Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 10

"Aku nggak peduli dengan kata-kata mereka." Dia tidak mau membuang waktu dan pikirannya untuk orang-orang yang tidak penting. Hania mengangkat kepalanya dan bertanya, "Kenapa kamu terlihat nggak senang sepanjang jalan?" Jamal hendak mengatakan sesuatu, tetapi dia tahan. Xena sudah menyiapkan Surat Gugatan Cerai. Sebentar lagi, dia bisa mengakhiri hubungannya dengan wanita ini. Tidak perlu buang-buang kata yang tidak perlu. "Jangan terlalu dipikirkan." Jawaban asalnya itu dipercaya Hania karena dia tidak bertanya lebih lanjut. "Pak Jamal, menurutmu, apa kejadian malam ini agak aneh?" Hania memandang keluar jendela, menunjukkan sedikit rasa tidak sabar. Wanita ini terus membahas kejadian malam ini. Pada dasarnya, Hania merasa bahwa Jamal punya identitas istimewa dan ingin cari tahu lebih lanjut. Di mobil berpolet gelap, Hania tidak terlalu mengamati ekspresinya dan lanjut bicara, "Manajer Hotel bilang, pacar Kak Yelena nggak pesan lobster Astria sebelum kejadian itu, berarti pacarnya berbohong?" Jamal tetap diam. "Aneh, ya. Mengapa dia berbohong begini? Jika dia ingin pamer kedudukan di depan kita, sebagai eksekutif Grup Lestanto, dia pasti punya kemampuan melakukannya!" Hania melanjutkan ucapannya, "Grup Lestanto, kamu pasti pernah dengar, 'kan? Perusahaan keluarga kaya perusahaan terkemuka di Kota Jarita, hanya orang-orang berbakat yang terpilih untuk bekerja di sana. Orang biasa pun susah sekali untuk masuk ke sana!" Dia menatapnya, seolah-olah Hania orang bodoh. "Belum pernah dengar." Hania teringat, pekerjaan di lokasi konstruksi biasanya sangat melelahkan. Dia tidak akan memperhatikan hal-hal semacam Grup Lestanto. "Kebetulan, kamu juga Jamal." "Jamal adalah nama yang umum, jutaan orang di luar sana juga bernama sama. Nggak ada yang istimewa dengan nama Jamal." Hania setuju. "Bicara soal itu ... Pak Jamal, menurutmu, apa pacar Yelena benar-benar hebat? Kenapa dia melakukan kebohongan seperti malam ini?" "Di luar sana, banyak yang memalsukan identitas." Satu kalimat itu menjawab kebingungannya. Usai menyadari kebenaran itu, Hania tidak lagi ambil pusing dan bertanya santai, "Pak Jamal, kalau begitu, apa identitas yang kamu beri untuk dirimu sendiri di luar sana?" Jamal memicingkan mata. Wanita ini, lagi-lagi mencoba untuk mengujinya. Jamal menoleh tanpa ekspresi dan menjawab dengan serius, "Aku adalah orang jujur, apa adanya, dan nggak suka main-main dengan kebohongan." Di satu sisi, itu menjawab pertanyaan Hania. Di sisi lain, secara tidak langsung, Jamal bilang bahwa dia hanya seorang buruh proyek yang tak punya uang. Jadi, tidak perlu repot-repot bersandiwara. Hania tidak menangkap maksud tersembunyi di balik kata-katanya, lalu mengangguk setuju. "Kamu benar, kurasa hidup jujur itu lebih mudah dan menyenangkan." Mengira Hania sengaja bersikap bodoh, kesabaran Jamal habis dan malas untuk terus bermain teka-teki. "Berapa lama lagi kamu akan pura-pura di depanku?" Tepat saat itu, ponsel Hania berbunyi dan mengalihkan perhatiannya. Melihat layar ponselnya, dia baru sadar bahwa dia lupa memperhatikan waktu. Setiap hari setelah pulang kerja, dia akan bekerja paruh waktu mengirim makanan pesan-antar. Hari ini, dia ambil cuti satu jam untuk sebuah pesta. Namun, karena sudah melebihi batas waktu yang diizinkan, Kepala Tim pun menelepon untuk mengingatkan. Dia mengangkat telepon, disambut teriakan milik Kepala Tim. "Hania, kamu masih mau kerja atau nggak? Kemarin dan hari ini sudah izin. Janji datang jam delapan, sekarang di mana coba, hah?" "Maaf, aku lupa lihat waktu. Aku segera datang, kok!" Menggantung sambungan, dia segera memanggil sopir dan turun dengan cepat. "Pak Jamal, aku masih ada urusan. Kamu pulang dulu, aku menyusul agak malam." Dengan suara "Dang!", pintu mobil tertutup, bahkan tak sempat bagi Jamal untuk bicara. Dia melihat keluar jendela, mendapati Hania mencegat taksi di tepi jalan dan tergesa-gesa menaikinya. 