Bab 17
Keesokan harinya, Nadira beristirahat di rumah.
Saat bangun, dia melihat L sudah pergi dengan mobil mewah ditemani beberapa asisten. Entah apa pekerjaannya, Nadira hanya tahu bahwa kehidupan pria itu begitu teratur dan dijaga ketat.
Sebelum pergi, L sempat meninggalkan pesan melalui Bi Delia.
"Nyonya Nadira, Tuan sedang dinas luar hari ini. Beliau mengingatkan agar Anda nggak memperlakukan anak-anaknya sembarangan selama beliau tidak di rumah," ujar sang pelayan, menyampaikan dengan sopan.
"Ah, satu lagi," tambah Bi Delia. "Pesan Tuan, kemarin Anda kehujanan. Jadi, hari ini istirahat saja. Jangan keluar rumah kalau nggak ada hal mendesak."
Nadira pun tertegun, tenggorokannya serasa tercekat. 'Memang ada ibu kandung yang akan memperlakukan anaknya sembarangan?' gerutunya dalam hati.
'Dasar pria keras kepala, suka menyimpan dendam pula!'
Namun, saat mengingat momen canggung semalam, Nadira diam-diam merasa lega mendengar L harus pergi dinas luar.
Hari ini, dia bisa menikmati waktu dengan tenang. Rencananya, Nadira ingin menemani mertua makan siang. Kemudian, di sore hari, dia berencana mencari referensi untuk desain perhiasannya dan berlatih menggambar sebagai persiapan menghadapi lomba tingkat provinsi yang makin dekat.
Saking sibuknya dengan aktivitas, Nadira tidak sadar saat langit beranjak gelap. Saat itu, ponselnya berdering.
Terlalu fokus pada sketsa desainnya, Nadira segera mengangkat telepon tanpa melirik nama si penelepon.
"Permisi, apakah ini Nona Nadira? Ayah Anda, Tuan Besar Halim, sedang menghadiri acara bisnis di klub. Namun, beliau terjatuh karena terlalu mabuk. Bisakah Anda datang menjemputnya?" Suara seorang pria terdengar dari ujung sana.
Tangan Nadira yang tengah menggambar lekas terhenti. "Silakan hubungi Nyonya Prita atau Sabrina. Mereka adalah keluarganya," tolak Nadira dengan nada dingin.
"Kami sudah coba menghubungi mereka, tetapi nggak ada yang mengangkat telepon!" jawab si bartender dengan nada panik. "Tuan Halim memberi nomor Anda. Beliau bilang, Anda juga putrinya. Saat ini, beliau mengalami tekanan darah tinggi, dan kondisinya cukup kritis. Takutnya, kalau dibiarkan terlalu lama, situasinya bisa membahayakan nyawa beliau."
Bartender itu terdengar begitu cemas.
Sementara itu, hati dingin Nadira perlahan melunak.
Seburuk apa pun perlakuan Halim terhadapnya selama ini, pria itu tetaplah ayah kandungnya. Nadira tahu, dia tidak mungkin tega membiarkan sang ayah kehilangan nyawa begitu saja.
Setelah hening beberapa detik untuk berpikir, suaranya bernada dingin saat berkata, "Kirimkan alamatnya."
Dia segera mengemas barang-barangnya, lalu berganti pakaian dengan cepat. Usai memastikan semua siap, Nadira berhati-hati saat menyelinap keluar rumah, berusaha menghindari jarak pandang Bi Delia dan para pelayan, lalu berangkat sendirian.
Sementara itu, di Kiraya Lounge.
Ketika menuruni mobil dan masuk ke tempat yang dituju, Nadira segera melangkah menuju meja resepsionis, di mana seorang bartender tampak berjaga. "Permisi, Tuan Halim di ruang nomor berapa? Apa dia baik-baik saja?"
"Di ruang 8, Nona. Kondisinya cukup parah. Ikut saya, cepat."
Nadira mengernyitkan dahi, mengikuti bartender masuk ke lorong sempit.
Nomor-nomor ruang terlihat di dinding, membuat Nadira terus menghitung dalam hati. Namun, langkahnya terhenti ketika mereka melewati ruang nomor 7. "Masih belum sampai ruang nomor 8?" tanyanya curiga.
"Tinggal belok sedikit, Nona." Bartender itu melirik dengan sorot mata yang mencurigakan di bawah pencahayaan redup lorong.
Naluri Nadira mulai memperingatkan ada sesuatu yang tidak beres. Jika ayahnya benar-benar terluka, kenapa tidak segera dibawa keluar untuk mendapat bantuan? Mengapa justru ditinggal di ruang pribadi yang terpencil?
Refleks, Nadira mengepalkan tangan, bersikap waspada. "Kalian angkat dia keluar saja. Aku tunggu di sini," ujarnya tegas.
Namun, belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, si bartender tiba-tiba menyergapnya. Dengan satu gerakan cepat, pria itu meraih Nadira, menutup mulutnya dengan tangan, dan memaksanya berjalan ke arah berbeda. Dia mendorong Nadira melewati sebuah tikungan tajam sebelum membuka pintu dan mendorongnya masuk dengan kasar!
