Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 13

Tak ada lagi nada mengejek pada suara pria itu. Matanya memancarkan cahaya keemasan yang berbahaya. Jarinya yang gemetar tetap dia letakkan tepat di pelatuknya. Dia akan merobohkan si bajingan ini! Namun, saat itu juga... Baju zirah Raksasa Kerangka itu terlepas sedikit demi sedikit. Pria itu masih dalam keadaan marah saat melihat seorang remaja yang berada di dalamnya. Sorot mata pria itu pun berubah, dari marah menjadi heran. "Kamu sebenarnya mahluk apa sih?" "..." Baju zirah yang melapisi Hugo telah lepas. Dia telah kembali ke wujud manusia sepenuhnya. Begitu dia terbebas dari bentuk pada baju zirahnya tadi, rasa lelah yang luar biasa mengalir ke tubuhnya. Kakinya gemetar, dia terjatuh ke tanah perlahan-lahan. Pria itu menatap pemuda misterius ini dengan tajam. Suaranya terdengar dingin, "Aku nggak peduli kamu siapa, hanya satu yang ingin kutanyakan, apa kamu yang membunuh gadis ini?" Saat pertama melihat Winona, pria itu tahu bahwa gadis itu sudah tidak mempunyai tanda-tanda kehidupan. Jadi menurutnya sekarang, mahluk yang menyerupai hantu di hadapannya ini harus langsung dia bunuh agar amarahnya terlampiaskan. Pemuda ini boleh saja menjelaskan segalanya terlebih dahulu. Setelah itu, Hugo akan membunuh pemuda ini agar amarahnya bisa dilampiaskan. Hugo mengangkat kepalanya perlahan-lahan dan memandang pria itu dengan tatapan sayu, lalu bertanya pelan, "... siapa kamu?" Kemarahan di mata pria itu semakin membara. Dia meraih kerah kemeja Hugo dan menggertakkan giginya sambil berkata "Aku tanyakan itu padamu, kalau kamu nggak jawab juga, aku tembak kepalamu sekarang!" Hugo menoleh sejenak kepada Winona. Kepalanya terasa sangat sakit. Dia masih ingat semua hal yang baru saja terjadi, tetapi yang paling tidak dia mengerti adalah tindakannya yang terakhir. Dia menempatkan inti kristalnya dalam jantung Winona yang hancur. "Dia... nggak mati." Hugo bicara dengan nada suara bersalah yang sukar dia percaya. "Kamu bilang apa?" Pria itu mencengkeram kerah baju Hugo dengan lebih kencang, sehingga Hugo agak sulit bernapas. "Aku nggak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi... dia masih hidup." Hugo bicara dengan susah payah. "Detak jantungnya sudah nggak ada!" Namun, begitu pria itu selesai bicara, matanya melihat sesuatu dan seketika dia mendengar suara. Dia melihat dada gadis itu naik turun secara perlahan-lahan sekarang. Dia mendengar jantung gadis itu yang semula berhenti, kini mulai berdetak perlahan-lahan. "Apa yang kamu lakukan padanya?!" Suara pria itu penuh semangat, tetapi juga mengandung kemarahan. Hugo benar-benar merasa tidak tahan lagi. Dia merasa seperti terjebak dalam rawa. Setiap gerakan jarinya akan membuat tubuhnya makin tenggelam. Akhirnya, dia mengangkat kepala dan memandang pria itu sejenak. "...Aku nggak akan membiarkannya mati." Kemudian Hugo perlahan-lahan terjatuh ke pelukan pria itu. Cahaya bulan yang dingin menyinari wajah pucat Winona dan Hugo. Pria itu mendapati bahwa napas mereka saat ini begitu selaras. Detak jantung mereka pun seirama. Pikiran yang mengerikan berkecamuk di benaknya. Murid kecilnya ini, apakah masih bisa dianggap sebagai manusia? ... Suara gemercik rantai memukul-mukul jantung Hugo dan memaksanya membuka mata. Hugo mendapati dirinya kembali di kantor