Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 9

"Aku ...." Wenda tidak bisa berkata-kata. Bagaimanapun, kejadian di tempat karaoke itu merupakan kesalahan Wanika. Hanya saja, sebagai sahabat Wanika, dia harus mendukungnya dengan tanpa syarat. "Calvin, kamu keterlaluan. Ray beranjak dari kursinya dan berseru dengan ekspresi marah. Ray ingin menunjukkan kejantanannya untuk menonjolkan diri di depan wanita pujaannya. Calvin melirik Ray sekilas dan memalingkan tatapan, tidak menghiraukannya. Feryanto juga tidak bersuara. Dia mengacungkan tinjunya ke arah Ray. Meskipun Calvin sudah menyebalkan sejak kecil dan makin menyebalkan sekarang, Feryanto tidak akan membiarkan siapapun merundung Calvin. "Aku kakakmu." Itu bukan hanya sekadar gurauan. "Ayo kita pergi, nggak usah makan lagi," ujar Wanika. Wanika melirik Calvin, lalu berjalan ke luar tanpa menoleh ke belakang. Ray bergegas menyusul ke luar. "Aduh, aku nggak mau urus lagi tentang masalah kalian." Setelah berkata demikian, Wenda juga segera menyusul ke luar. Ketika tadi, Wenda jelas melihat ada butiran air mata di mata Wanika. "Ika, kamu benaran nangis? Jangan-jangan ... kamu benaran suka Calvin?" Setelah menyusuli Wanika, Wenda bertanya dengan ekspresi khawatir. Memang ada air mata di mata Wanika. "Mana mungkin?" Wanika langsung menggelengkan kepala. Wanika bukan menangis karena menyesal, tetapi karena sedih. Tatapan mata Calvin saat melihatnya tadi jelas membawa rasa jengkel dan ingin menjauh. Bagaimana bisa Wanika yang angkuh menerima hal itu? "Wenda, Calvin sengaja. Calvin sengaja bikin aku marah ...." Ekspresi Wanika makin sedih. Kejadian malam itu adalah kesalahannya, tetapi dia sudah meminta maaf. Apa lagi yang Calvin ingin dia lakukan? Dulu, Calvin selalu berada di sisinya. apa pun yang dia katakan, itu akan membuat Calvin berbahagia sepanjang hari. Sekarang, sudah beberapa kali dia mengisyaratkan Calvin untuk berbaikan, tetapi Calvin tetap cuek. Apakah Calvin tidak merasa sayang karena telah membuatnya marah? Wenda teringat bahwa Calvin makan siang bersama Berlina dalam beberapa hari. Menurutnya, Calvin mungkin bukan sengaja membuat Wanika marah kali ini. Akan tetapi, melihat Wanika begitu sedih, bagaimana Wenda berani memberitahukan hal tersebut? Wenda hanya bisa menghibur Wanika. "Ika, Calvin pasti pura-pura." "Benaran?" "Pasti. Dia merasa malu karena dipermainkan malam itu, lalu pura-pura cuek. Tunggu saja, dia akan menyesal di kemudian hari!" Manusia hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar. Wanika langsung terhibur oleh omongan Wenda, kembali menjadi tuan putri yang angkuh. "Cih. Sekalipun dia menyesal, aku tetap nggak peduli!" Teringat akan "kemesraan" Calvin dan Berlina, Wenda berpikir dalam hati. Wanika pasti akan sangat marah ketika mengetahui hal itu, bahkan mungkin akan berdampak pada Ujian nasional. Solusi terbaik saat ini adalah meredakan emosi Wanika dan membuatnya membenci Calvin. Wenda segera menyanggupi, "Ika, itu baru benar. Apa-apaan Calvin itu? Kenapa dia bersikap seperti ini padamu? Kamu juga bukannya nggak punya penggemar!" Mendengar itu, Ray segera menonjolkan diri. "Benar, benar, benar. Ika, kamu masih ada aku, bukan?" Wanika melirik Ray dengan cuek, bahkan tidak ingin berbicara dengannya. Ray