Bab 13
Mela mengisap hidung dengan sedih. Matanya yang berkaca-kaca tampak sangat kasihan. Tampangnya benar-benar mengundang rasa iba.
Akan tetapi, sekujur tubuh Arvin memancarkan aura berbahaya. "Irvan."
"Sayang, kamu masuk dulu. Aku saja yang urus."
Teresa menyela perkataan Arvin yang belum selesai.
Arvin menoleh pada Teresa. Teresa mengangguk, ingin menanganinya secara pribadi.
Bagaimana Mela menipunya dan bagaimana Keluarga Wisra mengambil keuntungan darinya di kehidupan sebelumnya, dia ingin merebut kembali semua itu pada saat ini.
Arvin berujar, "Cepat, ya. Aku lapar."
Kalimat itu mengimplikasikan sesuatu. Teresa melirik wajah pucat Mela yang terduduk di lantai, lalu memelototi Arvin. "Cepat masuk."
Sejak kapan Arvin menjadi begitu manja?
Sama sekali tidak ada kewibawaan dan kekejaman sebagai penguasa Grup Hisno.
Mata Arvin membawa peringatan yang kuat ketika menoleh pada Mela yang terduduk di lantai. Perbedaan kontras itu sungguh mengejutkan.
Mela tidak percaya Arvin benar-benar mencuekinya sehingga mencoba untuk memeluk kaki Arvin.
"Ah!"
Jeritan histeris bergema di seluruh Carmena.
Teresa menginjak pergelangan tangan Mela dengan kuat.
Tangannya yang terulur diinjak di lantai. Rasa sakit itu membuat wajah Mela memucat.
Irvan dan Illias yang mengikuti di belakang Arvin langsung menoleh ke belakang. Adegan itu membuat mereka bergidik.
Bukankah wanita penyihir ini hanya kejam terhadap Tuan Arvin sebelumnya?
Sejak kapan wanita penyihir ini juga begitu kejam terhadap anggota Keluarga Wisra?
Akan tetapi, adegan ini menggembirakan!
"Lepaskan aku!" Begitu Arvin masuk ke rumah, Mela mengangkat tangannya dan ingin mengentakkan Teresa.
Teresa juga melepaskan Mela.
Mereka bertatapan satu sama lain. Satunya penuh kebencian, satunya sinis.
Teresa bertanya, "Kenapa? Nggak pura-pura lagi sekarang?"
Kemunafikan Mela pun terungkap.
Mela akhirnya beranjak dari lantai. "Teresa, apa untungnya bagimu kalau Grup Wisra bangkrut? Tanpa Keluarga Wisra, memangnya orang-orang di Keluarga Hisno akan menghargaimu?"
"Di bawah perencanaanmu selama bertahun-tahun ini, mereka tetap membenciku walau ada Keluarga Wisra, bukan?"
Wajah Mela memucat!
Teresa sudah tahu semuanya?
Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Teresa yang idiot bisa tahu? Mungkinkah Arvin membantu Teresa melakukan penyelidikan?
Teringat akan sikap Arvin dan perbuatannya terhadap Grup Wisra saat ini, wajah Mela yang pucat menjadi lebih pucat.
"Beri tahu Diko nanti, kalau mau selamatkan Grup Wisra ...." Teresa berhenti di tengah kalimat.
Senyuman jahat tersungging di bibirnya saat Teresa menatap Mela.
Timbul firasat buruk di hati Mela.
Teresa terkekeh-kekeh. "Kalau mau selamatkan Grup Wisra, dia harus usir putri kesayangannya dari rumah Keluarga Wisra."
"Apa, apa katamu?"
Teresa ingin mengusirnya dari rumah Keluarga Wisra? Atas dasar apa?
Teresa melangkah ke depan dan berkata dengan suara tegas, "Kalau ada kamu, Grup Wisra harus bangkrut."
Mela meremas tangannya dan tubuhnya gemetar.
Mela berteriak di belakang Teresa, "Kamu mimpi! Nggak usah berharap! Keluarga Wisra akan jadi punyaku. Ayah akan memberikannya padaku."
Sifat asli Mela yang jahat akhirnya terungkap.
Teresa tersenyum dingin. "Oke. Grup Wisra akan menjadi perusahaan cangkang!"
"Kamu ...."
Perusahaan cangkang?
Teresa bertekad ingin mengubah Grup Wisra menjadi perusahaan cangkang?
Tidak, tidak mungkin. Teresa tidak memiliki kemampuan untuk itu! Sudah bertahun-tahun Teresa tidak akur dengan Arvin, Arvin tidak akan melakukannya demi Teresa.
Baru mendapat sedikit keuntungan, Teresa benar-benar berpikir posisinya sebagai Nyonya Muda Keenam Keluarga Hisno tak tergoyahkan?
...
Saat Teresa masuk ke rumah, Arvin sedang menunggunya di ruang makan. Usai cuci tangan, Teresa duduk di sebelah Arvin. "Wah, semua menu hari ini adalah kesukaanku."
Arvin tersenyum seraya menatap Teresa. Dasar gadis licik.