itu. Kali ini, dia berjalan ke depan lemari arsip tanpa ragu-ragu, dan mengambil dokumen dari lemari arsip nomor 001. Ragang Pualam. Kalau tidak salah... Benar saja, ketika melihat foto yang belum pernah dia lihat sebelumnya... Hugo langsung tertegun. Foto itu menampilkan sesosok raksasa yang seluruh tubuhnya tertutup kerangka. Mahluk itu adalah bentuk transformasi Hugo di lorong itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Krek... Saat itu juga, suara kunci yang dibuka menarik perhatian Hugo. Dia menengok ke pintu pelan-pelan. Dia mendengar suara berderik. Pintu kayu kantor tua itu perlahan-lahan terbuka. Hugo merasa jantungnya berdegap kencang. Sudah bertahun-tahun, dan sudah lebih dari sepuluh tahun sejak pertama kali dia mengalami mimpi ini. Saat itu dia baru berusia lima tahun. Pintu itu akhirnya terbuka. Dia menelan ludah sambil memegang data Ragang Pualam di tangannya, lalu melangkah perlahan menuju pintu dan mencoba melihat ke luar. Hugo melihat bahwa di luar pintu itu terang benderang. Tidak ada suasana mencekam sama sekali. Tempat ini sepertinya area kantor dari suatu perusahaan. Di situ ada meja kerja yang tak terhitung jumlahnya, tetapi tidak ada dokumen di atas meja-meja tersebut. Hugo berjalan keluar pelan-pelan. Terdengar suara kipas angin di atas kepalanya, dan tidak ada suara lain selain suara itu. Dia melewati meja-meja kantor dan berusaha untuk tidak menyentuh apa pun, sampai dia tiba di depan pintu lain. Hugo merasakan jantungnya berdegap kencang. Dia seakan-akan tahu bahwa apa pun yang ada di balik pintu ini akan sangat berbeda dengan yang ada di sini. Di bagian atas pintu ini tertera tulisan besar "Penjara Terlarang, Orang yang Tidak Berkepentingan Dilarang Masuk". Awalnya, dia mengira tempat ini akan sulit dibuka seperti pintu kantor tadi. Namun, ketika dia mengulurkan tangan dan mendorong perlahan, pintu besi yang berat itu tiba-tiba terbuka. Ternyata... Di balik pintu ada kegelapan. Udara terasa pengap, lembap dan berbau busuk. Setiap tarikan napasnya seolah-olah sedang menghirup debu sejarah. Kegelapan yang menyeramkan itu seperti entitas nyata yang membungkus rapat-rapat setiap inci ruang ini sehingga membuat Hugo merasa agak tercekik. Dia melangkahkan kakinya ke dalam kegelapan. Namun, kegelapan ini tidak berlangsung lama. Setiap kali Hugo melangkah, lilin di kedua sisi jalannya menyala satu per satu, seolah-olah dipantik oleh kekuatan misterius. Api biru tua melompat dalam kegelapan, memancarkan cahaya yang mengerikan sekaligus memikat. Kobaran api ini tidak hangat, tetapi justru mendatangkan hawa dingin yang menusuk. Api ini menerangi jalan di depannya dan juga memantulkan tetesan air pada dinding di sekelilingnya yang berkilauan di bawah cahaya api biru tua. Kling, Kling Suara gemerincing rantai tadi kembali terdengar. Hugo mengikuti suara itu dan mulai mempercepat langkahnya. Dia lalui satu sel demi satu sel penjara yang luas yang ada di sampingnya. Dia bisa merasakan ada eksistensi yang tidak bisa dia pahami di dalam penjara itu sekarang . Eksistensi-eksitensi itu sedang menatap dirinya dengan tatapan penuh selidik. Untuk beberapa saat, Hugo tidak bisa tahu makhluk apa yang terkurung di dalam penjara ini. Penjara ini sebenarnya disiapkan untuk mereka, atau untuk dirinya sendiri? Dia berhenti di depan sebuah pintu