Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 12

Hugo mengerang kesakitan. Alih-alih meminta ampun, dia malah berteriak kepada Winona akal sehatnya yang tersisa "Lari! Jangan diam saja!" Suaranya sangat serak, wajahnya bersimbah darah, sangat menyedihkan untuk dilihat. "Kamu kan seorang pembangkit! Jadi, cepat lari! Monster seperti ini tidak boleh dibiarkan hidup! Ayo! Balaskan dendamku nanti!!" Suaranya semakin serak. Setiap kata yang terucap seolah-olah menghabiskan seluruh tenaga di tubuhnya. Winona menatap Hugo dengan kosong, air mata mengaburkan pandangannya. Benar sekali, para pembangkit kesadaran, para pelindung rahasia dunia ini yang berjuang tanpa lelah di garis depan. Mereka mengorbankan jiwa untuk menjaga kedamaian tanah ini. Namun, apa yang sedang dia lakukan sekarang? Dia biarkan orang biasa yang tidak bersalah mati demi dirinya? Lalu, dia tetap menjadi pengecut yang tidak pernah bisa menghadapi monster binatang buas itu? Winona menarik napas dalam-dalam, menyeka air matanya dan memegang erat sabit di tangannya. Ketika dia menengadah, rasa takut masih ada di matanya, tetapi ada sedikit tekad dan ketenangan. Dia berlari menghambur ke arah monster yang mengigit Hugo. Rambut putihnya yang keperakan berkibar-kibar ditiup di angin. "Perburuan untuk membunuh!! Mulai!" Suara gadis muda itu bergetar. Dia memaksa tubuhnya beraksi dan melompat tinggi ke udara. Sabit di tangannya bersinar dengan cahaya dingin saat dia menebas lengan monster itu dengan keras. Suara bilah sabit yang menusuk ke daging tidak pernah terdengar seindah ini sebelumnya. Monster itu menjerit kesakitan. Lengan kanannya putus seketika dan darahnya menyembur. Hugo pun jatuh ke tanah. Monster mengeluarkan raungan yang penuh kemarahan, ketakutan, dan... Ejekan? Benar, ekspresi monster itu berubah menjadi ekspresi mengejek. Seolah-olah segala sesuatu yang terjadi di depannya adalah sebuah pertunjukan konyol belaka. Ia bergerak mundur sedikit. Mulutnya yang dipenuhi gigi tajam itu menyeringai, lalu terbahak-bahak. Suara tawa nyaring yang mengema di lorong sepi ini membuat merinding. Tawa itu seolah-olah sedang mengejek betapa lemahnya dan betapa konyolnya perlawanan gadis itu. Winona menggenggam senjatanya dengan erat dan menatap monster itu dengan waspada. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat dingin. Gaun tidurnya basah kuyup oleh keringat dan darah yang menempel di kulitnya. Monster itu menyerang tiba-tiba. Tubuhnya yang terluka itu sudah berada di depan Winona dalam sekejap mata . Cakar tajamnya langsung menyerang wajah gadis itu. Winona mengelak ke samping untuk menghindari serangan fatal ini. Namun, begitu Winona mengira telah terhindar dari serangan, dia langsung membelalak sangat ketakutan. Entah dari mana datangnya, Winona melihat sebilah pedang tajam yang memancarkan cahaya dingin muncul di titik luka itu. Darah berceceran. Gadis muda itu memandangi pedang yang menghujam keras di dadanya dengan ngeri. Winona hanya bisa merasakan dingin di dadanya, diikuti oleh rasa sakit yang tajam yang menyebar ke sekujur tubuhnya. Rasa asin dan amis muncul di tenggorokannya. Dia membuka mulutnya ingin minta tolong, tetapi hanya bisa merintih pelan. ... Hugo hampir kehilangan kesadaran beberapa kali. Dia duduk bersandar pada dinding bata. Lengannya yang terburai terasa sakit luar biasa, jiwanya seolah-olah tercabik-cabik. Rasa sakit ini terasa beberapa kali lebih buruk daripada rasa sakit hebat yang dia alami tadi malam. Dia tidak tahu mengapa kemampuan penyembuhannya tiba-tiba tidak berfungsi saat ini Hal yang membuatnya lebih khawatir adalah telinganya tak mendengar suara perkelahian. Tik, tik... Sebaliknya, ada cairan hangat yang menetes di atas kepalanya dan mengalir menuruni wajahnya. Ini adalah darah... Hugo