Arvin sudah menyaksikan perbuatan Teresa terhadap Mela di luar tadi.
"Sayang, aku mau makan udang itu. Tolong kupaskan, oke?"
Teresa sangat suka makan udang, tetapi tidak suka mengupas udang. Sangat tidak nyaman kalau tangannya lengket dan berminyak.
Irvan turun membawa dokumen dari lantai atas. Wajahnya menjadi masam!
Benarkah ini Teresa yang dulu? Suaranya manja sekali. Pria mana yang sanggup bertahan?
Irvan dan Illias terus memperhatikan Teresa dari kemarin hingga hari ini, tetapi tidak menemukan kejanggalan apa pun.
Arvin mengupaskan udang untuk Teresa dengan penuh kasih sayang. Ketika Arvin ingin menaruh udang itu ke piring Teresa, Teresa tiba-tiba memegang tangan Arvin.
"Harusnya makan begini."
Teresa langsung melahap udang yang Arvin pegang.
Budi dan pelayan lain merasa takjub akan kemesraan Tuan Arvin dan Nyonya Muda.
Melihat kemesraan mereka, Irvan langsung pergi dengan gusar.
Sebelum pergi, Irvan bersumpah dalam hati. Jika itu adalah tipu muslihat Teresa terhadap Tuan Arvin, mereka tidak akan mengampuni wanita penyihir itu.
"Enak sekali. Sayang, ayo makan daging sapi." Teresa mengambil sepotong daging sapi untuk Arvin.
Arvin mengernyit.
Arvin tidak terlalu menyukai daging sapi. Ketika melihat lauk yang dia ambil adalah daging sapi, Teresa buru-buru memasukkannya ke dalam mulut, lalu mengambilkan lauk lain untuk Arvin.
Arvin tersenyum berseri-seri karena Teresa mengingat preferensinya. Senyuman itu hangat dan memikat.
Pria ini benar-benar sempurna. Dia sungguh buta di kehidupan sebelumnya.
Teresa melamun karena kelembutan di mata Arvin. "Bagaimana? Enak nggak?"
"Hmm."
Arvin mengangguk.
Arvin langsung merangkul pinggang ramping Teresa dan menariknya ke dalam pelukan.
Teresa yang duduk di pangkuan Arvin nyaris menyentuh lukanya. Jadi, Teresa mendorongnya dengan pelan. "Jangan macam-macam, ada banyak orang."
Teresa secara refleks menoleh pada pengurus dan pelayan di samping. Alhasil, hanya ada mereka berdua di ruang makan.
Arvin menempelkan dahinya ke dahi Teresa. Napas yang jernih berembus ke wajah Teresa.
Teresa mendorong Arvin. "Cepat lepaskan aku, makan dulu."
Teresa ingin luka Arvin cepat sembuh.
Akan tetapi, Arvin tidak bergerak sama sekali. Mereka menghabiskan makan siang di tengah kemesraan.
Arvin tidak pergi ke perusahaan di sore hari. Jadi, usai makan siang, Arvin dan Teresa jalan-jalan di dalam rumah. Sebelum istirahat, Teresa membantu menggantikan perban pada luka Arvin.
Di ranjang.
Teresa tidak berani bergerak karena merasakan dada pria yang hangat di belakangnya. Dia berusaha untuk mengatur napasnya agar stabil.
Ketika napas pria di belakangnya menjadi stabil, Teresa dengan pelan menggerakkan badan.
"Kenapa, nggak mau tidur?"
Begitu Teresa bergerak, pria di belakang langsung menatapnya seperti serigala hutan yang ingin melahap mangsa.
Teresa buru-buru memejamkan mata. "Nggak, nggak, aku sudah tidur!"
Tidak boleh sembrono lagi.
Arvin tidak takut mati, tetapi dia takut.
Arvin menatap Teresa yang meringkuk di dalam pelukannya seperti kelinci. "Dasar kamu."
Arvin dengan kesal mengecup kening Teresa.
Sambil memeluk Teresa, Arvin terlelap pada akhirnya.
Mereka tidur dengan sangat nyenyak. Dari kehidupan sebelumnya sampai sekarang, itu adalah tidur yang paling nyenyak bersama Arvin bagi Teresa.
Ketika hari sudah malam, mereka baru bangun.
"Brr! Brr! Brr!"
Ponsel di atas meja terus bergetar dan ada kilatan hijau pada layar ponsel.
Teresa tahu itu adalah kilatan layar khusus untuk Darlon. Dia benar-benar idiot di kehidupan sebelumnya, bahkan ada begitu banyak tanda-tanda khusus Darlon.
Ketika Arvin bangun, Teresa buru-buru mengambil ponselnya dan menolak panggilan telepon.
Begitu mendongakkan kepala dan bertemu dengan mata pria yang itu tajam, Teresa tanpa sadar menciut. "Sayang, aku salah."
Teresa tidak berani menyembunyikannya karena kepekaan Arvin yang sangat tajam.
Segera mengakui kesalahan demi keselamatan diri.