merasa canggung sehingga menggaruk bagian belakang kepala. Sebagai pria penyayang, tidak ada istilah harga diri baginya. ... "Calvin, aku nggak salah lihat, 'kan? Mata Putri Wanika merah saat dia pergi tadi. Sepertinya nangis ...." Feryanto sangat terkejut. Calvin tersenyum. "Ya sudah kalau nangis, apa hubungannya denganku?" Feryanto menggerutu, "Tapi ... dia nangis karena kamu. Bukannya berarti dia lumayan peduli denganmu? Kalau kamu mengalah padanya sekarang, kalian mungkin bisa pacaran." Apakah Berlina unggul? Tentu saja. Dari segi kecantikan, sifat, nilai maupun latar belakang keluarga, Berlina jauh lebih unggul dibanding Wanika. Justru karena Berlina terlalu unggul, Feryanto sama sekali tidak optimis bahwa Calvin dapat pacaran dengan Berlina. Wanika-lah target yang dapat diraih oleh Calvin dengan segenap perjuangan. Selain itu, Calvin sudah menyukai Wanika selama tiga tahun. Bagaimana mungkin Calvin tiba-tiba tidak menyukai Wanika? Mendengar analisis yang serius dari Feryanto, Calvin tertawa geli. "Kak Feri, kamu pikir dia nangis karena aku?" "Memangnya bukan?" "Tentu saja bukan. Dia hanya sedih karena merasa nggak adil. Percayalah, cewek macam itu hanya mencintai diri mereka. Kalau sekarang aku berbaikan dengan dia, dia mungkin akan bersikap baik padaku selama beberapa hari. Tapi kalau aku benar-benar jatuh cinta padanya, dia akan mulai membuat onar lagi." "Calvin, nggak mungkin, 'kan? Aku lihat sedih sekali dia nangis tadi ...." "Sudah, nggak usah bicarakan ini lagi. Kak Feri, dasar kamu ini. Kamu lebih percaya Wanika nangis karena aku, tapi nggak percaya alien dari Trisurya akan segera menyerang Bumi ...." ... Dalam ujian matematika pada sore hari, Calvin mengerjakannya dengan sangat baik. Calvin sudah mengerjakan semua soal dalam waktu satu setengah jam. Dia mengecek dua kali dengan teliti, tidak ada kesalahan apa pun. "Astaga, bisa jadi aku dapat nilai maksimal?" Calvin terkejut .... Dia benar-benar sangat hebat sekarang. Tentu saja, ini berkaitan dengan tingkat kesulitan ujian percobaan ketiga yang cenderung lebih mudah. Akan tetapi, bisa mendapat nilai maksimal menandakan Calvin telah memahami pengetahuan matematika jenjang SMA secara mendalam. Bahkan untuk soal ujian tahun 2003 yang dikatakan adalah soal tersulit, Calvin mungkin juga bisa mendapat nilai 130-an. Pada hari kedua, mata pelajaran yang diujiankan adalah mata pelajaran sains di pagi hari dan bahasa Inggris di siang hari. Calvin mengerjakan semuanya dengan cukup baik. Ujian berakhir pada sore Sabtu. Besok adalah hari Minggu, tidak perlu ke sekolah. Oleh karena itu, murid-murid dipulangkan lebih awal. Ujian percobaan ketiga memang tidak terlalu sulit. Feryanto memiliki pengetahuan dasar yang kuat, tetapi kepintarannya tidak mencukupi untuk mengerjakan soal-soal yang terlalu sulit. Oleh karena itu, Feryanto merasa sangat optimis dalam ujian percobaan kali ini. Begitu bertemu dengan Calvin, Feryanto mulai berlagak congkak. Dia menyuruh Calvin bersiap-siap untuk memanggilnya ayah angkat. Calvin hanya tersenyum. Masih sebulan lagi dari waktu Ujian Nasional. Nilai dari ujian percobaan ketiga akan dibagi secepatnya agar murid-murid dapat menggunakan waktu yang tersisa untuk mempelajari ulang kesalahan mereka. Mungkin