mengangkat kepalanya dengan gemetar dan terlihatlah wajah halus gadis yang kini berlumuran darah ini. Hugo melihat dada Winona ditusuk sebilah pedang baja. Dia menggantung di udara, meronta-ronta tak berdaya. Darah membasahi sekujur tubuhnya. Wajah halusnya kini tampak kaku seperti boneka yang tidak bisa merasakan sakit. Saat itu juga, jantung Hugo hampir berhenti berdetak. Pikirannya terasa kosong, dunia seperti kehilangan semua warna dalam sekejap. Kesedihan dan ketakutan yang luar biasa menyelimutinya, membuatnya merasa sesak dan pusing. Monster itu tampaknya sangat senang menyaksikan peristiwa ini. Ia sengaja membiarkan tubuh gadis itu meluncur turun perlahan-lahan dari bilah pedang baja yang pajang dan jatuh ke pelukan Hugo. "Hugo... Jansen." Winona mengangkat kepalanya dengan susah payah dan pelan-pelan menatap Hugo. Melihat Hugo masih hidup, matanya berbinar sesaat, dan sudut bibirnya mengembangkan senyum yang pucat. Aku... Hugo gemetar dan memeluk tubuh gadis itu dengan tangan yang tak terluka. Namun, lelaki ini bisa merasakan bahwa tubuh gadis itu semakin lama semakin dingin. Bilah pedang itu telah menembus jantungnya. Dia sudah tidak bisa diselamatkan... "Bagus... bagus sekali... kamu... nggak apa-apa..." Dia mengucapkan kata demi kata. Setiap kata yang diucapkannya sepertinya menghabiskan seluruh tenaga di tubuhnya. Darah terus mengalir dari mulutnya, menetes di dagu, meninggalkan jejak merah pekat di wajahnya yang pucat. "...Aku baik-baik saja, semua berkat kamu, kamu yang melindungiku... jadi kamu jangan sampai nggak baik-baik saja, jangan sampai nggak baik-baik saja ..." "Hugo... Hugo... aku mau tanya..." Gadis itu ingin mengangkat tangannya, tetapi tidak memiliki tenaga lagi. Hugo langsung menggenggam tangannya. "Tadi kamu... di balkon... kamu bilang... itu benar atau ... kamu bercanda ..." Entah mengapa, Hugo langsung mengerti apa yang dikatakan gadis itu saat ini. Hugo mengangguk kencang, tidak bisa menahan tangis. "Benar... benar. Kalau kamu mau, kita bisa terus selamanya..." Winona gemetar dan senyuman lega muncul di wajahnya. Akhirnya, dia menatap Hugo dalam-dalam. Matanya menyiratkan ribuan kata. "Aku sangat ingin makan sekali lagi, masakan tante..." Kemudian, dia menutup kedua matanya perlahan-lahan. Mata itu tidak terbuka lagi. Hugo menatap kosong ke wajah Winona yang tak bernyawa. Pikirannya pun menjadi kosong. Dia ingin berteriak untuk menghentikan semua ini, tetapi air mata mencekik tenggorokannya, membuatnya tidak bisa mengeluarkan suara. Monster itu mendongak dan tertawa terbahak-bahak, seperti menyaksikan sebuah komedi yang sangat menggelitik hatinya. Kemudian, monster itu mendekati Hugo perlahan-lahan. Pada setiap langkah yang dilaluinya, ia menginjak darah Winona. Api tanpa nama berkobar di dalam hati Hugo, seolah-olah ingin membakar seluruh organnya menjadi abu, Itu adalah kemarahan, ketidakpuasan, penyesalan, dan juga kesedihan yang mendalam. Dia membenci kekejaman dunia ini, membenci ketidakadilan takdir, dan terutama, membenci dirinya yang tidak berdaya saat ini. Kemarahan yang terpendam di dalam hatinya telah memuncak saat ini, dan tampaknya akan meledak. Tubuh Hugo bergetar dan kedua tinjunya terkepal erat. Kuku-kukunya menancap ke telapak tangan hingga darah mengalir. Tawa kejam monster itu masih terngiang di telinganya dan merangsang setiap sarafnya. Segalanya sesuatu yang Hugo pandang seolah-olah kehilangan warna. Segala sesuatu di sekitarnya menjadi hitam dan putih. Udara pun dipenuhi dengan aroma kematian. Hanya monster merah pekat serta wajah pucat Winona saja yang berwarna dalam dunianya yang hitam-putih ini. Rasa sakit yang tajam menyebar ke seluruh tubuhnya saat ini, dan Hugo mengerang kesakitan. Dia merasa semua tulangnya berderak, seakan-akan bisa