Bab 11
Tidak peduli seberapa tinggi bakat Berlina dalam belajar, Berlina yang baru mempelajari cara memainkan permainan video tidak mungkin bisa mengalahkan Calvin yang sudah senior.
Berlina babak belur.
Calvin pun tidak berbelaskasihan.
Calvin tidak memberi ampun, tanpa peduli Berlina hanyalah pemain pemula. Calvin sungguh tidak berperasaan.
Setelah kalah sepuluh kali berturut-turut, Berlina tidak tahan lagi. Dia cemberut dan mengerenyitkan bibir merah. Matanya yang besar dan cerah mulai berair.
Impian game yang baru muncul di hati Berlina langsung dihancurkan oleh Calvin.
Calvin baru sadar dirinya agak keterlaluan.
"Kamu marah, ya?"
"Nggak!"
"Aku harusnya mengalah."
"Nggak usah!"
Berlina memalingkan kepala dengan ekspresi marah.
Calvin menggaruk bagian belakang kepalanya. Entah di kehidupan sebelumnya atau kehidupan sekarang, dia tidak punya pengalaman dalam menghibur perempuan.
"Kalau begitu ... kita pergi saja?"
"Ya."
Mereka meninggalkan pusat permainan video secara berjajar.
Calvin memanggil mobil taksi dan memberitahukan alamat rumah Berlina kepada sopir.
Mereka tidak berbicara di sepanjang jalan.
Setelah sampai, mereka satu per satu keluar dari mobil.
"Pulang sana."
Calvin melambaikan tangan pada Berlina.
Berlina berdiam di tempatnya dengan waswas.
"Kenapa?"
"Calvin, aku ... aku memang agak marah tadi, tapi ... aku sudah nggak marah sekarang."
Sambil berkata, Berlina tersenyum. Bagaikan matahari terik setelah turun hujan.
"Hari ini ... aku senang sekali. Terima kasih sudah membawaku bermain."
Calvin tersenyum. "Iya. Pulang sana."
Pada saat ini, langit sudah gelap. Petang hari di musim panas sangat mirip cinta monyet pemuda-pemudi, tak bisa dihentikan, tak bisa dipatahkan, menari-nari di udara karena ditiup angin.
...
Sepulangnya ke rumah, Calvin ditunggu oleh orang tuanya yang sedang duduk di sofa. Tiga piring lauk dan semangkuk sup disajikan di atas meja makan, masih mengeluarkan uap panas.
Mereka tidak langsung makan setelah masak, melainkan menunggu Calvin pulang untuk makan bersama-sama.
"Ayah, Ibu ...."
Calvin memanggil orang tuanya.
Sherline melambaikan tangan. "Seharian nggak lihat kamu, nggak tahu pergi ke mana saja. Cepat cuci tangan dan makan."
"Siap!"
Calvin memberi hormat dengan kocak, lalu buru-buru pergi cuci tangan. Dia duduk di depan meja makan.
Sherline sudah mengambilkan nasi untuk Calvin, sekaligus menyodorkan sendok dan garpu padanya.
Sejak naik ke kelas 12 SMA, kedudukan Calvin di rumah meningkat pesat.
Mereka sekeluarga makan sambil mengobrol. Suasananya sangat harmonis.
Di keluarga yang juga memiliki anak kelas 12 SMA, obrolan keluarga mereka akan selalu membicarakan tentang nilai, terutama baru selesai ujian percobaan.
Sherline mengambilkan lauk untuk Calvin. Dia berlagak santai saat menanyakan bagaimana pendapat Calvin terhadap ujian percobaan kali ini.
Herman jengkel sehingga memutar mata.
"Buat apa ditanya, sudah selesai ujian .... Lagi pula, memangnya kamu nggak tahu bagaimana nilai anakmu? Syukur kalau bisa masuk universitas unggulan. Kamu pikir dia bisa masuk ke Universitas Kintani dan Universitas Benin?"
Sherline memelototi Herman, tetapi tidak menanyai Calvin lagi.
Calvin berpikir sejenak dan memutuskan untuk merahasiakannya dulu.
"Ibu, aku rasa lumayan oke. Mungkin sedikit lebih tinggi dari ujian percobaan kedua."
