Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 11

Sorot mata dingin milik Cavero terarah lurus pada Rhea, penuh kejengkelan yang terdengar dari suaranya. "Teriak-teriak macam orang gila. Ada apa ini?" Siena, yang tadinya marah, langsung menciut dan terdiam karena sikap Cavero. Setelah menata ulang suasana hatinya, dia berteriak tanpa daya, seakan-akan dialah korban yang teraniaya. "Kakak, gara-gara kamu bertengkar sama Rhea barusan, sekarang dia langsung menyuruh Bu Sari berhenti mengajar aku. Kakak juga tahu, sebentar lagi aku mau lulus SMA. Kalau Bu Sari berhenti sekarang, aku bisa benar-benar kehilangan kesempatan masuk Institut Seni Pertunjukan Balavira." Bu Sari adalah seorang guru besar dalam dunia seni pertunjukan di seluruh Terani ini. Berkat dedikasinya bertahun-tahun, dia berhasil membangkitkan kembali Institut Seni Pertunjukan Balavira yang hampir punah. Kini, meskipun Bu Sari sudah pensiun, pihak institut tetap memintanya kembali untuk memegang peran ahli atas mentor senior. Sebenarnya, Cavero memang tidak terlalu menyukai adik sepupunya yang satu ini. Namun, dia tetap memperhatikan urusannya karena keluarga sang paman tinggal kerabat terakhirnya yang tersisa. Dulu, saat Cavero kewalahan, Rhea sering berinisiatif membantu mengurusi Siena. Meskipun tidak terlalu suka dengan sifat angkuh Siena, Rhea tidak pernah abai dari tanggung jawabnya, seolah-olah Siena adalah kerabat dekatnya. Ketika Siena mengeluh tidak ingin tinggal di asrama, Rhea menyewakan apartemen terbaik yang dekat dengan kampus untuknya. Bahkan, Rhea menyewa seorang guru pendidikan karakter untuk memperbaiki sikap Siena. Tidak hanya itu, Rhea memanfaatkan koneksi keluarga Latif untuk meminta Bu Sari, yang sudah lama pensiun, supaya bersedia kembali mengajar Siena. Secara tidak langsung, Siena sudah bisa dianggap sebagai murid Bu Sari. Selama kemampuannya cukup memadai, Institut Seni Pertunjukan Balavira mungkin akan langsung menerima Siena karena menghormati jasa besar sang guru. Namun, di tengah gempuran ujian kelulusan yang makin dekat, Bu Sari mengabari secara mendadak pada malam tadi bahwa dia tidak akan mengajar Siena lagi. Siena panik. Bagaimana bisa begitu? Pagi-pagi buta, Siena datang mengadu pada Cavero. Tidak disangka, Rhea juga ada di tempat itu. Dengan senyum mengejek, Siena menunjuk ke arah Rhea. "Rhea! Aku tahu ini pasti akal-akalanmu! Kamu sengaja memanfaatkan masa depanku biar kakakku mengalah dan mohon-mohon minta rujuk sama kamu, 'kan?" "Bukannya kamu yang minta putus? Mana Rhea si batu dan tinggi harga diri itu? Lah, sekarang tiba-tiba main trik busuk begini?" sindir Siena, benar-benar terdengar pedas. Sorot mata Cavero sontak berubah dingin. "Rhea, masalah ini punya kita berdua, kenapa kamu malah ikut melibatkan Siena?" Rhea tertawa kecil mengamati keduanya. Dia menundukkan kepala sejenak, lalu beralih menatap Cavero dengan sorot mata yang begitu dingin dan mencekam. Padahal cuaca sedang panas, tetapi tubuh Cavero serasa dibuat merinding akibat tatapan tersebut. Dalam sekejap, Cavero serasa terpaku. Dia seketika melupakan suatu hal penting yang hendak ditanyakan. Belum sempat kembali tersadar, suara datar Rhea sudah terdengar lebih dulu. "Aku nggak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi dengan Bu Sari." "Bohong! Mustahil kamu nggak tahu! Kamu yang undang Bu Sari! Sudah putus sama kakakku, dia langsung berhenti mengajar aku. Kalau bukan suruhanmu, siapa lagi coba?" omel Siena, penuh teriakan amarah. Melihat Rhea tidak kunjung mengaku, amarah Siena makin membara. "Dasar wanita licik, jahatnya kelewatan! Kak, jangan pernah balikan sama dia! Lihat saja wajah aslinya!" "Siena Fahri!" teriak Rhea seketika. Ini kali pertama Rhea meneriakkan nama Siena dengan suara setajam itu. "Kamu ..." Siena terkejut hingga terbata-bata. Nada suara Rhea begitu dingin, bahkan penuh ketegasan. "Kamu! Dengar baik-baik, ya! Bu Sari masih mau mengajar kamu atau nggak, sama sekali nggak berhubungan denganku! Tapi, kalau memang karena perbuatanku, memangnya kamu bisa apa?" "Kak, kamu dengar sendiri! Dia sendiri sudah mengaku!" Siena tersenyum remeh. "Pikirmu, bisa mengusir pergi Bu Sari, lalu kakakku nggak mampu memintanya kembali mengajar aku?" Rhea tidak menggubris. Dia menoleh ke arah Cavero. "Masih ingat dengan janjimu? Waktu kamu menyatakan cinta, kamu bilang, di dunia ini cintamu hanya untuk aku. Kamu hanya percaya sama aku. Tapi, sekarang, apa buktinya?" Siena mendengus remeh. "Orang sepertimu nggak layak dapat cinta kakakku." Cavero membalas tatapannya, sorotnya begitu dalam. "Aku jelas ingat apa yang aku ucapkan. Aku