Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 7

"Sean, makanlah dengan baik." Suara Zeff memecah ketegangan. Dia bahkan mengambil sepotong udang dan meletakkannya di piring Naomi. Meski ada Zeff yang menjaga suasana, makan malam tetap berakhir dengan canggung dan tidak menyenangkan. Saat pulang, Sean langsung meninggalkan Naomi di halte bus tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lalu melaju pergi. Naomi tidak bereaksi apa-apa. Dia hanya kembali ke hotel dengan tenang dan tidak lagi menghubungi Sean. Hari-harinya diisi dengan mengurus berbagai urusan, perlahan-lahan memutus semua keterikatan di Kota Lunar. Terkadang, dia membuka pesan yang dikirim oleh Valerie. Setiap detail kecil tentang apa yang dilakukan Valerie dan Sean dalam beberapa hari terakhir selalu dilaporkan lengkap di kotak obrolan. Awalnya, Naomi merasa sakit hati, tetapi setelah terlalu sering merasakannya, hatinya malah menjadi kebas dan merasa kalau ini agak konyol. Baginya, Valerie yang sibuk melompat-lompat di ujung telepon, terlihat seperti badut kecil yang lucu dan menggelikan. Dia tidak pernah membalas satu pesan pun, hanya menyimpan tangkapan layar semuanya sebagai bukti untuk nanti. Hari Senin akhirnya tiba. Naomi memesan tiket pesawat jam 11:30. Pagi-pagi sekali, dia sudah berkemas dan siap turun untuk sarapan. Namun, tepat saat dia membuka pintu, Sean masuk menggunakan kartu cadangan. Pria itu terlihat rapi mengenakan setelan jas, tetapi wajahnya tampak agak pucat dan lelah. Naomi menyembunyikan koper di belakangnya secara refleks dan hatinya langsung merasa gelisah. Dia hampir tidak pernah meninggalkan Sean. Dulu, mereka pernah sekali bertengkar. Sean yang mabuk berat memegang tangannya sambil menangis dan berkata kalau Naomi berani pergi, dia akan menyeretnya kembali dan mengurungnya di rumah seumur hidup. Saat itu, meski terdengar posesif dan tidak sehat, Naomi justru merasa itu hal yang manis dan penuh cinta. Itu karena cinta. Namun, saat ini, yang ada hanya penolakan dan kejenuhan. Sean menatapnya lama sekali. Selama dua hari ini, dia terus menahan emosi. Namun, Naomi tidak pernah menghubunginya duluan sehingga membuatnya merasa panik dan gelisah. Sekarang, melihat wanita itu masih menunggunya di kamar, rasa sesak dan khawatir di dadanya perlahan mereda. "Tinggalkan kopermu di sini. Nanti aku suruh Alberto mengambilnya. Ayo pergi, kita ambil akta nikah." Dulu, ini adalah hal yang paling diinginkan Naomi. Namun, sekarang, hati dan emosinya terasa datar dan kosong. Dia merapikan tasnya, lalu menatap tangan panjang dan indah yang terulur di depannya. "Nggak usah terburu-buru, temani aku ke suatu tempat dulu." Sean melirik jam di pergelangan tangannya, lalu menunjukkan kesabarannya yang jarang terlihat. "Baiklah, asal jangan terlalu lama. Jam sepuluh aku ada rapat." Bahkan di hari mereka mengambil akta nikah, pria ini tetap disibukkan oleh pekerjaannya. Mobil mereka berhenti di sebuah kawasan kota tua. Jalanan berbatu dengan rumah-rumah tua di kedua sisinya terlihat usang dan antik. Setelah direnovasi menjadi objek wisata, mereka tidak pernah lagi datang ke sini. "Kenapa tiba-tiba ingin datang ke sini?" Sean memarkir mobilnya, alisnya yang tampan sedikit berkerut, dan perasaan kosong serta cemas di hatinya kembali muncul. Tanpa sadar, dia menggenggam tangan Naomi erat-erat, seolah takut kehilangan. Naomi tidak menolak genggaman itu. Dia hanya mengangkat tangannya yang lain dan menunjuk ke arah taman di kejauhan. Dulu, ada lapangan basket di sana, tetapi kemudian dihancurkan. "Dulu waktu kelas dua SMA, ada anak dari sekolah sebelah yang naksir aku. Kamu kesal, terus ajak mereka tanding basket tiga lawan tiga. Kamu menang, tapi kakimu terkilir. Waktu itu kamu menangis di pelukanku dan memintaku untuk bertanggung jawab." "Lalu, saat kita jadian di tahun pertama kuliah, kamu membawaku ke sini di tengah malam. Kamu menyalakan kembang api dan melamarku. Aku waktu itu baru 17 tahun, tapi kamu nggak sabar dan memaksa kita bertunangan dulu." "Nana, kamu sebenarnya kenapa?" Suara Sean memotong kenangan itu. Naomi menoleh dan menatapnya. "Di sinilah kita pertama kali bertengkar karena Valerie. Kamu meninggalkanku di lapangan basket yang sedang dibongkar. Aku tersesat selama dua jam lebih sebelum berhasil pulang. Kakiku lecet waktu itu." Sejak saat itu, dia tidak pernah lagi datang ke sini. Jantung Sean seolah diremas oleh sebuah tangan besar. Dia menarik Naomi ke dalam pelukannya. "Nana, semua itu sudah berlalu. Aku merawat Valerie karena ... " Namun, Naomi melepaskan diri dengan lembut. "Ayo kita lihat taman yang baru dibangun. Katanya warung kecil di