Bab 10
"Zarren! Katanya mau ke pinggiran utara, maksudnya ke ..."
Zarren tertawa ringan. "Ke pinggiran utara buat melihat makam! Kemarin, Master Leira bilang di siaran langsung, 'kan? Bibi Kelly nggak menonton?"
"Sebelumnya, Bibi Kelly selalu menonton tepat waktu, mulai dari acara ragam, drama, bahkan siaran langsung jualan Rissa."
"Bahkan, sampai mengajak teman-teman Bibi menonton juga."
"Masa Bibi Kelly nggak menonton siaran langsungnya Master Leira?"
Ternyata, Kelly juga memikirkan hal itu.
Ekspresinya terlihat agak canggung.
Leira hanya berkaa dengan tenang, "Ayo, pergi!"
Zarren juga agak canggung sebelum menjawab, "Baik."
Setelah berpamitan pada Kelly, Zarren langsung mengikuti Leira masuk mobil.
Sikap keluarga Candrawira pada kedua putrinya tampak berbeda dengan yang diceritakan Rissa.
Keluarga Candrawira tidak memberi perlakuan buruk pada Rissa setelah kedatangan Leira. Malah Leira yang terlihat diabaikan.
Zarren tidak bodoh. Setelah berpikir sebentar, dia mulai tidak suka pada Rissa.
Rissa memang tak mengeluh dia menderita setelah Leira datang.
Kata-kata sang gadis yang ambigu sangat mudah untuk disalahartikan.
Tak lama, mobil tiba di pinggiran utara kota.
Feno berdiri sambil ditopang tongkatnya, beserta keluarga William yang turut menunggu di pintu masuk desa.
Leira dan Zarren turun dari mobil dan langsung disambut keluarga William. "Ini Master yang dimaksud?"
Ayah Feno, Calvin William, tampak meragukan gadis muda di depannya.
'Kalau semuda ini, benarkah bisa dipercaya?'
Leira tak banyak basa-basi, dia hanya berkata, "Bawa aku ke makam baru keluarga kalian."
"Baiklah."
'Lagi pula, orangnya sudah telanjur datang. Jadi, bawa saja ke sana.'
...
Makam baru keluarga William tak jauh dari desa, sedikit di atas bukit pintu masuk desa.
Keluarga William berjalan di depan, sedangkan Leira dan Zarren mengikuti di belakang.
Baru kali ini Zarren ke desa. Kala melihat makam-makam di sekelilingnya, dia merasa agak ngeri. "Master Leira ..."
"Jangan panggil aku begitu, panggil Leira saja."
"Memanggilmu Leira terasa kurang sopan," tutur Zarren dengan sungkan. "Bagaimana kalau kupanggil Kak Leira?"
Terasa lebih akrab ketimbang Master Leira, tetapi masih terdengar hormat.
"Terserah kamu," respons Leira.
Leira tiba-tiba menunjuk sebuah makam di depan. "Itu makamnya?" tanyanya.
Feno tersentak. "Bagaimana Master bisa tahu?"
"Karena cuma makam ini yang airnya mengalir keluar."
"Air mengalir keluar?"
"Sebetulnya, lokasi makam ini bagus sekali. Naga masuk dari arah barat daya, air mengalir keluar dari arah tenggara. Arah makamnya menghadap selatan, sangat cocok untuk mendatangkan kekayaan dan keberuntungan. Seharusnya, lokasi makam ini sangat baik."
Ayah Feno, Calvin, juga mengangguk. "Aku sudah mengeluarkan 20 juta rupiah buat menyewa seorang Master fengsui yang sangat terkenal untuk mencarikan lokasi makam yang bagus."
"Dulu, dia lama sekali mengamati lokasi ini. Katanya, memindahkan makam ke lokasi ini nggak masalah."
"Tapi, entah kenapa, keluarga kami terus mengalami musibah setelah makam dipindah."
Leira berjalan menghampiri makam, lalu paham dengan situasinya. "Ternyata begitu."
"Master, ada apa?"
Zarren juga penasaran ketika melihat Leira.
"Kedua parit ini pasti dibuat belakangan, 'kan?"
Calvin melihatnya, lalu mengangguk. "Beberapa waktu lalu memang belum hujan lebat. Makam sudah selesai digali, tapi belum dipindah. Aku takut hujan lebat akan merusak makam yang sudah digali. Jadi, aku segera membuat parit drainase."
Dia bertanya cemas, "Master, apa semuanya karena parit drainase yang kugali ini?"
Kedua parit drainase ini sebenarnya tidak terlalu dalam, hanya setengah jari saja.
Namun, mentari tengah bersinar cerah saat ini, sementara aliran air dalam parit masih ada yang dangkal.
"Parit drainase yang kamu gali terlalu kecil."
Calvin terdiam.
Dia rasa, Master ini tidak sedang memujinya.
"Parit drainase ini digali dari arah selatan, langsung ke arah tengah hari, menyebabkan aliran air keluar dari kedua arah itu."