Mendengar itu, Sherline dan Herman menghela napas lega.
Lebih tinggi dari ujian percobaan kedua, berarti Calvin bisa masuk ke universitas unggulan.
Calvin hanya tersenyum. Dia membayangkan seperti apa ekspresi mereka setelah mengetahui nilainya yang sesungguhnya.
Taktik Calvin sangat sederhana, tetapi efektif. Dengan menurunkan harapan mereka dan menunda rasa kepuasan, kebahagiaan mereka akan luar biasa tinggi.
...
Esoknya hari Minggu adalah hari Senin.
Calvin dan Feryanto sampai di sekolah pas pada waktunya. Baru saja mereka memasuki kelas, bel sudah berbunyi.
Mereka bertatapan satu sama lain dengan bangga.
Kebahagiaan anak SMA sangatlah sederhana.
Pada sesi belajar mandiri pagi hari, Calvin dengan jelas merasakan nuansa gugup di kelas .... Bagaimanapun, hasil ujian percobaan ketiga akan diumumkan pada hari ini.
Calvin tidak gugup, malah sedikit gembira.
Menurut perkiraannya, dia mungkin bisa mendapat peringkat sepuluh besar seangkatan kali ini. Itu sudah meningkat pesat dari nilai sebelumnya.
Seperti dari bayi menjadi orang dewasa!
Benar saja ....
Pada mata pelajaran pertama, bahasa Indonesia, Lydia memasuki kelas dengan ekspresi serius sambil membawa beberapa tumpukan kertas ujian.
Sepatu hak tinggi mengeluarkan bunyi "tak-tak" saat menginjak ubin.
Seluruh murid langsung menjadi tegang. Nilai mereka akan diumumkan ....
Begitu masuk, Lydia yang bersikap tegas tidak mengatakan apa-apa. Tatapan matanya menyapu ke seluruh ruangan kelas. Ekspresinya sangat suram.
Murid-murid di kelas menjadi gugup.
"Astaga, dia memang Biksuni Miejue. Auranya sangat menekan."
Calvin menggerutu dalam hati.
Tidakkah "tes kepatuhan" Bu Lydia hari ini sedikit berlebihan? Mungkinkah ada murid yang mendapat nilai rendah dalam ujian kali ini?
Tidak mungkin.
Dengan adanya dia yang sudah mendapat terobosan besar, murid kelas unggulan yang berpotensi masuk ke peringkat sepuluh besar seangkatan, bukankah Bu Lydia seharusnya bergembira?
Calvin pun merasa tertekan, apalagi Feryanto.
Feryanto terus menggerakkan pantat di kursinya. Wajahnya memucat seketika.
Feryanto takut akan dipanggil oleh Lydia karena nilainya rendah.
Keheningan yang aneh itu berlangsung sekitar belasan detik. Pada akhirnya, Lydia berbicara.
"Kita bicarakan dulu nilai rata-rata ujian percobaan kali ini. Nilai rata-rata kelas kita sudah meningkat dibanding ujian percobaan kedua. Ada beberapa murid yang nilainya jauh lebih tinggi dari biasa, sampai Ibu pun nggak percaya .... Ada juga beberapa murid yang nilainya sangat rendah, turun jauh .... Ibu nggak akan sebut namanya. Kalian akan tahu sendiri setelah nilai kalian diumumkan."
"Selain itu, setelah ujian percobaan ketiga berakhir, ini adalah masa perjuangan terakhir. Kalian sudah menempuh 90% jalan, jangan sampai lengah di saat-saat terakhir .... Kalian harus dapat nilai bagus dalam Ujian Nasional. Jangan mengecewakan orang tua kalian, juga jangan mengecewakan kalian sendiri."
Seperti biasa, Lydia berceramah terlebih dahulu. Lalu, dia membagikan kertas ujian.
Lydia adalah guru bahasa Indonesia. Oleh karena itu, Lydia memanggil murid untuk maju ke depan dan mengambil kertas ulangan berdasarkan nilai tertinggi hingga nilai terendah dalam ujian bahasa Indonesia.
Tujuannya adalah agar murid dengan nilai tinggi menikmati kehormatan, serta membuat murid dengan nilai rendah merasa malu.
