini, Hania tak kuasa menahan amarahnya.
Beberapa hari lalu, dia dipaksa sang ibu untuk berkencan dengan Bos Yuri.
Di mata sang ibu, Bos Yuri adalah pria tampan yang tinggi dan sukses berkarier. Menurut sang ibu, dia juga jujur dan tulus.
Akan tetapi, setibanya di tempat pertemuan, dia baru menyadari pria itu tidak menarik. Tinggi badannya tidak lebih tinggi darinya, kepalanya botak, dan giginya tampak kuning saat Hania melihat senyumannya.
Hal yang lebih mengganggu adalah sikapnya yang mendadak berdeham saat mereka sedang bicara, lalu dahak kentalnya diludahkan ke tanah dan diinjak-dinjak dengan kakinya.
Setelah itu, dia pun berani memintanya berhenti bekerja. Menjadi penanggung jawab dalam pekerjaan rumah tangga di rumah, merawat mertua, dan melahirkan beberapa anak laki-laki untuknya ...
Hania pun ketakutan. Jadi, dia lekas menyatakan ketidakcocokkan mereka, lalu segera pulang ke rumah
Dia pikir, masalah ini sudah selesai. Ternyata, sang ibu diam-diam masih berhubungan dengan pria itu.
Hania sangat marah dan sekali lagi menegaskan, "Bu, aku nggak perlu dibiayai siapa pun! Aku bisa menghidupi diriku sendiri!"
Mendengar kata-kata ini, Cecilia naik pitam.
"Sekarang, kamu sudah hebat, bisa menghasilkan banyak uang di luar sana, bisa hidup enak, lalu nggak peduli lagi sama keluarga. Kamu nggak perlu dibiayai orang lain, tapi aku dan ayahmu berharap bisa menikmati hidup sebelum meninggal. Jangan sampai ilmu yang kamu dapat sia-sia! Dasar anak nggak tahu terima kasih!"
Hania mengusap matanya yang mulai merah, lalu mengerjapkan mata sebanyak dua kali.
"Sejak aku mulai kerja, aku selalu mengirim 6 juta rupiah buatmu. Menurutmu, deh, kenapa aku dilabeli nggak peduli saat uang itu selalu tiba di tanganmu?"
"Uang 6 juta rupiah? Berani sekali kamu mengungkitnya! Aku sudah selidiki, ya. Kamu masuk perusahaan besar, tapi hanya mengirim sedikit uang, seolah-olah sedang kasih uang buat pengemis!"
"Memang benar aku kerja di perusahaan besar, tapi statusku masih masa percobaan. Gajiku hanya beberapa juta per bulan. Uang 6 juta rupiah yang aku kirimkan setiap bulan adalah hasil jerih payahku! Ibu hanya merasa uang dariku terlalu sedikit dan nggak pernah peduli dengan kehidupanku sehari-hari."
Saat itu, dada Hania langsung terasa sesak.
Semua perasaan sedih dan kecewa yang selama ini dia pendam, kini meluap seluruhnya.
Sejak kecil, dia ditinggalkan di desa dan hidup bersama neneknya.
Nenek yang miskin, menanggung biaya hidupnya, memberi makan dan minum, serta menyekolahkannya.
Pada tahun ketiga SMA, Nenek meninggal dunia. Setelah itu, Hania kembali ke rumah ini.
Sejak menginjakkan kaki di rumah itu, orang tuanya tidak pernah memperlakukannya dengan baik.
Dia pikir, mungkin karena dirinya yang kurang baik, dia mengambil alih semua pekerjaan rumah tangga hingga bekerja paruh waktu untuk membantu menafkahi keluarga.
Meskipun begitu, sang ibu tetap tidak puas dengannya.
Tahun itu, dia diterima di universitas ternama. Hania pikir, dia sudah bisa memperoleh pengakuan orang tuanya, tetapi yang didapat hanya sebuah kalimat, "Perempuan nggak perlu sekolah setinggi itu. Aku sudah carikan pekerjaan di pabrik untukmu. Kamu bisa bekerja di sana dan membiayai adikmu sekolah."
Hania menangis selama seminggu.
Kemudian, dia membawa beberapa juta rupiah yang ditinggalkan oleh neneknya, diam-diam pergi, dan belajar di universitas.
Tanpa uang kuliah, dia mengajukan pinjaman pendidikan. Tanpa uang guna biaya hidup, Hania diam-diam bekerja paruh waktu di luar kampus.
Akhirnya, orang tuanya tahu dan memarahinya, tetapi dia tidak menyerah.
Hania tidak pernah mau mengingat hari-hari sulitnya lagi.
Setelah lulus dan bekerja, dia berpikir bahwa hari-hari pahit akan berakhir. Sayangnya, itu khayalannya saja karena kehidupan asli baru saja dimulai.
Sang ibu memperlakukannya bagai ATM berjalan, terus-menerus meminta tanpa henti.
Pada awalnya, dia masih bisa menahan, tetapi permintaan ibunya makin besar seiring waktu berjalan.
Hingga sekarang, setelah sang adik punya pacar, ibunya berencana menukar Hania dengan sejumlah uang.
Hania tidak bisa menahannya lagi. Dia menghapus air matanya dan mengeluarkan Buku Nikah dari dalam tasnya.
"Ibu, ada satu hal yang lupa aku sampaikan. Aku sudah menikah."
Cecilia mengira dia salah dengar. Dia refleks merebut Buku Nikah itu dan memeriksanya dengan teliti.
Lalu, Buku Nikah itu dilemparkan keras-keras ke wajah Hania.
"Pantas saja kamu nggak mau menikah dengan Bos Yuri, ternyata kamu sudah menikah diam-diam dengan sembarang pria di luar!"
Cecilia menarik lengan Hania, dengan tegas bertanya, "Coba bilang, berapa uang yang pria itu beri padamu sampai kamu menolak Bos Yuri dan menikah dengannya?"
Hania menundukkan kepala. "Nggak sepeser pun," ucapnya lirih.
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Hania.
"Kenapa kamu begitu rendah sampai sembarangan memilih pria miskin di luar sana!"
"Menikahi pria miskin lebih baik daripada dijual, paling nggak itu pilihan aku sendiri."
"Oke. Kalau kamu benar-benar mau dengan pria miskin itu, angkat kaki sekarang juga dari rumah ini! Nanti, aku ingin menyaksikan hidupmu bersama pria miskin itu!"
Cecilia marah besar, langsung masuk ke gudang, lalu melempar semua pakaian dan sepatu Hania keluar.
Melihat perlakuan sang ibu, Hania sakit hati.
Dalam bis kota.
Hania menggenggam gagang koper dengan satu tangan saja, lalu tangan miliknya yang bebas tengah menggulir layar ponsel.
Hari sudah malam. Besok, dia harus bangun pagi untuk bekerja. Jadi, dia harus mencari tempat menginap untuk sekarang.
Ini hari Minggu. Mencari via aplikasi pemesanan kamar, hotel yang cukup dekat dengan kantor pun lebih dari 600 ribu rupiah sebagai kamar dengan harga termurah.
Uang Hania terbatas, sehingga dia menutup aplikasi tersebut.
Hania mengamati pemandangan malam di luar jendela, tiba-tiba merasa begitu kesepian.
Dengan kepala tertunduk, tatapannya jatuh pada layar ponsel, dan tiba-tiba teringat ucapan Jamal tadi siang.
"Kalau ada apa-apa, kamu bisa menghubungiku kapan saja."