sel. Namun, dia mendapati pintu sel penjara itu dilengkapi dengan kunci yang berat. Kemudian, terdengar suara napas berat dari kegelapan di dalam penjara itu. Dia mencoba kunci di tangannya, tetapi kunci itu tidak bisa membuka pintu di depannya. Kling. Saat itu juga, suara gemerincing rantai terdengar lagi. Suara itu seolah-olah memanggil Hugo. Dia hanya bisa mengabaikan tatapan demi tatapan yang tertuju padanya dan mempercepat langkahnya untuk mengikuti suara rantai itu. Dia segera tiba di ujung lorong gelap dan panjang. Di situ ada sebuah pintu besi besar berwarna merah darah. Cat yang mengelupas di pintu besi itu terus-menerus meneteskan zat kental seperti darah. Hugo mendekat, aroma darah yang menyengat masuk ke dalam rongga hidungnya. Indra penciuman dan indra perasa seharusnya tidak berfungsi saat sedang bermimpi. Jadi, bagaimana jika ini bukan alam mimpinya sendiri? 'Setelah bertahun-tahun, sebenarnya tempat seperti apa yang aku kunjungi saat tidur?' Tak lama kemudian, Hugo menemukan sebuah papan di samping pintu. "Tahanan:Ragang Pualam" "Tingkat: Jurang tanpa Batas" "Masa hukuman: tidak terbatas" "Cara Evolusi: Menelan Inti Kristal" "Tingkat Ketaatan: Ragang Pualam adalah monster istimewa. Ia tidak akan tunduk kepada siapa pun. Jika ingin mendapatkan pengakuannya, biarkan ia menelan lebih banyak Inti Kristal" Hugo mengulurkan tangannya secara perlahan-lahan dan meraih pintu besar sel itu. Saat telapak tangannya menyentuh cairan kental itu, dia merasakan suatu kekuatan memanggilnya. Dia berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam. Kemudian, dia mengikuti kekuatan itu dan mendorong pintu itu dengan keras. Gerakannya membuat pintu besi itu mengeluarkan suara derit yang menyakitkan telinga. Suara itu menggema di koridor yang kosong, terasa sangat aneh dan mengerikan. Pintu besi merah perlahan terbuka, memperlihatkan kegelapan di dalamnya. Udara lembap dan pengap menyambutnya, mendatangkan perasaan tertekan dan terintimidasi. Pengelihatan Hugo lambat-laun beradaptasi dengan kegelapan, dan dia melihat mahluk di sel penjara. Sesosok monster yang seluruh tubuhnya tertutup kerangka sedang berdiri diam di sudut gelap ruangan itu. Tingginya mencapai tiga meter. Tulangnya menonjol dari bawah kulit, menghadirkan pemandangan yang menyeramkan. Saat itu, Raksasa Kerangka itu perlahan-lahan menengok. Sepasang mata di balik kerangka yang melindunginya tiba-tiba berkilau dengan api biru yang misterius. Hugo menarik napas dalam-dalam, dan merasakan seluruh organ dalamnya bergetar seketika. Dan suara tangisan gadis itu tergiang di benaknya. Tangisan ini seolah-olah menarik pikirannya. Dia dipaksa bangun dari mimpinya. Ketika membuka mata, Hugo hanya melihat langit-langit usang yang asing. Papan kayu yang keras mengalasi tubuhnya. Aroma mie instan tercium dari rongga hidungnya. Dia duduk dengan susah payah, dan menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah kamar tua yang sempit. Meskipun tua, kamar itu sudah dibersihkan dengan sangat baik. Barang yang paling berharga di ruangan ini hanyalah sebuah televisi yang sudah cukup tua. Selain itu, rumah ini bisa dibilang kosong. Saat itu juga, Hugo baru tersadar. Sepertinya ada orang lain yang berbaring di sampingnya. Namun, Hugo tertegun sejenak ketika melihat orang itu. Lalu, jantungnya berdebar