'Selarut ini, kamu buru-buru pergi ke mana?' Saat ini, terlintas ucapan Chiko di benak Jamal. "Dia masih terlibat dengan mantan tunangannya, foto-foto berikut diambil hari ini di bawah gedung perusahaannya!" Mengingat nada suara saat Hania menerima telepon, terdengar bagai janji yang terlambat sambil meminta maaf pada orang di seberang. Keduanya terkait, napas Jamal serasa tercekat. Pernikahan ini harus bertemu perceraian! … Smentara itu, pukul 12 malam. Hania turun dari sepeda selis, melepas helm, dan asal menyisir rambutnya yang basah karena keringat. Setelah membuka layar aplikasi pesan-antar, Hania melihat, total sepuluh pesanan yang dia kirim hari ini sudah menghasilkan 105 ribu rupiah. Dengan kecepatan menghasilkan uang seperti ini, dia menghitung, paling tidak akan butuh lebih dari dua tahun untuk melunasi pinjaman pendidikan. "Huh …" Dia menghela napas lega, melihat jalan panjang yang diterangi lampu jalan di depannya, dan merasakan beratnya tekanan hidup di pundak. Usai memarkir sepeda selis miliknya, dia memeriksa jarak ke Kompleks Harmoni Indah di ponselnya. Beruntung, jaraknya lima kilometer saja, benar-benar bisa naik sepeda selis dalam setengah jam. Tiinn! Tiinn! Bersama suara klakson mobil, ada cahaya terang yang diarahkan ke wajah Hania. Dia refleks menutup penglihatannya dengan tangan. "Hania! Aku tahu kamu belum pulang, cepat naik mobil, aku antar kamu pulang!" Menggeser tangan yang menutup matanya, Hania sudah mendapati satu mobil BMW warna merah anggur di depan mata, bersama seorang gadis cantik bersenyum cerah yang hadir dari jendela kemudi. Hania merasa begitu senang. "Tangtang! Kamu nggak ambil cuti setengah bulan dari perusahaan dan pulang ke kampung halaman? Kenapa sudah kembali secepat ini?" Tania dan Hania adalah rekan kerja yang masuk ke perusahaan pada waktu yang sama. Dibanding rekan kerja lainnya, Tania tidak pernah peduli bahwa Hania miskin dan berpakaian sederhana, malah merasa dia istimewa dan dekat dengannya. Hania juga senang menjadi teman dengan Tania, bahkan memanggilnya pakai nama yang mirip dengan namanya serta "Tangtang" untuk panggilan sayang. "Baru kasih tahu saja, ibuku sudah telepon dan kirim pesan WhatsApp waktu aku nggak pulang. Eh … giliran aku pulang, ibu sudah mengomel dan mengeluh, aku saja belum tiga hari di rumah! Aku nggak tahan. Jadi, aku pulang duluan saja!" Hania tersenyum, terlihat sedikit binar iri di matanya. Ibunya tidak pernah meneleponnya untuk pulang. Kemarin, sang ibu mengusir. Buat apa orang lain ada yang peduli, 'kan? "Hania, kenapa mematung? Cepat, naik ke mobil!" Hania melepas emosinya seraya naik ke mobil. "Tania, aku sudah pernah bilang, kerja paruh waktuku terlalu larut. Kamu nggak perlu antar aku pulang selalu, terlalu ganggu waktu istirahatmu, lho." "Dengar, kita ini sepasang teman baik. Jangan sungkan sama aku, dong! Lagi pula, aku datang menjemputmu karena jadwal kerjamu sampai larut, rumahmu jauh, bahkan harus naik bus untuk satu arau dua jam perjalanan. Nggak aman buatmu, seorang gadis, yang kembali seorang diri di tengah malam." Hati Hania menghangat. "Sekarang, nggak perlu satu atau dua jam Tangtang. Aku sudah menikah dan pindah ke tempat tinggal suami, nggak jauh dari sini, lho!" Kekehan pelan pun seketika terpotong. Mobil Tania mendadak menginjak pedal rem. Tania memarkir mobilnya di tepi jalan, memalingkan kepalanya, dan mengerutkan keningnya kuat-kuat. "Kamu sudah menikah? Dengan siapa? Bos Yuri yang Ibu kenalkan pada kamu?" Lantas, Hania segera membantah, "Tentu bukan, tapi orang lain. Aku kenal via situs kencan dan kurasa dia oang baik-baik. Jadi, kami menikah saja supaya tidak terus-terusan memaksaku menikah." Hania berbicara dengan nada putus asa. Tania tahu keluarganya marah, tetapi lebih banyak yang merasa lemah. "Hania, gegabah banget? Kamu nggak kenal pria dari situs kencan, lho. Kalau bertemu orang yang keliru, masa depanmu bisa hancur, dong? Jika tahu kamu punya rencana menikah, coba kasih tahu aku dulu, biar kuperkenalkan pada sepupu priaku kapan saja!" Hania tersenyum dan menggelengkan kepala. "Sudahlah, Tangtang, nggak masalah. Nggak mau merayu sepupumu juga, ya." Sepupu pria ini sering disebut Tania dan berkali-kali bicara kalau dia ingin memperkenalkannya pada Hania, tetapi dia selalu menolak. Lewat deskripsi Tania, bisa ditangkap informasi bahwa sepupunya termasuk pria kaya, muda, dan tampan. Dia lembut dan berpendidikan, tetapi kurangnya, dia belum pernah menjalin hubungan percintaan dan tidak paham romansa sedikit pun. Tania bukan orang yang suka membanggakan diri. Lewat interaksi sehari-hari, Hania bisa melihat keluarganya baik-baik saja. Meskipun dia lahir di lapisan masyarakat yang rendah, Hania tahu betapa pentingnya kesesuaian sosial dan ekonomi antara pasangan. Dia hanya ingin mencari seseorang yang tidak terlalu berbeda dengannya, lalu hidup biasa-biasa saja. Rasanya, Hania tidak pantas bersanding dengan sepupu Tania.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.