patah kapan saja. Otot-ototnya berkedut, lalu kejang. Seolah-olah ada orang yang telah menghancurkan semua organ dalam tubuhnya. Dia bergetar dan berlutut di tanah, meringkuk karena kesakitan. Keringat bercampur air mata mengalir di pipinya. Tubuhnya mulai bertransformasi. Kulitnya perlahan-lahan menjadi pucat. Tulang-belulang seputih salju mencuat ke permukaan kulitnya. Tulang itu seakan-akan membungkus seluruh tubuh Hugo bagaikan sebuah baju zirah. Saat itu juga lengannya yang terburai itu pun tumbuh kembali, dan akhirnya, pelindung kepala yang seluruhnya terbuat dari tulang berwarna putih menutupi kepala Hugo. Dalam sekejap mata, raksasa berbaju zirah dari tulang putih muncul di tempat itu. Tubuhnya besar dan tingginya lebih dari dua meter. Tubuh itu berwarna putih keperakan dengan sendi-sendi yang menonjol seperti duri. Mata yang terbungkus oleh tulang-tulang itu kini berkilau dengan api biru pucat . Saat itu juga, sebuah aura menyebar dalam sekejap. Para Pemburu Iblis dari berbagai organisasi yang tak terhitung jumlahnya serentak berhenti bergerak. Beberapa dari mereka yang sedang duduk di atas tumpukan mayat yang terinfeksi, menengadah dengan senyuman janggal yang sulit dijelaskan. Ada yang berhenti mengetik di keyboard, memperbaiki letak kacamatanya, lalu berjalan ke samping tempat tidur dan memperhatikan sudut kota. Ada yang memperbaiki letak topi koboinya, memegang botol bir, dan kemudian pandangannya perlahan-lahan menjadi terang-benderang. Semua orang menjadi gelisah karena aura ini. Ini adalah aura milik monster raksasa. Tingkat aura ini... Aura ini adalah aura tingkat jurang tanpa dasar. Namun, monster yang kini menghadapi aura ini sama sekali tidak menyadari hal itu. Ia mendekati raksasa putih yang muncul entah dari mana itu dengan waspada, seolah-olah ingin memastikan keaslian raksasa itu. Monster binatang buas itu mengulurkan cakar tajam perlahan-lahan dan dengan kuat menekan dada pada raksasa tulang putih yang kokoh itu sehingga mengeluarkan bunyi, 'tang'. Mahluk yang dilapisi baju zirah dari tulang putih ini berukuran besar, tetapi masih saja kurang kuat dibandingkan dengannya. Ia melihat mahluk ini tidak bereaksi sedikit pun. Maka, ia mendongak lagi dan mengeluarkan tawa aneh yang nyaring. Suara tawa yang bergema di lorong sepi itu terdengar sangat menyakitkan telinga. Kemudian, ia mengangkat lengannya yang terputus, lalu menghunus pedang baja, dan menebas kepala raksasa putih itu dengan keras. Pedang panjang yang tajam pun membelah malam, siap untuk memotong di atas kepala yang terlindung oleh tulang putih itu. Di saat-saat genting tersbut, lengan raksasa tulang putih tiba-tiba terangkat, menangkis serangan mematikan dengan kecepatan yang tak terduga. Terdengarlah suara 'krak'. Suara logam yang patah bisa jelas terdengar. Bilah pedang baja itu langsung dipatahkan oleh raksasa putih. Ujung pedang yang patah itu tertancap dalam ke permukaan beton. Monster ini terkejut dan melotot, seperti tidak dapat memercayai apa yang terjadi di depannya. Ekspresi beringasnya berubah menjadi ekspresi ketakutan. Ia mundur beberapa langkah. Monster binatang buas yang selalu berhati-hati ini sama sekali tidak menyangka bahwa keberhasilan berburu malam yang terjadi terus-menerus ini, justru membuatnya kehilangan kewaspadaan yang menjadi tumpuan keselamatannya. Kini, saat dia menyadari segalanya, tampaknya sudah terlambat. Raksasa tulang putih itu perlahan-lahan berbalik dan memancarkan aura kematian. Ia menyeret langkahnya, mendekati monster itu selangkah demi langkah. Setiap langkah membuat bumi bergetar, setiap langkah seolah-olah menginjak hati monster binatang buas. Detik berikutnya, sebuah tangan yang dilapisi baju zirah dari tulang itu melesat seperti kilat, mencengkeram tenggorokan monster itu