kencang. "Winona... Winona?" Sepertinya gadis itu mendengar suara Hugo. Dia langsung mengangkat kepalanya. Masih ada jejak air mata di matanya, tatapan yang sebelumnya suram kembali berseri-seri. Dia segera mengusap matanya dengan tangan, berusaha menjaga suaranya agar tetap tenang. "Kamu sudah bangun, apa kamu baik-baik saja?" Tanpa menunggu Hugo menjawab, dia langsung melanjutkan, "Semalam itu kesalahanku. Aku telah gagal menjalankan tugasku. Di hadapan makhluk itu, aku nggak bisa melindungimu dengan baik, malah membuatmu terjebak dalam bahaya demi aku. Aku benar-benar minta maaf, apakah kamu merasa kurang sehat..." Dia terhenti di tengah kalimatnya karena Hugo tiba-tiba memeluknya. "Sehat sekali." Suara Hugo bergetar ketika berkata, "Kamu nggak apa-apa..." Winona tertegun, lalu mengangkat tangannya dengan ragu-ragu, dan membalas pelukan Hugo dengan lembut. "Eh, terima kasih telah melindungiku." Setelah cukup lama, Hugo merasa ada yang tidak beres. Dia melepaskan pelukan Winona pelan-pelan, dan baru menyadari bahwa ternyata wajah gadis itu mulai memerah. 'Seharusnya tidak begini kan? Setan kecil itu kan sangat suka menggodaku sebelumnya?' "Hugo, ada satu hal yang ingin aku tanyakan." Winona menatap Hugo dengan sungguh-sungguh . "Apakah aku sudah mati sekali tadi malam." Hugo tidak tahu bagaimana seharusnya menjawab pertanyaan Winona ini. Peristiwa semalam terlalu aneh, dia pun tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tepat pada saat itu, terdengar suara pintu yang dibuka, kemudian pria yang mengenakan topi koboi masuk. "Wah, sudah bangun? Cepat sekali kamu pulih ya, Nak." Pria itu memegang kantong kertas berwarna cokelat di satu tangannya dan kantong plastik berisi tiga cangkir susu kedelai di tangan lainnya. "Bangun dan cepat sarapan." Pria itu mendekat dan melihat Winona berlutut di samping tempat tidur Hugo. Dia tidak bisa menahan diri untuk mendengus dingin. "Dia kan tidak mati, apa kamu perlu menjaga di samping tempat tidurnya semalaman?" "Ini tugasku." Winona menoleh kepada pria itu dan berkata tanpa ekspresi, "24 jam pengawasan, aku harus menjaganya." "Wah? kok jadi terbalik, ya?! Ckckckc ! Perempuan kalau sudah besar susah diatur ya!" Pria itu meletakkan susu kedelai dan cakwe yang dibungkus dalam kertas minyak di atas meja, lalu mengambil mie instan di sebelahnya. Ternyata aroma mie instan yang tadi tercium oleh Hugo berasal dari sini. Winona menjulurkan lidahnya kepada pria itu dan membuat wajah konyol. "Bolehkah aku mengajukan pertanyaan?" Hugo menemukan kesempatan untuk menyela dan bertanya, "Aku mau tanya, sekarang aku ada di mana?" "Di rumahku." Winona menjawab tanpa ragu-ragu. Hugo tertegun sejenak. Dia benar-benar tidak bisa menemukan hubungan antara rumah kecil yang kumuh dan reyot ini dengan gadis yang glamor dan anggun di kampus. Namun, dia langsung mengangguk dan bertanya, "Dia gurumu?" "Hmm, dia guruku, Pak Carlos. Guruku ini adalah seorang yang menguasai Kebangkitan tingkat A dari organisasi yang sangat hebat." "Gadis berengsek, kamu hampir saja membongkar identitasku." Pria itu mengeluh sambil makan mie instan. Melihat pria itu makan mie dengan lahap, perut Hugo langsung melilit. Kemudian terdengar suara 'kruk kruk' dari perutnya. "Sana, sarapan dulu." Winona berkata kepada Hugo. Gadis ini sebenarnya ingin membantu Hugo melangkah ke