lembar jawaban murid-murid akan dikoreksi besok dan hasilnya diumumkan pada hari Senin. Feryanto hanya bisa congkak selama sehari. "Calvin, akhirnya sudah selesai ujian. Ayo kita pergi main sore ini. Ke pusat permainan video?" "Ayo." Mereka segera mengayuh sepeda ke pusat permainan video dan memainkan The King of Fighters '97 selama satu jam lebih. Alhasil, Calvin kalah telak. Dalam bermain game, Feryanto lebih berbakat darinya sejak kecil. Setelah meninggalkan pusat permainan video, mereka pulang bersama-sama. Feryanto bertanya sambil berjalan, "Calvin, besok Minggu. Apa rencanamu? Mau ikut daki gunung nggak?" Calvin menggelengkan kepala dan mengatakan sudah ada rencana lain. Feryanto secara refleks ingin menyeletuk apa rencana yang kamu punya. Tepat saat itu, dia menyadari sesuatu. Calvin dan Berlina sedang dalam masa "kemesraan". Jelas mereka akan pergi kencan besok. Jika dia menanyakannya, bukankah dia akan mempermalukan diri sendiri? ... Sepulangnya ke rumah, Calvin masuk ke kamar dan mengeluarkan ponsel Nokia 5200 dari dalam laci. Murid-murid dilarang untuk membawa ponsel ke sekolah. Setelah ponsel dinyalakan, Calvin menelusuri Facebook seluler. Dikarenakan "peringatan" Lydia, Calvin dan Berlina terpaksa harus berinteraksi secara diam-diam untuk sementara waktu. Mereka berusaha untuk tidak bertatap muka di sekolah, melainkan mengobrol di Facebook setelah pulang ke rumah. Ketika Calvin memasuki akun Facebook, foto profil Berlina sudah menyala. Jelas bahwa Berlina sudah sampai di rumah sejak tadi dan tidak sabar ingin mengobrol dengan Calvin. Calvin dan Feryanto pergi bermain The King of Fighters '97 sehingga tidak membalas pesan. Jadi, Berlina mengirim banyak pesan. Tanggal 14 Mei pukul 17:31 Beryls: "Calvin, aku sudah sampai di rumah. Kamu sedang apa?" Tanggal 14 Mei pukul 17:42 Beryls: "Sudah 10 menit. Kok kamu nggak balas?" Tanggal 14 Mei pukul 17:50 Beryls: "Bosan sekali. Cepat balas aku! (emoji pisau)" Tanggal 14 Mei pukul 18:03 Beryls: "Kamu ke mana? Di langit ada awan yang imut, makin terlihat sepertimu." Tanggal 14 Mei pukul 18:17 Beryls: "Calvin, aku benaran ingin ngobrol denganmu, tapi nggak apa-apa, aku masih bisa tahan. Paling lama setengah jam." Tanggal 14 Mei pukul 18:31 Beryls: "Ehm, Ibu suruh aku makan. Ingat balas kalau sudah baca. (emoji senyum)." Calvin yang di kehidupan sebelumnya pasti akan merinding ketika melihat emoji senyum itu. Untungnya, sekarang masih tahun 2009. Senyuman itu hanya berarti senyuman, tidak ada maksud lain. "Baru sampai di rumah, baru lihat pesan." Calvin melirik jam, menjelang jam 7 malam. Dia bergegas membalas pesan Berlina. Calvin berpikir Berlina akan membalas pesan dalam beberapa waktu lagi. Tidak seperti aplikasi di era modern, Facebook seluler tidak memiliki notifikasi pesan masuk. Kita hanya bisa melihat pesan dari teman dengan cara memperbarui situs. Alhasil, hanya dalam belasan detik, Berlina mengirim dua emoji senyum. Teguh: "Kok kamu pulangnya cepat?" Beryls: "Selain makan, aku selalu perbarui Facebook." Teguh: "Memangnya kamu babi? Kalau aku belum balas, pasti aku belum sampai di rumah." Beryls: "Tapi ... aku takut kamu marah kalau aku nggak langsung balas setelah kamu kirim pesan."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.