nggak pernah kepikiran buat ingkar. Sama dengan yang kubilang dulu, di hatiku, kamu tetap yang paling istimewa. Tapi, sikapmu dua hari ini sangat mengecewakan. Meski begitu, aku masih bersedia kasih kesempatan. Sekarang, minta Bu Sari balik, suruh dia tetap membimbing Siena. Masa depannya bukan alat tawar-menawar untuk membuatku mengalah." Rhea tertawa remeh, merasa situasi ini terlalu konyol. Tidak disangka, mulut kotornya masih sanggup mengucap kata-kata sekonyol itu? "Kak, kamu nggak boleh balikan sama dia! Kamu sudah lupa sama kejadian gelang cendana?" Siena benar-benar tidak habis pikir. Hubungan mereka sudah di ujung tanduk, apa lagi yang membuat Cavero ingin rujuk dengan Rhea. Siena kembali memprovokasi, "Kalau kamu nggak jadian sama Kak Celia, lalu Kak Celia bagaimana?" Rhea menundukkan kepala, enggan mendengar lebih lanjut dan tidak ingin berbicara sepatah kata pun. Jadi, dia melangkah pergi. "Hei! Siapa yang kasih izin kamu pergi!" Siena sontak menarik lengannya. "Jelaskan dulu soal Bu Sari!" Rhea menoleh, sorot matanya tampak tenang nan dingin. Suaranya begitu tajam, membuat siapa pun yang mendengarnya seketika merinding. "Kamu siapa? Memangnya segala hal harus kujelaskan sama orang sepertimu?" Nyali Siena seketika menciut. Untuk pertama kalinya, dia takut dengan sosok Rhea yang selalu dia anggap lemah. "Wah. Gara-gara kakakku nggak mau sama kamu, sifat aslimu keluar, tuh? Bukan cuma berniat membuatku nggak bisa diterima di Institut Seni Balavira, tapi mau merusak nama baik kakakku juga, 'kan? Dasar nenek lampir, jahat banget kamu!" Cavero mengernyit saat mendengarnya, lalu nada tajamnya terdengar membalas, "Mau sampai kapan cari masalahnya, Rhea? Mau sampai kapan kamu dewasa? Sengaja banget cari masalah di depan Pak Galih, sekarang malah buat ribut di kantor! Apa kamu mau semua orang nggak tenang sampai kamu puas, hah?" Tatapan Rhea yang semula dingin, seketika berubah mencekam dan mencekik. "Apa tadi katamu? Minta penjelasan?" Rhea tertawa dingin, lalu menjawab, "Kalau Bu Sari yang nggak mau mengajar dia lagi, kenapa malah mencari aku? Coba tanya sama diri kalian sendiri, ingat-ingat kembali perbuatan memalukan yang sudah kalian perbuat. Dasar muka tembok ..." Sebelum kalimatnya selesai, sebuah tamparan keras sudah mendarat di wajah Rhea. Cavero benar-benar tidak bisa lagi menahan kesal terhadap perilaku Rhea yang tidak masuk akal! Wajah Rhea yang putih seketika membengkak, dihias jelas oleh bekas tamparan. Rasa sakit dan sensasi terbakat di wajahnya seketika membuat air mata perlahan membasahi kelopak matanya. Suara tawa sinis menggema di seisi ruangan. Saat Rhea mendongak, sorot matanya begitu tajam nan mencekam. Tatapannya sedingin salju yang membeku di puncak gunung bertahun-tahun lamanya. Telapak tangan Cavero mendadak kesemutan, membuatnya menggenggam erat-erat tangannya hingga getaran jemarinya berhenti. Pria itu sontak menyesali perbuatannya. Namun, semua itu sudah terlambat. Tidak mengira sang kakak akan main tangan, Siena begitu terkejut. "Kak ..." lirihnya. 'Kak Cavero betulan tampar Rhea, dong?' pikirnya dalam hati. 'Eh, bukan salah Kakak! Memang Rhea yang kelewatan!' batin Siena membantah. Siena justru lega. Menyaksikan hubungan mereka berdua yang makin kandas, kakak sepupunya itu bisa menjalin hubungan resmi dengan Kak Celia-nya. Siena tidak perlu repot-repot lagi menambah minyak karena Rhea sudah lebih dulu terbakar hangus! Di sisi lain, Cavero tersadar dari lamunannya. "Rhea, terserah kamu mau cari masalah apa sama aku. Tapi, jangan pernah kaitkan hal ini sama Celia. Aku sama sekali nggak ada hubungan apa pun dengan Celia. Perbuatan memalukan apa, sih? Mulutmu itu, tolonglah ..." Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tangan Rhea melayang dan menampar keras wajah pria itu. "Rhea! Kamu gila, ya! Berani banget menampar orang?" Siena langsung emosi. Rhea meraih kerahnya dan menjatuhkannya ke sofa dengan kasar. "Coba teriak lagi, kamu yang berikutnya!" Siena yang terjatuh pun benar-benar terkejut. Dia tidak terima dan masih ingin ribut. Namun, begitu melihat tatapan dingin Cavero, dia langsung bungkam. Tatapan Cavero kembali tertuju pada Rhea. Cavero mengangkat tangan dan menyentuh wajahnya. "Kamu sama sekali nggak dirugikan di sini. Mestinya, sekarang sudah tenang, 'kan?" Rhea tersenyum dingin. "Aku? Kait-kaitkan dengan Celia? Dari awal sampai akhir, sekalipun aku nggak ada menyebut namanya. Kenapa kamu yang tersinggung?" "Oh, jangan-jangan memang ada 'apa-apa' di antara kalian? Makanya kamu panik sampai buru-buru mau meluruskan?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.