Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

"Apa katamu?" Rhea pikir, dia salah dengar. Cavero mengulangi kalimatnya dengan ekspresi dingin. "Tolong hentikan semua pekerjaanmu. Kembalilah saat kamu sudah tenang." "Sementara waktu, proyek film yang lagi kamu tangani akan diambil alih asistenmu." Rhea agak limbung mendengar itu. "Atas dasar apa kamu melakukan ini?" tanyanya. Dia menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku bisa berhenti dari pekerjaan lain, tapi film ini aku dapat sendiri. Kamu nggak berhak mengambilnya dariku!" Cavero tertawa sesaat, seolah-olah mendengar lelucon. "Kamu sendiri yang dapat film itu? Pakai apa? Kalau bukan karena koneksi dan sumber daya punyaku, kamu pikir orang yang bertanggung jawab di sana mau menemui kamu?" "Rhea, apa kamu terlalu menganggap dirimu sepenting itu?" Rhea mengamatinya dari ujung kepala sampai kaki, seolah-olah dia tidak mengenali pria di hadapannya. "Aku? Mengandalkan koneksi kamu? Cavero, bagaimana kamu bisa sekejam ini? Aku yang membesarkan namamu sampai berkeliling untuk negosiasi semua sumber dayamu. Sekarang, kamu malah bilang aku mengandalkanmu?" Ekspresi Cavero masih sama. "Rhea, kenapa kamu harus mengungkit masa lalu?" "Dulu, kamu nggak pernah membuat keributan seperti ini." Rhea mundur selangkah. Matanya penuh rasa tidak percaya. Sebenarnya, Cavero agak iba saat mengamati wajah Rhea yang pucat pasi. "Rhea, berhenti buat masalah. Nggak ada yang bisa gantikan posisi kamu di hatiku." Rhea menganggap pria itu bersikap konyol. "Lalu, bagaimana dengan Celia? Siapa dia bagimu?" Kekesalan yang baru saja ditekan Cavero hadir lagi. "Berapa kali harus kubilang? Aku cuma anggap dia sebagai adik!" Rhea menutup mata dengan satu tangannya, berusaha menahan rasa perih yang menjalar. "Cavero, jangan tipu dirimu sendiri. Sejak Celia kembali ke negara ini, bahkan sejak kamu ingin menggantiku sebagai manajermu, aku sudah bukan seseorang yang nggak tergantikan di hatimu." "Kamu!" seru Cavero. Emosinya serasa turut memuncak. "Celia adalah Celia. Nggak ada hubungannya dengan mencopot posisimu sebagai manajer. Aku cuma butuh koneksi di dunia mode dan orang itu kebetulan punya." "Kamu tahu, aku nggak suka bicara panjang lebar, tapi demi kamu, aku jelaskan berulang. Apa itu masih belum cukup?" "Selain itu, kamu bisa punya waktu mengejar impianmu sebagai sutradara dan fotografer setelah status kamu bukan manajerku lagi. Benar, 'kan?" "Salahkah aku memberimu kesempatan itu?" Rhea tertawa getir mendengar kalimat paling terakhir dari Cavero. Memberi kesempatan, katanya? Sebenarnya, Cavero sudah punya rencana untuk memberhentikan Rhea ketika dia ingin meraih sumber daya dari manajer tersebut. Hanya saja dia tidak tahu bagaimana mengatakannya. Rhea, yang menyadari itu, mengundurkan diri secara sukarela demi membantu Cavero memperoleh sumber daya tersebut. Namun, pada akhirnya, malah dia yang disebut "diberi kesempatan"? Rhea seketika kehilangan arah atas apa saja yang sudah dia lakukan lima tahun terakhir ini. Cavero belum pernah mendapati Rhea dalam kondisi seperti ini. Mata merah, penuh ragu, tetapi masih terlihat waspada. Setiap kata yang dia ucapkan serasa tengah menancapkan luka di hati Rhea. Cavero tidak menyukai Rhea yang seperti ini. Rhea yang dia kenal terlihat seperti kucing kecil yang bersih, anggun, dan manja. Sosok yang selalu mendekatinya penuh percaya diri. "Rhea, berhentilah membuat keributan." Cavero memijat dahinya untuk menahan emosi. "Karena kamu suka gelang itu, aku kembalikan padamu dalam dua hari." Kata-kata itu membuat Rhea layaknya meninju kapas, sangat ringan dan tidak berdaya. Bagi Cavero, semua yang dia katakan hanyalah sebuah "keributan". Dia pikir, Rhea hanya menginginkan gelang itu. Bukankah ini jelas-jelas pukulan terakhir yang mematahkan semangatnya? Melihat Rhea masih marah, Cavero kembali berkata, "Kamu suka menjadi manajerku, 'kan? Tunggu dua tahun lagi sampai semuanya stabil dan kamu bisa menjadi manajerku lagi." Lidahnya terasa getir. "Aku nggak mau lagi itu semua." Termasuk Cavero, Rhea juga tidak ingin pria itu lagi. Nada suara penuh keputusasaan itu membuat Cavero makin gelisah. "Lalu, kamu mau apa? Mau aku melamarmu? Boleh, kok. Tunggu semua pekerjaanku stabil saat akhir tahun ini, kita tunangan, lalu menikah tahun depan." Rhea tertawa getir. Hal-hal indah yang dulu sangat dia harapkan, kini terasa tidak berarti. "Dia memikirkan itu, lalu menggelengkan kepala. ""Aku juga nggak menginginkannya.""" Cavero terdiam, menatapnya dingin tanpa setitik kesabaran pun tersisa. Rhea mengangkat wajahnya, lalu satu per satu kata keluar dari mulutnya. "Aku cuma mau putus." Jantung Cavero pun berdegap