Bab 11
"Hania, zaman sudah modern, mengapa kamu masih berpikiran seperti itu? Kakak sepupuku nggak pernah berpikir dangkal. Dia nggak akan meremehkanmu karena latar belakang keluarga."
"Lagi pula, keluarga kakak sepupuku baik semua, apalagi nenekku. Dia nggak pernah mempermasalahkan status sosial, yang penting kakak sepupuku mendapatkan pasangan yang tulus."
Kata-kata ini sudah berulang kali diucap Tania, tetapi Hania selalu menanggapinya dengan senyum.
Begitu pula kali ini.
"Tania, aku percaya sepupumu orang baik. Tapi, karena aku sudah menikah, jangan bahas hal ini lagi."
Tania terpaksa menghentikan pembicaraan itu, meskipun hatinya merasa kecewa.
Hania adalah sosok calon kakak ipar yang sempurna di matanya. Sayang sekali, dia telah menikah dengan orang lain.
Tampaknya, sang kakak sepupu kurang beruntung ...
"Oke, sudahlah. Hania, karena kamu tinggal dekat sini, bagaimana kalau kita ke warung makan depan, kemudian minum bir dan makan-makan. Biar aku yang nanti antar pulang, ya?"
Salah satu alasan utama Tania bisa menjalin persahabatan dengan Hania karena mereka sering makan bersama.
Hania tahu soal warung pinggir jalan yang murah dan enak ada di mana saja. Karena itu, dia sering mengajak Tania makan di sana.
Tania sangat menyukai suasana ramai dan meriah layaknya warung makan pinggir jalan. Rasanya, suasana itu unik dan menyenangkan.
Alasan keduanya bisa menjadi sahabat dekat pun terkait dengan kebiasaan mereka yang sering makan bersama.
"Oke, kebetulan aku juga lapar. Ayo, kita ke warung sate di depan dan mengobrol sambil makan. Harus setuju aku yang traktir, jangan diam-diam bayar lagi!"
"Ya, oke. Terserah kamu, deh."
Kebetulan, Hania bertemu pelanggan malam ini. Lift di gedung apartemen pelanggan itu rusak. Dia harus berlari naik dan turun tangga sebanyak 20 lantai hingga Lobster Astria di perutnya sudah tuntas dicerna
Sekarang, dia merasa begitu lelah dan kelaparan.
...
Sudah lewat jam satu malam.
Jamal duduk di sofa ruang tamu, sudah tidak tahu berapa kali dia melihat jam.
Rasa kantuk sudah datang, tetapi dia belum melihat Hania pulang.
Kesabarannya sudah habis. Jamal mengambil Surat Gugatan Cerai di atas meja, bersiap untuk kembali ke kamar dan tidur.
Saat dia akan melangkah, kunci pintu berbunyi, menandakan pintu telah terbuka.
Hania tampak pelan-pelan membuka pintu, agak terkejut saat dia mendapati lampu masih menyala.
"Pak Jamal, belum tidur?"
Wajahnya tampak lelah. Saat Hania mengganti sepatu, Jamal turut memperhatikannya.
"Aku ada urusan denganmu."
Jamal lekas menarik ke inti pembicaraan, tidak ingin membuang waktu sedetik pun.
Hania sangat lelah. Sepanjang perjalanan pulang dengan Tania, dia saja hampir tertidur di mobil.
"Bolehkah kita bicara soal ini besok? Aku kelewat lelah, aku ingin tidur dulu."
Tanpa menunggu jawaban Jamal, dia langsung masuk ke kamar.
Hatinya merasa bahwa mereka belum saling mengenal begitu jauh. Jadi, Hania pikir, Jamal tidak punya urusan yang sangat penting.
Namun, tindakan Hania ini membuat Jamal murka.
Setelah menunggu berjam-jam, wanita itu tidak mau mendengar ucapannya sampai selesai.
Sungguh tidak sopan!
Dia melangkah ke pintu kamar Hania dan bersiap mengetuk pintu untuk membangunkannya. Namun, samar-samar aroma alkohol tercium di udara.
Tangannya yang hendak mengetuk terhenti di udara, lalu perlahan diturunkan.
Pulang larut malam, ditambah lagi minum alkohol, sulit membuat orang berpikir positif tentangnya.
Seketika, hasratnya untuk bicara dengan Hania pun sirna.
Jamal menunduk, menatap Surat Gugatan Cerai di tangannya. Alisnya tampak berkerut tidak senang.
Akhirnya, dia putuskan untuk membicarakan perihal ini usai Hania sadar dari mabuknya.
Keesokan paginya.
Hania terbangun karena dering alarm.
Setelah bergumul dengan pikirannya selama hampir seperempat jam, Hania perlahan bangkit dari tempat tidur.
Bergadang dan bangun pagi sudah menjadi rutinitas Hania. Dia pun benar-benar terbiasa dengan itu.
Selesai mandi dan bercukur, dia langsung pergi menuju pasar sayur terdekat untuk membeli beberapa bahan makanan sederhana dan sejumlah bumbu.
Tak perlu waktu lama, mi goreng telur tomat sudah siap dengan harum yang menguar.