dengan erat. Kekuatannya sungguh dahsyat. Kekuatannya seolah-olah ingin menghancurkan tenggorokan monster itu. Monster itu mengeluarkan jeritan kesakitan. Ia meronta sekuat tenaga, mengapai-gapai lengan monster tulang putih dengan kedua cakarnya. Tetapi semua itu sia-sia, bahkan ia tidak bisa meninggalkan bekas di atas baju zirah putih itu sedikit pun. Detik berikutnya, tangan lain raksasaa putih itu langsung menembus perut binatang itu. Di tengah ratapan binatang buas, Monster tadi mencabik-cabik. Kulitnya terbuka, dagingnya terurai, ototnya putus dan tulangnya patah. Organ dalamnya yang berwarna hitam merah berserakan di tanah. Monster itu sudah tewas mengenaskan di tangan raksasa putih tanpa sempat mengeluarkan jeritan terakhir. Namun, pesta mandi darah ini belum berakhir. Monster tulang putih itu terlihat membungkuk, lalu mengulurkan satu tangan ke dalam bagian tubuh monster yang terburai itu. Ia meraba-raba, mencari sesuatu di tengah daging yang berlumuran darah. Ia menemukan yang dia cari dengan cepat. Sebuah kristal hitam pekat yang memancarkan aura kelam. Kemudian, ia menghancurkan batu kristal hitam dengan paksa. Aura hitam yang tak terhitung jumlahnya mulai mengalir ke dalam tubuh raksasa tulang putih itu. Saat itu juga, terjadilah perubahan. Tulang ekornya tiba-tiba tumbuh dengan cepat. Ekor panjang dari baja perlahan-lahan menjuntai ke tanah. Tak lama kemudian, ia menyeret langkahnya dan perlahan-lahan mendekati Winona. Monster tulang putih berlutut perlahan-lahan, lalu mengulurkan telapak tangan yang terbuat dari tulang, dan menyentuh pipi Winona yang dingin dengan lembut. Bersamaan dengan itu, tangan monster tulang putih tiba-tiba meraih dadanya sendiri. Baju zirah monster tulang putih itu perlahan-lahan terbuka. Ia perlahan-lahan menusukkan tangannya ke tubuhnya sendiri. Darah mengalir tanpa henti, mewarnai baju zirah putih itu menjadi merah. Monster tulang putih segera mengeluarkan sebuah kristal berwarna hijau tua dari tubuhnya. Ia menekan kristal itu perlahan-lahan di dada gadis yang sudah tidak memiliki tanda-tanda kehidupan. Setelah cukup lama, kristal berangsur-angsur terserap dalam tubuh Winona. Monster tulang putih menundukkan kepala menatap gadis yang tergeletak di tanah dingin. Tubuhnya telah benar-benar kehilangan napas kehidupan. Gaunnya yang semula putih bersih itu berlumuran darah. Warnanya berubah menjadi merah pekat. Rambutnya yang berantakan juga dipenuhi dengan noda darah. Beberapa helai rambut menempel di pipinya yang pucat. Mata indah gadis itu tertutup rapat seperti tidak akan pernah terbuka lagi. Bulu matanya yang lentik dihiasi dengan tetesan darah. Kemudian, monster tulang putih perlahan-lahan mengangkat tubuh gadis itu ke dalam pelukannya, seperti memeluk sebuah boneka porselen yang rapuh. Tubuh lemah gadis itu seperti tidak bertulang dan terkulai tak bernyawa dalam rangkulan tangannya. Ia memeluk tubuh gadis itu dan perlahan-lahan berjalan keluar dari lorong sempit yang dipenuhi bau busuk. Angin malam berhembus. Angin itu menerbangkan debu dan kerikil yang berada di tanah. Cahaya bulan yang pucat jatuh di atas raksasa tulang putih yang pucat, menyinari noda darah di baju zirah dari tulang itu. Saat dia melangkah keluar dari lorong. Sepucuk revolver telah menekan dahi nya. "Ya ampun." Pria itu tersenyum dengan wajah penuh semangat sambil memperbaiki letak topi koboinya. Dia tampak sangat tertarik pada raksasa tulang putih itu. "Ternyata, ini memang mahluk buas tingkat jurang tanpa dasar. aku benar-benar beruntung." Namun, tatapan pria itu perlahan-lahan beralih ke gadis muda yang sudah tidak bernyawa di pelukannya raksasa tulang putih. Senyum di wajahnya sirna.. "...Kamu ... apa yang kamu lakukan, sialan?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.