Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Sambil meremas tangan, aku dengan malu menuturkan tujuan kedatanganku. Mata Carson menjadi lebih gelap saat bertanya, "Menurutku, kenapa aku harus bantu kalian?" Aku tahu permohonanku tidak akan berhasil. Aku tersenyum canggung seraya berujar, "Kalau begitu, anggap saja aku nggak pernah ke sini." Wajar sekali. Setelah semua perbuatan kami padanya, untung Carson tidak membalas dendam pada kami. Bagaimana mungkin Carson akan membantu keluarga kami? Bisa-bisanya aku malah datang untuk memohon Carson. Aku makin merasa malu. Aku ingin kabur, tetapi Carson berujar, "Coba katakan, kamu mau memohonku dengan apa? Kalau itu sepadan menurutku, aku nggak keberatan untuk bantu kalian." Aku termangu. Aku juga tidak tahu apa yang bisa kuajukan untuk memohon Carson. Dengan tubuhku? Cih! Kalau Carson benar-benar memiliki hasrat terhadapku, kami sudah menikah selama tiga tahun dan tidur sekamar. Carson punya banyak kesempatan. Akan tetapi, Carson tidak pernah menyentuhku selama tiga tahun ini. Aku menundukkan kepala dan berujar dengan malu, "Anggap saja aku nggak pernah datang hari ini." Carson tiba-tiba berjalan ke arahku. Carson sangat tinggi, lebih tinggi satu kepala dariku. Carson membungkuk dan tertawa di telingaku. "Sudah dandan begini, buat apa kamu sok suci?" Tubuhku membeku. Aku merasa sangat malu dan ingin segera kabur. Carson tiba-tiba merangkul pinggangku dan tersenyum penuh arti. "Selama tiga tahun menikah, aku selalu tidur di lantai. Sudah lama aku nggak mencicipi tubuhmu. Bagaimana kalau ... kamu memohonku dengan menyerahkan dirimu sendiri?" Mataku membelalak. Aku mengira aku salah dengar, jadi aku bertanya, "A ... apa katamu?" Mata Carson yang gelap menatapku, seperti lautan yang dalam. Tatapan itu membuatku gugup. Carson tidak menjawab. Jarinya yang ramping menarik tali gaunku menuruni bahuku. Wajahku langsung merah dan aku mendorong Carson. Aku berteriak dengan marah, "Ya sudah kalau kamu nggak mau bantu, aku juga nggak berharap kamu bisa bantu kami. Tapi jangan menghinaku." Carson menatapku dengan ekspresinya yang tidak kupahami, seperti marah, juga seperti tersenyum. Carson bertanya, "Kamu pikir aku sedang menghinaku?" "Memangnya bukan?" Carson jelas menyukai wanita lain. Bukankah Carson berbuat seperti ini padaku untuk menghinaku? Carson tiba-tiba duduk di kursinya lagi. Tebersit kedinginan di matanya saat dia menatapku. Carson tersenyum seraya berkata, "Dandananmu cukup niat, tapi sikapmu nggak tulus. Kalau begitu, kamu pergi saja." Sudah kuduga Carson tidak akan membantu keluarga kami. Aku tidak berkomentar dan langsung pergi. Begitu aku keluar dari perusahaan, ayah dan ibu langsung menghampiriku. Ayah bertanya dengan cemas, "Bagaimana? Carson mau bantu kita nggak?" Aku menggelengkan kepala. Ayah langsung berteriak, "Dasar nggak punya hati, sudah sukses langsung jadi congkak. Kalau tahu begitu, Ayah nggak akan nikahkan kamu padanya. Sialan!" Ibu juga berteriak, "Ya, Carson biasanya lembut dan pasrah, tapi nggak nyangka dia nggak punya hati nurani!" Aku mengembuskan napas dengan tidak berdaya. "Jangan bilang begitu. Carson nggak mengandalkan koneksi dan uang keluarga kita. Mana bisa kalian bilang Carson nggak punya hati nurani?" "Wajar kalau Carson nggak mau bantu kita, dulu kita jahat padanya." Ayah dan ibu terdiam. Ekspresi mereka galau. Melihat mereka begitu, kepalaku makin sakit. Pada malam hari, kakak menelepon teman-temannya yang dulu dan berharap mereka bisa membantu. Dulu ketika ditelepon untuk minum bir, mereka datang dengan cepat. Akan tetapi, sekarang tidak ada satu pun yang menjawab telepon kakakku. Kakak