Hania membaginya dalam dua mangkuk, lalu membawanya ke meja makan. Setelah itu, dia membuka sebotol saus sebelum datang ke pintu kamar Jamal.
"Pak Jamal, sudah bangun? Sarapan sudah siap."
Tidak ada jawaban dari dalam. Dia mengetuk pintu dua kali lagi.
Sebenarnya, Jamal sudah bangun dari lama, tetapi dia tidak ingin menggubris Hania.
Terganggu atas ketukan pintu, dia pun menjawab, "Sudah tahu."
"Agak cepat, ya. Aku masak mi, kalau kelamaan malah lembek dan nggak enak."
Setelah mengingatkan, Hania pun pergi.
Jamal pun mengenakan pakaiannya. Hal pertama yang dia lakukan adalah mengambil Surat Gugatan Cerai, bersiap untuk menghadap Hania, lalu menjelaskan semuanya.
Baru saja hendak keluar, ponsel di atas mejanya berdering.
Beberapa hari ini, Nenek terus-menerus menelepon.
Jamal tahu keinginan Nenek. Biasanya, dia menyuruh Xena untuk mengangkat telepon, beralasan dirinya tengah sibuk dengan pekerjaan perusahaan.
Namun, sekarang, Xena tidak ada. Dia tidak punya tameng lagi, sehingga dia harus menghadapinya sendiri.
"Nek, kenapa telepon pagi-pagi sekali?"
"Nak, Nak. Kalau aku nggak telepon pagi-pagi, apakah harus menunggumu ke kantor, lalu menyuruh Xena berdalih lagi?"
Pertanyaan Nenek membuat Jamal terhenyak sesaat.
Dia pun menjawab penuh keras kepala, "Nek, aku betulan sibuk."
"Hmm."
Di telepon, suara Nenek menjadi tegas.
"Aku nggak peduli kamu sibuk atau nggak, karena sudah menikah, cepat bawa cucu menantu Nenek. Kalau suatu saat Nenek darah tinggi dan tiba-tiba meninggal, kamu menyesal seumur hidup karena Nenek belum sempat lihat cucu menantu!"
Jamal menekan dahinya.
Neneknya memang mahir memainkan perasaan orang.
"Baiklah, Nek. Aku akan bawa dia pulang hari Sabtu. Tapi, ada satu syarat. Nenek harus ikut kerja sama."
"Bilang saja!"
Suara sang nenek menyembunyikan bahagia yang tak terkira.
Kalau didengar lebih saksama, bisa terdengar bahwa dia berbisik pada orang di sebelahnya. "Hei. Lihat, 'kan? Cara ini selalu berhasil, dia setuju!" bisik Nenek.
Jamal sungguh tak bisa berbuat apa-apa dengan dua orang tua itu.
"Nek, Hania belum tahu identitas asliku. Dia hanya mengiraku seorang pekerja biasa. Jadi, tolong jaga supaya tetap begitu."
Suara dari ujung telepon mendadak terhenti.
Lantas, Jamal mengaktifkan fitur pengeras suara.
Jamal hanya menangkap suara Nenek berbisik, "Bocah nakal ini, kenapa bisa meniru tingkahmu dulu? Apa kamu yang kasih ide buruk ini, berpikir semua orang akan berebut receh di rumahmu?"
Kakek Leno langsung mengelak, "Dia belajar semuanya sendiri, ya. Nggak ada hubungannya denganku."
Jamal hanya bisa menggelengkan kepala.
"Nenek, kalau nggak setuju, nggak akan kubawa dia pulang."
"Setuju, setuju. Kapan Nenek nggak setuju? Kalau begitu, kita bawa cucu menantu ke rumah tua di pinggiran kota saja. Tenang, Kakek dan Nenek sudah berpengalaman, pasti akan membantumu biar nggak ketahuan dia!"
"Semoga saja begitu."
Jamal sangat meragukan kata-kata Neneknya.
Namun, dia sendiri yang harus disalahkan karena terlalu cepat memberi tahu Nenek soal pernikahannya untuk merasa tenang saja. Karena itu, Nenek terus mendesak supaya memperkenalkan cucu menantunya.
Sekarang, sudah terlambat untuk mengatakan apa pun.
Setelah menutup telepon, dia melempar kembali Surat Gugatan Cerai itu ke nakas.
Sepertinya, urusan cerai harus ditunda beberapa hari lagi.
Dipikir ulang, ini pun memang hal yang baik.
Dia yang pusing memikirkan cara menjelaskan pada Nenek setelah bercerai dari wanita ini, justru kesempatannya datang lebih dulu.
Hidup Kakek dan Nenek sudah banyak pengalaman. Mereka telah bertemu dengan macam-macam orang. Karena itu, mereka pasti langsung mengenali seorang wanita seperti Hania.
Nanti, ini bisa menjadi alasan bagus untuk bercerai, bahkan Nenek pun tidak akan bisa berkata apa-apa.
Setelah cerai, Nenek dan Ibu juga tidak akan sanggup untuk terus mendesaknya supaya menikah lagi.
Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui!