Bab 14
Bagi orang tua, hal paling berharga adalah benda-benda yang dipenuhi kenangan.
Kebaya ini jarang sekali dia pakai dan selalu disimpan di lemari.
Lubang pada kebaya itu adalah sebuah penyesalan besar.
Siapa sangka, cucu menantunya bisa memperbaiki penyesalan itu dengan mudahnya!
"Hania, Nenek nggak tahu caranya berterima kasih lagi padamu."
"Nenek Laksmita, ini hanya usaha kecil. Jangan terlalu dipikirkan."
Dulu, Hania tinggal di desa bersama sang nenek. Kehidupannya sulit, bahkan selalu menambal pakaian robeknya sebelum dikenakan lagi
Neneknya adalah penjahit terkenal di desa, menjadikan pekerjaan penjahit sebagai ladang mencari nafkah. Melihatnya setiap hari, memperbaiki kebaya tampak bukan hal sulit baginya.
"Zaman sekarang, wanita seperti kamu yang masih bisa menjahit sudah jarang, apalagi yang bisa menjahit sebagus kamu."
Setiap kata Nenek Laksmita adalah pujian untuknya.
Baru saja Hania ingin menjawab, Jamal mendorong pintu untuk masuk, dengan nada dinginnya yang terdengar berkata, "Sudah hampir gelap, Nek. Kami harus pulang."
Tanpa sadar, Nenek Laksmita ingin menahan mereka, tetapi Jamal sudah menduganya lebih dulu. "Sebentar lagi gelap, nggak aman di jalan."
Hania mendukungnya. "Nenek, nanti, kami akan berkunjung lagi ke Nenek Laksmita dan Kakek Leno, kok."
Karena cucu menantunya sudah berkata begitu, Nenek Laksmita hanya bisa mengangguk sambil tersenyum.
Setelah meminta nomor telepon Hania, Nenek beranjak untuk mengantar mereka dengan rasa enggan di hatinya.
Tepat sebelum berangkat, Nenek Laksmita memanggil Jamal ke samping.
"Nak, Nak, Nenek sudah lihat, Hania adalah anak baik. Kamu perlu memperlakukannya dengan baik. Kalau kamu membuatnya sedih, Nenek adalah orang pertama yang nggak memaafkanmu!"
Sambil berkata begitu, dia juga menyerahkan sebuah kartu pada Jamal dengan cara Nenek yang agak memaksa.
"Ini, kamu cari kesempatan untuk kasih ini ke Hania. Anggap saja hadiah dari Nenek untuk membelikan Hania beberapa potong pakaian baru."
Mengamati pakaian Hania, Nenek Laksmita melihat bahwa kondisi keluarganya tidak terlalu baik. Jadi, dia ingin memberikan kartu itu pada sang wanita muda.
Namun, dia bisa melihat bahwa cucunya masih hati-hati dengan Hania. Mereka berdua masih perlu waktu untuk menyesuaikan diri, sehingga dia tidak membuka mulut tentang ini.
Kini, dengan memberi kartu pada Jamal untuk disimpan, semua akan lancar saat keduanya sudah saling kenal dengan baik.
Penerimaan Nenek terhadap Hania membuat Jamal sangat tidak nyaman, bahkan nyaris mengungkapkan jati diri asli Hania.
Namun, setelah berpikir ulang, Nenek tampak sangat puas dengan Hania dan tak akan mendengarkan penjelasan ini. Jadi, Jamal hanya bisa mencari kesempatan lain.
"Nenek, aku mengerti."
Dalam perjalanan pulang, Jamal terus memasang wajah masam dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Hania merasakan suasana tegang di mobil, lalu membuka ruang bicara, "Pak Jamal, pertemuan tadi hanya berlangsung dengan Kakek Leno dan Nenek Laksmita. Kenapa nggak bertemu Paman dan Bibi? Apakah mereka tinggal terpisah?"
Jamal menggenggam kemudi lebih erat.
Lagi-lagi, Hania mulai menyelidiki tentang keluarganya.
Wanita ini benar-benar gigih.
"Orang tuaku bekerja di luar kota."
"Oh, begitu ..."
Hania langsung paham.
Dulu, kondisi keluarga di Desa Yanara nyaris begitu semua. Orang tua dan anak-anak tinggal di rumah. Sementara itu, orang yang tubuhnya agak kuat akan bekerja dan merantau ke kota, lalu pulang saat tahun baru saja.
Melihat wajah masam Jamal dan sikapnya yang enggan berbicara dengan Hania, wanita itu pun tidak mencari topik pembicaraan lagi. Dia bersandar di kursi dan tidur sebentar.
Dua jam kemudian, mereka kembali ke kompleks apartemen.
