Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Kota Jarita. Cuaca yang begitu panas, bahkan khas tengah hari, seakan-akan tidak membuat Hania merasakan panasnya. Dia berjalan pelan dengan kepala menunduk di bawah terik matahari. Kata-kata sang ibu semalam terus terngiang di benaknya. "Tugas perempuan hanya melahirkan keturunan, menikah dengan siapa pun sama saja. Meskipun Bos Yuri sudah tua, tapi mau kasih mahar sebesar 1 miliar rupiah, apa lagi yang kamu keluhkan?" "Kalau kamu punya sedikit hati nurani, kamu harus memikirkan adikmu. Dengan 1 miliar rupiah itu, dia bisa mengumpulkan uang muka untuk beli rumah di kota dan segera menikah. Nanti, kamu hanya perlu bantu mencicil, bebanmu juga akan berkurang." Hania selalu tahu bahwa sang ibu memihak salah satu, tetapi tidak pernah terpikirkan dia akan dijodohkan dengan seorang pria botak dan lebih tua sepuluh tahun darinya demi maskawin saja. Di depan Kantor Catatan Sipil, Hania berhenti dan mengeluarkan Kartu Keluarga dari tasnya. Dia menghela napas, hatinya terasa berat. Hari ini, kedatangannya kemari bukan untuk menuruti keinginan ibunya, melainkan untuk menghentikan niat sang ibu, lalu menikah dengan pria lain. Sebenarnya, ini adalah keputusan paling berani dalam hidupnya. Hania tidak kenal pria ini, bahkan belum pernah melihat fotonya. Dia hanya mengetahui sedikit informasi tentang pria itu dari situs kencan. Merasa situasi dasar mereka cukup cocok, keduanya pun sepakat menikah kilat hari ini. Saat melamun, terdengar suara lembut seorang pria. "Halo, Nona Hania. Aku Jamal." Hania mengumpulkan seluruh fokusnya, lalu mendongak. Seorang pria dengan tubuh tinggi besar, tepatnya 185 cm, sudah datang dan menghampirinya. Kulitnya putih pucat, garis mukanya tegas, mengenakan setelan jas hitam yang pas, hingga memancarkan aura mahal darinya. Hania terkesiap sekian detik, lalu dengan ragu bertanya, "Apakah kamu Pak Jamal yang telah berjanji menikah denganku lewat situs kencan?" Pria itu tersenyum cerah. "Benar, itu aku," jawab Jamal. Setelah direspons dengan baik, Hania teringat akan perkenalannya di situs kencan. Pria ini berusia 28 tahun, lajang, menetap di Kota Jarita, pekerjaan stabil, serta penghasilan bulanan 20 juta rupiah. Di Kota Jarita, kondisi keuangan pria ini masih bisa diterima dan seharusnya tidak perlu mencari pacar melalui situs kencan. Hania berpikir, dia pasti berpenampilan kurang menarik. Ternyata ... dia salah. Hania pun tidak banyak bertanya, langsung berbincang mengenai inti permasalahannya. "Selamat siang, Pak Jamal. Meskipun kita sudah komunikasi online, tapi pernikahan adalah hal serius. Aku ingin konfirmasi lagi dengan kamu secara langsung. Alasan aku menikah cepat hanya untuk memenuhi keinginan keluarga. Jadi, dalam kondisi kita belum memiliki perasaan satu sama lain. Setelah menikah, aku nggak akan memenuhi kewajiban suami istri denganmu, bahkan nggak berencana punya anak dengan kamu. Andai kamu bisa menerima, mari kita masuk dan mengurus Akta Nikah sekarang." "Aku setuju." Pria ini langsung menjawab tanpa ragu. Hania tidak lagi ragu, lalu mereka berdua masuk ke Kantor Catatan Sipil. Proses selesai dengan cepat dan mereka berjalan keluar bersama sambil memegang Buku Nikah masing-masing. Hania menyimpan Buku Nikah miliknya ke tas, lalu berkata, "Pak Jamal, dokumennya sudah diambil. Aku pamit dulu." Dia menganggukkan kepala, lalu bertanya, "Apakah kamu datang dengan mobil? Kalau nggak, aku bisa mengantar kamu dulu. Mobilku