marah dan melempar ponselnya, memaki mereka karena tidak setia kawan. Aku meringkuk di bawah selimut dan menghibur kakakku, "Sudahlah, Kak. Di era sekarang, pertemanan itu lemah." Ibu mulai menangis. Dengan kondisi keluarga kami sekarang, mustahil bisa bangkit lagi. Hal yang paling mendesak adalah utang. Hampir setiap hari ada orang yang datang untuk menagih utang. Perbuatan mereka bahkan sudah mengganggu kehidupan sehari-hari kami. Ayah membujukku lagi, "Meisya, bagaimana kalau kamu cari Carson lagi. Carson sudah kaya sekarang. Harusnya bisa kamu pinjam sedikit uang dengan dia, 'kan?" Ibu menyahut, "Ya. Sekalipun kalian cerai, kamu juga bisa mendapat sebagian hartanya, 'kan?" Aku meringkuk di bawah selimut, tidak berani memberi tahu mereka bahwa aku sudah diceraikan oleh Carson tanpa pembagian harta. Jika tidak, mereka pasti akan mencaci maki Carson. Kakak membentak, "Cukup. Jangan suruh Mei begini lagi, oke? Kita begitu jahat padanya dulu, kalau kalian suruh Mei pergi memohonnya sekarang, sama saja kalian suruh Mei dihina." Ibu tersadarkan dan segera bertanya, "Carson nggak melecehkanmu tadi pagi, 'kan?" Aku buru-buru menggelengkan kepala. "Nggak, nggak." Ibu bergumam lagi, "Benar juga. Carson biasanya pendiam, juga patuh padamu. Sekalipun sekarang kita sudah terpuruk, Carson menyukai dan mengagumimu. Mana mungkin Carson melecehkanmu?" Aku tersenyum canggung, tidak berkomentar. Ayah mengembuskan napas dan menoleh pada balkon yang terbuka, ingin bunuh diri lagi. Lalu, ibu ikut menangis. Mereka benar-benar membuatku sakit kepala. Prioritas utama sekarang adalah mengumpulkan uang untuk membayar utang. Beberapa hari kemudian, aku sudah sembuh. Jadi, aku pergi mencari pekerjaan. Pekerjaan pada umumnya hanya memberi gaji yang rendah dan lambat. Untungnya, aku tahu gaji agen penjualan bir di klub eksklusif sangat tinggi. Dulu, saat aku dan teman-teman minum bir di klub, kami bisa memberi uang tip yang banyak pada agen penjualan bir kalau kami senang. Aku pergi ke klub yang sering kudatangi dulu. Manajer klub mengenaliku. Berkat keakraban sebelumnya, manajer langsung mempekerjakanku dan khusus menugaskanku di ruangan para orang kaya. Aku bisa mendapat uang tip yang besar dengan mengantarkan bir pada orang-orang kaya. Akan tetapi, aku tidak menyangka akan bertemu dengan Carson di dalam ruangan. Carson tidak pernah pergi ke tempat semacam ini, setidaknya tidak pernah dalam tiga tahun sejak kita menikah. Carson bahkan tidak senang aku pergi ke tempat semacam itu. Saat aku pergi ke klub bersama temanku, Carson selalu membujukku untuk jangan pergi ke tempat yang kacau semacam itu. Tentu saja, aku selalu memarahi Carson dan mengusirnya. Dulu, Carson benar-benar lembut dan soleh. Sekarang, Carson duduk di kursi tengah sambil menyilangkan kaki dan memegang sebatang rokok. Senyuman yang terlihat jahat dan menggoda tersungging di wajahnya. Ternyata, kelembutan dan kesolehan Carson yang dulu hanya dibuat-buat. Carson menatapku begitu saja. Sikapnya yang angkuh membuatku pesimis. Kalau tahu Carson ada di ruangan ini, aku tidak akan datang. Ketika aku sangat canggung dan ingin bersembunyi, terdengar siulan di dalam ruangan. Aku menolehkan kepala secara refleks. Orang-orang di samping Carson adalah mereka yang dulu bergaul dengan aku dan kakakku sebelumnya. Ternyata, sekarang mereka semua menyanjung Carson. Mereka tahu aku jahat pada Carson sebelumnya. Jadi, sekarang mereka akan merundungku untuk menyenangkan Carson. Rasanya aku ingin cepat pergi dari sini. Ketika aku ingin mendorong kereta bir ke luar, seorang pria berbicara.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.