"Air mengalir keluar dari arah selatan, menarik tanah bak dibajak sapi, mengalir deras, pasir melayang, air mengalir, lalu keluar dari arah tengah."
"Dalam fengsui, makam begini disebut makam aliran air terbalik yang mematikan. Makam neraka yang membunuh orang."
"Kekayaan di selatan bertabrakan dengan neraka kecil di tengah hari."
"Arah tengah hari adalah arah kelahiran juga. Keluar dari kelahiran, tapi nggak keluar dari makam."
Leira menatap Calvin, tak tahu harus kasihan atau kagum padanya. "Dengan menggali parit drainase ini, kamu sudah mengubah makam yang mestinya membawa kekayaan dan keberuntungan menjadi makam neraka sebagai penyebab kemiskinan, kehancuran keluarga, dan putusnya keturunan."
Ahli fengsui yang sesungguhnya tak akan bisa mengubah makam yang baik hingga beralih seperti makam keluarga William dalam waktu singkat.
Mendengar ini, wajah Calvin seketika pucat pasi. "Aku ... aku cuma gali parit kecil."
"Apa kamu pernah dengar pepatah, air adalah darah kehidupan bagi gunung yang dapat membawa manfaat atau bencana dengan cepat?"
Feno melihat tongkat yang dia sandari, lalu melihat parit kecil di depan makam. "Master, kami harus bagaimana sekarang?"
Sekarang, hatinya sungguh menyesal.
Leira berjalan mengelilingi makam sebelum berujar, "Saat ini, ada dua cara."
"Pertama, pilih lokasi baru buat pindahkan makam. Kedua, mengubah tata letak makam."
"Master, menurutmu bagaimana?" tanya Calvin.
"Lebih baik pindah saja makamnya! Karena fengsui di lokasi ini sudah berubah. Kalau diubah lagi, hasilnya nggak akan sebagus sebelumnya."
Belum sempat Calvin menjawab, Feno langsung berkata, "Kalau begitu, kami ikuti saran Master."
"Aku juga setuju sama Master."
Leira menunjuk sebuah tempat yang tak jauh dari makam. "Tempat itu bagus. Matahari tunggal bayangan ganda, di depan makam ada dua pohon cemara. Bisa melindungi rumah dan membuat keturunan berkembang."
Calvin melihat tempat itu. "Dulu, ahli fengsui yang aku undang juga menyebutkan tempat itu. Tapi, dia bilang di sini lebih baik," jelasnya.
"Memang benar. Sebelumnya, lokasi makam ini lebih baik. Tapi, takdir sudah ditentukan. Kalau mau lebih baik lagi, justru bisa berakibat buruk. Lokasi makam ini sudah terlalu baik buat keluargamu. Kalau nggak, bisa menghadirkan malapetaka."
Perasaan pilu bercampur takut langsung menjalari hati Calvin usai mendengar penjelasan itu.
Feno pun memberi respons yang lebih bijak. "Ayah, aku rasa kita sudah cukup baik. Nggak perlu terlalu memaksakan diri. Pelan-pelan saja."
"Ah, baiklah!" Mungkin memang sudah takdirnya.
Padahal, lokasi makam ini sangat bagus. Namun, karena kecerobohan dan keserakahannya, keluarga malah tidak damai hingga menimpa anak cucu.
"Lakukan sesuai saran Master."
Calvin segera menyiapkan semua yang diminta Leira. Tepat tengah hari, makam ditutup dengan kain hitam.
Mengangkat makam.
Lalu, memindahkan makam.
Baru saja makam selesai dipindah, Calvin dan Feno membakar kertas sembahyang di depan makam, lalu berdoa.
Entah hanya perasaannya atau bukan, semua kegusaran yang selama ini menyelimuti hati keduanya seketika hilang, bahkan pikirannya menjadi jernih.
Hatinya tersentak, Feno pun makin menghormati Leira.
"Master, setelah makam dipindahkan, apa sudah selesai? Apa semua bisa diperbaiki lagi?"
"Bisa," jawab Leira dengan singkat.
Pada saat yang sama, ponsel Feno berdering.
Tanpa sadar, dia melihat Leira, lalu dibalas Leira dengan kernyitan dahi. "Angkat saja, ini kabar baik."
Feno mengangkat telepon tersebut. Setelah mendengar ucapan orang di ujung sana, ekspresi kaget di wajahnya langsung semringah. "Benarkah? Baiklah, aku paham. Aku akan kasih tahu Ayah."
Begitu menutup telepon, Feno tampak begitu senang. "Ayah, rumah sakit sudah telepon. Katanya, kesehatan ibu sebenarnya baik, cuma mesin rumah sakitnya yang rusak. Jadi, hasil pemeriksaannya salah."
"Pihak legal rumah sakit mau membahas kompensasi dengan kita."
Calvin tak menyangka. Padahal, mereka baru melakukan pemindahan makam, tetapi keajaiban langsung datang.
"Master, kamu luar biasa sekali!" puji Calvin.