diparkir di sana." "Terima kasih, nggak perlu. Di sekitar sini ada halte bus, aku bisa pulang dengan bus." Tanpa pikir panjang, dia menolak tawaran itu karena paling tidak suka untuk merepotkan orang lain. Usai bicara, dia melirik tanpa sadar ke arah yang ditunjuk sang pria dan melihat langsung mobil Wuling sedang terparkir tidak jauh dari sini. Sekarang, dia yakin bahwa kondisi mereka berdua tidak berbeda terlalu jauh dan tidak lagi merasa terbebani. Setelah ditolak lembut olehnya, Jamal merasa tidak puas. "Kalau begitu, kita bertukar nomor telepon, ya. Biar mudah untuk saling menghubungi." "Baiklah," balas Hania, menerima ajakannya. Dia mengeluarkan ponsel dan memberikannya kepada pria itu. Beberapa detik kemudian, ponsel di saku pria itu berdering. "Oke. Jika ada apa-apa, kamu bisa menghubungiku kapan saja." "Baik." Saat Hania baru memasukkan ponselnya ke tas, matanya tertuju pada bus yang melaju dari arah depan. Melihat bus akan segera berhenti di halte, dia terburu-buru untuk berpamitan dengan Jamal. "Pak Jamal, bus yang akan kunaiki sudah datang, aku pergi dulu!" Belum sempat Jamal merespons, dia melihatnya berlari ke halte dan langsung memasuki bus. Jamal hanya terkekeh pelan. Sambil mengamati bus yang mulai menjauh, dia berbalik menuju tempat parkir, melewati mobil Wuling, dan menaiki sebuah Bugatti. Pintu mobil saja belum ditutup, Buku Nikah di tangannya sudah direbut orang lain. "Jamal! Kamu sungguh datang! Bahkan, kamu menikahi seorang wanita yang baru kamu kenal!" Chiko Sebastian melihat-lihat Buku Nikah itu, terkejut kala melihat bubuhan cap di atasnya. Sebagai teman masa kecil, Jamal sudah terbiasa dengan tingkah sahabatnya ini. Lalu, dia menutup pintu mobil dengan tenang. Saat akan bicara sesuatu, tiba-tiba ponselnya berdering. Dahinya berkerut, dia menjawab telepon itu. "Nenek," sapa Jamal. "Anak nakal, akhirnya, kamu mau terima teleponku. Kapan kamu akan pergi bertemu gadis yang ibumu carikan buatmu? Ini sudah tertunda beberapa bulan. Semisal kamu nggak pergi lagi, harus bagaimana aku menjelaskan pada ibumu ketika dia pulang?" Jamal menjauhkan ponsel dari telinganya. Saat hendak menutup panggilan, dia mendengar peringatan sang nenek, "Jangan tutup telepon! Ingat, ya! Nenek sudah tua, mudah kena darah tinggi!" Jadi, Jamal menghela napas dan mengalah. "Nenek, aku sudah dapat Buku Nikah beberapa menit yang lalu." Hening. Pihak di ujung telepon terdiam lama. Melihat kesempatan itu, dia segera menutup telepon dan segera mengaktifkan mode senyap. Gerakan tangannya sangat cepat. Chiko tertawa terbahak-bahak menyaksikan adegan itu. "Nggak heran kamu buru-buru nikah, ternyata Nenek dan ibumu memberi tekanan yang sama, hahaha ..." Merasakan sorot mata setajam pisau yang jatuh kepadanya, Chiko langsung menahan diri dan mencoba menghiburnya, "Jamal, jangan marah. Sebenarnya, aku bisa mengerti perasaan Nenek Laksmita dan Ibu Laksmita. Sebagai putra sulung dari keluarga terkemuka di Kota Jarita, memperluas keluarga Lestanto adalah tugas utamamu ..." Belum selesai bicara, Jamal menatap dingin ke arahnya, kemudian menggenggam setir erat-erat dan menekan keras pedal gas. "Ah!" Chiko tidak sempat mengikat sabuk pengaman, sehingga dahinya terbentur jendela mobil dan merasakan sakit sampai meringis. "Jamal, kamu teman yang jahat. Aku benci kamu!" umpat Chiko. Sementara itu, di pinggiran Kota Jarita. Hania naik bus hampir dua jam, baru turun di halte Jalan Yamana. Mudah saja dirinya melintasi lorong