Jamal memarkir mobil dengan stabil, bersiap mengajaknya turun, tetapi dia melihat Hania sedang tidur nyenyak.
Seketika, wajahnya dipenuhi awan gelap.
Main setiap malam hingga pulang waktu larut, tak mengherankan kalau dia sangat mengantuk.
"Ekhem!"
Satu deheman itu mengejutkan Hania.
Dengan mata yang masih mengantuk, dia menatap Jamal sebelum menoleh ke luar jendela. Dia pun tersadar bahwa mereka sudah tiba di kompleks apartemen.
"Maaf, aku terlalu lelah. Jadi, nggak sengaja tertidur."
"Nggak apa-apa!"
Hania sama sekali tidak menyadari sindiran dalam kata-kata Jamal.
"Kamu naik dulu saja, aku masih ada urusan pekerjaan yang harus diselesaikan. Harus segera pergi."
"Lalu, kamu kapan pulang?"
Dia ingin memutuskan perlu memasak makan malam untuk Jamal atau tidak.
"Nggak pasti," balas Jamal.
"Kalau begitu, aku nggak akan tunggu kamu buat makan malam."
Hania turun dari mobil, lalu terdengar lagi suara dari belakang. "Jangan tidur sebelum aku pulang malam nanti. Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu!"
Perilaku Hania di hadapan sang kakek dan neneknya hari ini makin memantapkan tekad Jamal untuk bercerai.
Kalau saja Xena tidak menghubungi sewaktu mereka di perjalanan untuk memberi tahu adanya dokumen penting yang perlu diurus di perusahaan, dia enggan menunda sedetik pun!
Mobil melaju kencang, sementara Hania masih berdiri mematung di tempat yang sama. DIa bingung memikirkan maksud dari "hal penting yang akan dibicarakan" oleh Jamal.
Saat kembali ke rumah, baru duduk sebentar, ponselnya berbunyi.
Ada orang dengan foto profil bunga teratai menambahkan Hania sebagai teman. Tercantum catatan di sana, "Hania, aku Nenek Laksmita."
Nenek Laksmita punya nomor telepon Hania, pasti dia cari nomor WhatsApp Hania pakai nomor telepon itu.
Hania segera menerima permintaan pertemanan dan memberi kabar bahwa mereka sudah sampai di rumah.
Nenek Laksmita membalas dengan kata "Baik" berulang tiga kali, kemudian menyuruh Hania untuk istirahat yang cukup, dan bisa menghubungi lewat WhatsApp kalau ada apa-apa.
Di akhir pesan, beliau menambahkan kalimat "Meskipun nggak ada apa-apa, boleh ajak mengobrol sering-sering, kok." serta emoji senyum di akhir.
Setelah mengobrol sejenak dengan Nenek Laksmita, matahari pun mulai terbenam.
Hania makan malam seadanya di dapur, lalu buru-buru pergi guna mengantar pesanan makanan.
Malam beranjak makin larut kala pusat kota terang benderang, menyajikan pemandangan yang sangat berbeda dengan siang hari.
Sebuah Bugatti Veyron melaju begitu cepat di tengah lalu lintas.
Jamal, yang duduk di kursi penumpang, perlahan mengencangkan sabuk pengamannya.
"Chiko, kamu sudah bosan hidup, ya? Aku masih mau hidup lebih lama."
Saat ini, dia mengenakan setelan jas mahal, rambut hitam dibelah tengah dengan rapi, memperlihatkan Jamal layaknya seorang pengusaha sukses.
"Ah, nggak juga. Percaya pada kemampuan mengemudiku! Lihat persimpangan di depan sana, aku akan menunjukkanmu cara melakukan belokan cepat!"
Chiko begitu percaya diri sebelum menambah kecepatan mobil secepat mungkin.
Belum selesai bicara, tiba-tiba hadir sebuah sepeda selis.
"Rem!"
Jamal bereaksi cepat, segera mengingatkan.
Mobil dan sepeda selis mengerem bersamaan, lalu berpapasan begitu dekat. Benar-benar menegangkan!
Chiko menarik napas lega, melihat ke luar jendela mobil.
"Hei! Kamu nggak apa-apa, 'kan?"
Hania sangat terkejut. Dia memperbaiki helmnya, lalu bergegas memeriksa apakah makanan pesanan di kotak sudah tumpah.
Setelah memastikan tidak ada masalah, dia menjawab dengan nada tidak senang, "Kenapa mengemudi secepat itu, sih? Mau buru-buru mati, ya! Nggak menghargai nyawa diri sendiri dan orang lain!"
Setelah mengomel, Hania pun segera pergi.
"Sialan! Wanita ini berani mengomeliku ..."
"Sialan!"
Jamal terkesiap, lalu kembali menatap ke luar jendela.
Entah mengapa, suara wanita tadi terdengar tidak asing ...