meja, tetapi dia mengatakan bahwa tubuhnya sudah pulih sekarang. Carlos melirik Hugo sejenak, lalu mendorong tas kertas warna coklat itu ke depan mereka berdua. Terima kasih, Pak guru...Carlos. Dia tidak menghiraukan Hugo dan terus makan mie instannya. Saat itu juga, Winona teringat topik yang dibicarakan sebelumnya. "Pak Carlos, apakah aku benar-benar mati semalam? Kalau benar, bagaimana aku bisa hidup kembali?" "Gadis ini ngomong apa sih?" Carlos memelototi Winona, "Kalau kamu mati, terus yang duduk di sini dan makan bersamaku siapa? Hantu perempuan?" Winona melirik Carlos, lalu beralih menatap Hugo. "Aku ingat sekali, semalam aku dibunuh oleh monster binatang buas itu. Kenapa nggak ada luka sedikit pun di tubuhku." Hugo baru saja menggigit sepotong cakwe dan hampir tersedak karena pertanyaan Winona. Dia langsung menatap Carlos, dan Carlos balik menatapnya dengan tajam sekarang. Tatapannya itu seolah-olah berkata, 'Nak, kalau kamu berani bilang, aku akan menembakmu sekarang juga.' Belum pernah Hugo alami sebelumnya, ternyata tatapan mata juga bisa begitu ekspresif. Winona sepertinya menyadari bahwa kedua orang ini tidak berniat memberitahunya. Dia mengerutkan kening, lalu meraba dadanya. Detak jantung masih normal, tidak ada yang aneh. Segala sesuatu yang terjadi semalam seperti mimpi. "Pak Carlos, terima kasih telah membawaku pulang ke rumahmu tadi malam." Hugo menatap Carlos dan segera mengalihkan topik pembicaraan. "Aku kan nggak tahu di mana rumahmu. Sebenarnya aku ingin melemparmu ke sana saja, tapi kamu masih dalam masa pengawasan. Kalau ada masalah, murid kecilku nggak akan mendapatkan bonus." Hugo tersenyum setelah mendengar kata-kata Carlos Sementara waktu, Winona juga melepaskan harapannya untuk mendapatkan jawaban dari kedua orang ini. Dia bukan orang yang suka memaksa. Lagi pula, dia merasa tidak masalah, kalau tiba waktunya, dia yakin dia akan mengetahui segalanya. Harus diakui, sikap ini adalah sikap lapang dada. "Winona." Carlos tiba-tiba berkata kepada Winona yang sedang mengeluarkan sebuah bapao kacang merah dari kantong kertas berwarna cokelat. "Tolong belikan aku sebungkus rokok." Sambil bicara, dia melemparkan uang lima puluh ribu di atas meja. "Nggak mau pergi. Aku mau mengawasinya selama 24 jam." "Kalau kamu disuruh pergi, ya berangkat saja. Biar aku yang mengawasi di sini. Aku kan pengawasmu, jadi aku berhak mengambil alih tugasmu." "…" Winona menyampaikan protes dengan tatapannya, Carlos mengeluarkan lima puluh ribu rupiah lagi. "Ini tip untukmu, cepat berangkat." "Tapi tugas kali ini adalah tugas khusus dari atas..." Carlos mengeluarkan ponselnya dan menelepon, "Halo, Pak Darren, eh, aku cuma mau kasih tahu tentang tugas yang bapak berikan kepada murid kecilku, aku rasa itu terlalu..." "Aku berangkat...!" Winona mengambil uang itu dengan marah lalu bangkit. Dia tak lupa menggigit satu potong bakpao kacang merah sebelum pergi. "Aduh! Ah, maksudku, aku rasa imbalan untuk tugas yang kamu berikan kepada muridku itu terlalu kecil, ya. Hahaha, bukan bermaksud mengganggumu, baiklah, aku tutup ya." Hugo juga tidak bisa menahan senyumnya ketika melihat Winona berjalan dengan marah menuju pintu untuk mengenakan sepatu dan keluar. Guru dan murid ini terlihat seperti ayah dan anak perempuan.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.