kecil, lalu tiba di sebuah gedung apartemen tua. Sudah terdengar suara gaduh orang bermain kartu remi di lantai dua dari kejauhan. Ibu Cecilia tidak punya hobi lain. Dia membeli beberapa kartu remi dan menempatkannya di rumah. Dia senang membawa tetangga untuk kumpul di rumahnya dan bermain kartu remi. Menurutnya, ini bisa menghasilkan sedikit uang untuk jajan. Hania sudah terbiasa. Jadi, dia menaiki tangga menuju lantai dua. Hari ini, rumah sangat ramai suara orang-orang main kartu remi "Cecilia, orang-orang bilang kalau punya anak perempuan serasa bakar duit, tapi kamu beda. Kamu melahirkan pohon uang!" "Wah, Bos Yuri memang murah hati, ya. Memberi mahar sebesar 1 miliar rupiah. Setelah Hania menikah, keluargamu nggak harus khawatir lagi soal uang. Nanti, kamu bisa beli rumah di pusat kota, bahkan kamu bisa dianggap resmi sebagai orang kota!" "Di antara kita semua, kamu yang paling beruntung. Kalau nanti sudah menjadi Nyonya Kaya Raya, jangan lupakan kita, ya!" Hania berhenti sejenak di pintu, lalu membukanya. Berbeda dengan saat pergi pagi tadi, lantai yang sekarang sudah penuh tumpukan hadiah, gula merah, minuman keras, rokok ... Di atas meja remi yang ditaruh di ruang tamu, Cecilia tersenyum cerah. Beberapa kerutan di sudut matanya tertarik bersamaan. "Kalian bicara apa, sih ... Hania hanya menikah dengan seorang pengusaha kecil, bukan sama orang terkaya di Kota Jarita, mana mungkin aku melupakan kalian!" Cecilia tenggelam dalam pujian teman-temanya, tanpa sedikit pun menyadari keberadaan Hania. Situasi beralih setelah Hania meninggikan suaranya, "Ibu! Semua barang ini dari mana?" Seketika, ruangan menjadi sunyi. Menyaksikan Hania sudah pulang, Cecilia refleks menghentikan permainan kartu dan berkata pada teman-temannya, "Sudah, sudah. Hari ini sudah cukup, besok dilanjut lagi. Aku harus membicarakan pernikahan Hania." Setelah mengusir teman-temannya, Cecilia mengeluarkan uang kemenangannya dari laci dan menghitungnya dengan gembira. Hania merasa diabaikan. Jadi, dia lekas mendekat dan bertanya, "Ibu, barang-barang ini dikirimkan Bos Yuri, 'kan? Kamu hubungi dia tanpa kasih tahu aku, bahkan mengambil uang dan hadiahnya sendirian?" Kemudian, Cecilia mengalihkan perhatiannya pada Hania. "Hania, lihat kebaikan Bos Yuri padamu. Rokok ini, paling murah saja masih lebih dari 500 ribu rupiah per bungkusnya. Minuman ini, Bir Mamatoya, adalah merek terkenal dan sangat mahal ..." "Ibu! Jelas-jelas aku sudah bilang, aku nggak suka Bos Yuri dan aku nggak akan menikah dengannya. Kenapa kamu terus memaksa diriku?" Wajah Cecilia langsung murung. "Mengapa kamu bersikap seperti ini pada ibumu? Semua sikapku untuk kebaikanmu, lho. Bos Yuri adalah pengusaha properti. Dia punya mobil dan rumah di pusat kota. Belum tentu dia tertarik sama kamu kalau nggak cantik dan belum lulus kuliah!" Melihat Hania tetap acuh tak acuh, dia terus membujuk, "Hania, wanita pasti berakhir dengan pernikahan. Lebih baik menikah dengan seseorang berkondisi baik daripada menikah dengan orang buruk semacam ayahmu. Lihatlah aku. Dulu, aku menderita seumur hidup karena menikah dengan orang miskin seperti ayahmu! Aku nggak mau kamu mengikuti jejakku, makanya aku menyetujui tawaran Bos Yuri untuk menikahimu. Bos Yuri sampai bilang padaku, kamu nggak perlu melakukan apa-apa setelah menikah. Sia akan membiayai hidupmu. Lihatlah, pria baik seperti itu sulit ditemukan!"
Bab Sebelumnya
1/100Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.