sini masih ada. Sudah lama aku nggak makan di sana, jadi aku ingin mencobanya lagi." Dia menarik tangannya dari genggaman Sean dan berjalan lebih dulu. Sean menekan emosinya dan mengikuti dari belakang. Pagi itu tidak banyak turis, hanya beberapa penduduk lokal yang duduk santai di warung-warung kecil. Seorang pemilik warung menyiramkan air bekas cucian panci ke jalan, meninggalkan jejak minyak yang mengilat. Sean mengerutkan kening dan menghindar, lalu menarik Naomi ke sisinya. "Hari ini hari penting, habis urus akta nikah aku akan mengajakmu makan malam mewah, jadi kenapa harus makan di tempat seperti ini?" Sean pernah membawanya ke setiap warung di jalan ini. Sambil mengendarai sepeda, dia memegang roti yang baru dibuat di mulutnya dan bercengkerama di antara tawa serta kegembiraan. Saat itu, Sean hanyalah anak haram yang tidak diakui dari keluarga terkaya di Kota Lunar. Tidak punya latar belakang, tidak punya uang, dan tidak ada yang peduli. Quincy yang membentuk Sean saat ini, membuatnya menjadi pewaris masa depan keluarga Lennox yang tidak terbantahkan. Satu tingkat di bawah, tetapi di atas semua orang. Namun, pria ini lupa jalan yang pernah dilalui, juga lupa janjinya padanya. "Hari ini aku ingin makan ini." Naomi tiba-tiba menjadi manja sehingga membuat Sean melamun sejenak. Gadis yang sudah dibesarkannya selama lebih dari sepuluh tahun ini memang selalu manja dan penuh semangat. Selain itu, dia selalu menempatkan Sean di pusat dunianya. Namun, sejak kapan semuanya mulai berubah? Sean teringat kejadian di kediaman lama malam itu. Kalau itu adalah Naomi yang dulu, dia tidak akan pernah mempermalukannya di depan keluarga Lennox. Naomi paling tahu apa yang paling dia pedulikan. Setelah duduk di bangku kayu yang sudah usang, Naomi memesan dua porsi roti kukus dan dua mangkuk bubur tahu. Sean menerima sendok yang disodorkannya, tetapi hatinya makin terasa hampa. "Nana, hari ini aku sudah menyuruh Alberto untuk membawa Valerie pergi. Mulai sekarang, rumah itu hanya milik kita berdua, seperti dulu." Dalam dunia Sean, Naomi selalu bisa melakukan apa pun yang Sean inginkan. Dia hanya bisa menjadi milik Sean. Itu tidak akan berubah. Tidak akan pernah berubah. "Makanlah, setelah makan kita langsung mengambil akta nikah." Sean merasa agak cemas. Hati Naomi langsung bergetar hebat. Seperti dulu? Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah keheningan. Itu adalah nada dering khusus yang Sean atur untuk Valerie. Suatu kali Valerie pernah menelepon Sean saat sakit, tetapi dia tidak menjawab karena ponselnya dalam mode senyap. Sejak saat itu, dia merasa sangat menyesal, bahkan sampai duduk di luar ruang ICU sambil mencabuti rambutnya sendiri. Saat itulah, Naomi melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Sean benar-benar peduli pada gadis lain selain dirinya. "Angkat saja." Naomi menundukkan kepalanya dan makan. Sean menatap wajahnya yang cantik. Dalam suara dering yang terus berlanjut, rasa gelisah di hatinya makin membesar. Akhirnya, dia menekan tombol jawab. "Valerie, aku nggak bisa pergi sekarang. Kalau ada apa-apa, hubungi Alberto, suruh dia ... " Suara Alberto yang terdengar di ujung telepon membuat ekspresi wajah Sean langsung berubah. "Pak Sean, Nona Valerie sejak tadi sibuk mengurus tanaman di rumah kaca agar Nona Naomi nggak marah. Tapi karena penyakit asmanya kambuh dan dia nggak mau istirahat, dia akhirnya pingsan di sana. Sekarang sudah dibawa ke ruang gawat darurat. Dia nggak mau saya menghubungi Anda, tapi kondisinya nggak baik-baik saja." Wajah Sean tiba-tiba menjadi sangat muram. "Aku akan segera ke sana." Setelah menutup telepon, dia menatap Naomi dengan sorot mata yang makin dingin. "Aku akan memulihkan taman itu seperti semula. Kenapa sih kamu harus menyulitkan Valerie hanya karena masalah sepele begini? Urusan ke Kantor Catatan Sipil, kita ganti hari saja." Setelah mengatakan itu, Sean berbalik dan pergi. Sekali lagi, di tempat yang sama, Sean meninggalkan Naomi sendirian. Itu bahkan terjadi pada hari di mana seharusnya mereka mengambil akta nikah. Melihat punggungnya yang berjalan menjauh, ekspresi Naomi tetap datar. Dulu dia sering bertanya-tanya, kalau dia juga punya penyakit, apa Sean akan memperlakukannya sama? Namun, kenapa harus begitu? Pria yang bilang mencintainya, tetapi juga pria yang mengkhianati janjinya, sama sekali tidak layak. Uap panas dari roti kukus membuat matanya terasa perih. Dengan tenang, dia menyelesaikan makanannya, berjalan-jalan sebentar di sekitar tempat itu, lalu kembali ke hotel, mengambil koper, dan langsung menuju bandara.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.