"Ray Jonathan, 131. Janet Sain, 125. Wenda Limanta, 121. Wanika Harahap, 118 .... Feryanto Wijaya, 114 .... Calvin Kencana, 101 ...."
Nada bicara Lydia datar dan tidak berperasaan, seperti robot.
Peraih nilai bahasa Indonesia tertinggi di kelas mereka adalah Ray Jonathan dengan nilai 130. Ray sungguh unggul.
Dari perkataan dan perbuatan Ray, dapat diketahui bahwa banyak kerabatnya yang menjadi pegawai negeri. Keluarga mereka adalah keluarga cendekia di kabupaten.
Di bawah pengaruh keluarganya, Ray juga banyak membaca.
Di usia muda, Ray sudah mulai membaca buku "Hikayat Majapahit" yang tebal dan sulit dipahami.
Tidak peduli untuk pamer atau bukan, tidak peduli bisa memahaminya atau tidak, Ray benar-benar membaca buku itu.
Hanya dari segi itu, Calvin lumayan kagum pada Ray.
Pada umumnya, murid SMA yang ingin pamer hanya sekadar membaca majalah "Tempo" atau "Inspirasi". Akan tetapi, Ray berani membaca "Hikayat Majapahit". Seberapa tinggi semangat pamer Ray?
Mendengar dirinya mendapat nilai tertinggi dalam ujian bahasa Indonesia, Ray langsung mendongakkan kepala dengan sombong.
Dia bahkan menoleh ke samping dan melirik Calvin secara provokatif.
Dia juga tahu Calvin telah belajar dengan gigih belakangan ini.
Awalnya, Ray khawatir nilai Calvin akan meningkat pesat dan melampaui dirinya yang menjadi ketua kelas. Jika demikian, bukankah dia akan kehilangan muka?
Sekarang, saat mendengar nilai Calvin sama sekali tidak meningkat ... setidaknya untuk mata pelajaran bahasa Indonesia ... hati Ray yang tegang akhirnya menjadi lega.
Jika nilai bahasa Indonesia Calvin hanya begini, yang lain sepertinya juga sama.
"Calvin, kamu payah ...."
Feryanto memutar mata.
Calvin masih berlagak sombong di depannya dua hari lalu. Dia bahkan mengira Calvin telah memperoleh "terobosan besar".
Alhasil, hanya seperti itu?
Calvin tertawa geli ketika merasakan tatapan sinis dari Ray dan melihat Feryanto memutar mata.
Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Nanti, apakah dia seharusnya berkata dengan sombong ....
"Tiga tahun sudah lewat, sang raja kembali!"
Mustahil ada terobosan besar dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.
Nilai-nilai tersebut seperti yang diperkirakan, tidak menimbulkan kehebohan di kelas.
Ray agak jengkel .... Dia mendapat nilai tertinggi di kelas.
Di mana apresiasi dan tepuk tangan?
Mengapa Bu Lydia juga tidak memujinya?
Setelah membagikan kertas ujian bahasa Indonesia, Lydia mulai membagikan kertas ujian matematika.
Seperti biasa, murid-murid dipanggil ke depan untuk mengambil kertas ujian berdasarkan urutan nilai tertinggi hingga terendah.
Murid-murid sedikit gugup.
Dalam semua mata pelajaran yang diujiankan, matematika memiliki faktor tidak menentu yang paling besar. Satu soal saja mewakili belasan atau dua puluh nilai.
Dalam kebanyakan waktu, bisa mengerjakan soal atau tidak tergantung pada pencerahan sesaat. Itu sangat menguji mental peserta ujian.
"Calvin Kencana, 150. Janet Sain, 131 .... Feryanto Wijaya, 123 .... Wanika Harahap, 114 .... Wenda Limanta, 109 .... Ray Jonathan, 104 ...."
Tingkat kesulitan ujian percobaan ketiga relatif lebih rendah.
Akan tetapi, ujian matematika lumayan sulit.
"Janet saja hanya dapat nilai 131, berarti ujian matematika kali ini sangat sulit," gumam seorang murid.
"Calvin Kencana ... 150."
Saat menyebut nama Calvin, Lydia mendongak dan menatapnya.
Semua murid di kelas terkesiap.
Calvin mendapat nilai maksimal?