kencang. Belum sempat kepalanya berpikir, tangan pria itu sudah lebih dulu mencekik leher Rhea sambil berseru, "Rhea, kamu sangat keras kepala!" Rhea memejamkan mata, tangisnya pun jatuh. Bagai butiran mutiara yang bergulir turun dan mengenai punggung tangan Cavero. Pria itu merasakan sensasi terbakar sebelum menyadari apa yang sedang dia lakukan, lalu langsung menarik tangannya. Tujuh tahun sudah, Cavero mengenal Rhea dan menjalin lima tahun hubungan dengannya. Sebanyak apa pun kesulitan yang mereka alami, dia tidak pernah melihat Rhea menangis. Cavero sempat gelisah, tetapi rasa itu segera hilang. Dia yakin Rhea mencintainya sekaligus meyakini wanita itu tidak akan meninggalkannya. "Rhea, selama ini, aku terlalu memanjakanmu sampai-sampai kamu seenaknya minta putus." "Kamu sedang emosi. Jadi, kamu harus berhenti bekerja. Setelah kamu lebih baik, baru kita bicara lagi." Dia bicara dengan nada memerintah, kemudian pergi begitu saja. Rhea terpaku dan baru tersadar setelah sekian lama termenung. Tiba-tiba, ada beberapa pesan masuk di aplikasi WhatsApp miliknya. Pesan itu datang dari Kepala Tim Cavero. "Rhea, semua pekerjaanmu saat ini dihentikan. Proyek film yang sedang kamu kerjakan juga diserahkan sementara pada asistenmu." Pesan itu sampai dikirimkan sekali lagi sebagai bentuk penekanan. Rhea menganggapnya konyol. Dia tidak ingin tinggal di sini lagi, lalu berjalan keluar dengan langkah gontai. Di ujung lorong, terdengar suara orang-orang bergosip dari sebuah ruangan. "Benarkah Cavero yang menghentikan semua pekerjaan Rhea?" "Benar. Aku jelas-jelas dengar. Sudah kubilang, lebih baik rendah hati. Dia selalu sombong sebelumnya dan bertindak seenaknya karena Cavero suka sama dia. Sekarang, mana bisa dia bersikap sok lagi." "Betul sekali. Menurutku, dia cuma anak yatim piatu yang nggak layak kerja di perusahaan ini." "Sekarang, dia hampir diberhentikan dari semua pekerjaannya. Cepat atau lambat, Cavero pasti akan menendangnya keluar dari perusahaan." Seseorang keluar dari ruangan, lalu bertemu tatap dengan Rhea. "Wah, ini orang kesayangan Cavero, 'kan?" Orang itu membawa setengah cangkir teh dingin dan sengaja disiramkan pada Rhea. "Maaf, tanganku keseleo." Rhea membanting cangkir itu tepat di kakinya. Wanita itu adalah Kepala Bagian Promosi Tim Cavero. Dia selalu iri pada Rhea karena bisa dekat Cavero, bahkan sering menunjukkan ketidaksukaannya. "Apa-apaan kamu ini!" teriaknya. "Kamu sudah diberhentikan dan tinggal tunggu waktu sampai kamu dikeluarkan dari tim. Bisa-bisanya kamu masih bisa menyombongkan diri!" Rhea melempar tatapan dingin pada orang itu. "Kamu ingin sekali aku pergi. Apa kamu ingin menggantikanku di sisi Cavero?" "Kamu!" "Mungkin kamu akan kecewa." Dia menyeringai sinis. "Kamu pasti sudah lihat berita terpopuler hari ini, 'kan? Dengan atau tanpa aku, kamu nggak akan punya kesempatan." Wajah orang itu sontak bersemu. Rhea kembali melirik sekilas ke beberapa orang lainnya yang datang untuk menonton. "Kalian semua juga sama." Dia melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Dari belakang, terdengar ada yang mengejek, "Kamu juga sama saja. Sudah bertahun-tahun, tapi nggak dapat apa-apa!" "Apa yang bisa dibanggakan hewan peliharaan yang dibuang pemiliknya begitu saja!" Rhea pun terdiam, hatinya serasa ditusuk begitu dalam. Dia benar-benar sedih dan langsung memanggil taksi untuk pulang ke rumahnya. Santino adalah salah satu kawasan elite paling terkenal di Kota Balavira, tetapi rumah di sini tidak bisa dibeli ala kadarnya pakai uang. Jika ada yang mengenal Rhea dan melihatnya tinggal di sana, mereka pasti mentertawakan dirinya. Namun, penjaga keamanan di pintu masuk yang melihatnya justru menyambutnya penuh hormat. "Nona Rhea sudah pulang," sapanya. Dia mengangguk sopan, lalu berjalan pelan menuju sebuah rumah di tengah kompleks. Sebenarnya, tempat ini bukan rumahnya, melainkan rumah sang paman, Yasa. Keluarga Latif merupakan keluarga terkaya di negara ini dan orang tua Rhea adalah teman lama kakak serta kakak ipar dari Yasa. Setelah orang tuanya wafat, dia diadopsi oleh keluarga Latif. Meskipun tidak ada hubungan darah, keluarga Latif memperlakukannya dengan begitu baik. Sayang sekali, dia tidak pernah bisa terbiasa dan nyaman saat menikmati itu semua. Semua anggota keluarga Latif adalah orang yang mandiri dan luar biasa. Rhea pun ingin membuktikan diri dengan usahanya sendiri supaya pantas untuk menerima semua perlakuan baik dari keluarga Latif. Rhea memang sudah lama tidak tinggal di sana, tetapi hari ini, dia benar-benar serasa kehilangan arah. Sepertinya, dia tidak punya tempat tujuan selain keluarga Latif.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.