"Apa yang kamu lakukan?" Nadira tersentak kaget dan terjatuh ke lantai. Dengan cepat dia bangkit, tubuhnya gemetar, mengamati sekeliling ruangan.
Di sana, ayahnya, Halim, duduk santai di sofa dengan ekspresi penuh percaya diri. Matanya tampak jernih, tubuhnya tegap, jauh dari kesan orang yang sakit atau mabuk berat.
Di sampingnya, Prita berdiri dan tersenyum licik padanya.
Seketika itu juga, hati Nadira terasa membeku. Sisa-sisa kasih sayang yang dulu mungkin pernah ada menjadi tamparan keras, menyakitkan, hingga menghantam jiwanya.
'Wah, ternyata ini jebakan,' pikirnya getir. Senyum pahit menghiasi wajah Nadira.
Matanya yang semula bingung pun menyalang tajam, penuh amarah. "Sengaja menipuku supaya datang ke sini. Apa maumu, Halim?"
"Lancang! Dasar anak nggak berbakti, nggak punya etika! Durhaka kamu, Nadira!" bentak Halim tidak terima.
"Kamu sengaja mempermalukan Sabrina kemarin, 'kan? Pasti sengaja mau menjatuhkan keluarga ini!"
"Sekarang, lihat akibatnya! Video Sabrina tersebar di mana-mana!"
Kata-katanya terlalu konyol hingga Nadira hampir tertawa mendengarnya. "Memangnya itu salahku?"
"Dia sendiri pura-pura keguguran untuk menjebakku! Menurutmu, memang aku harus berdiri diam di sana dan membiarkannya menuduhku? Itu yang kamu maksud dengan anak berbakti?"
"Hei, Halim! Kamu nggak pantas dipanggil ayah. Lebih baik pulang dan didik Sabrina dengan benar! Suruh dia rawat tubuhnya biar subur. Kalau keguguran terus, mana bisa hamil? Akhirnya menjadi bahan tertawaan orang lain, 'kan?" sindirnya tajam.
Wajah Halim makin bersemu, urat di lehernya tampak menegang. "Tutup mulutmu! Beraninya kamu bicara seperti itu padaku?"
"Pikirmu, kamu suci? Bayi dalam perutmu itu anak haram, Nadira!"
"Justru aib terbesar keluarga Winata itu kamu! Camkan itu!"
"Gara-gara kamu, aku menjadi bahan olokan banyak orang! Sekarang, ikut aku ke rumah sakit! Aku akan gugurkan anak haram itu!" Amarah Halim benar-benar mencapai puncaknya. Suara geramnya menggema di ruangan.
Seperti biasa, Prita yang berdiri di sampingnya bertindak bagai mencurah minyak ke api. "Nadira, kemarin kamu memang keterlaluan. Ayahmu berakhir begini juga karena membela Sabrina."
"Sabrina sampai murung seharian karena kejadian itu. Dia sudah nggak ingin nikah dengan keluarga Salim. Beda dengan Sabrina, perutnya adalah aset berharga. Nggak seperti perutmu yang hanya bawa aib! Bayi haram! Nggak ada nilainya sama sekali!"
Olokan Prita yang setajam belati makin memanaskan suasana. Halim yang sudah terprovokasi benar-benar hilang kendali. "Pengawal! Bawa dia ke rumah sakit sekarang juga!" perintahnya penuh amarah.
Nadira hanya bisa berdiri terpaku. Seluruh tubuhnya terasa dingin dan kaku, seakan-akan kehilangan daya. Meskipun hatinya serasa bak pecahan es yang beku, rasa sakit yang menusuk itu masih terasa samar-samar.
Dia tertawa getir. "Hanya demi balas dendam untuk putri kesayanganmu, kamu rela memanfaatkan hubungan keluarga, menipuku, dan memukul anakku tanpa rasa bersalah. Halim, Prita, ingat kata-kataku! Kalian akan mendapat balasan atas semua ini!"
Nadira langsung berlari ke arah pintu!
Prita melambaikan tangannya, lalu beberapa pengawal bertubuh kekar seketika menyerbu masuk. Nadira, yang berusaha kabur, langsung tertangkap dalam sekejap.
Halim mengeluarkan perintah dengan nada dingin. "Bawa dia pergi!"
"Aku nggak mau! Ayah, aku juga putrimu! Bagaimana bisa kamu berbuat sekejam ini padaku?"
Nadira meronta sekuat tenaga. Matanya penuh kebencian bercampur pedih. Air mata mengalir deras, bahkan suaranya sudah serak saat mencoba menggugah sisa nurani dalam hati ayahnya.
Sejenak, Halim terlihat ragu. Wajahnya pucat dan tegang.
Menyadari itu, Prita segera melangkah mendekat dan menghasut rasa ragunya dengan licik. "Tuan, jika kamu lepaskan dia malam ini, dia akan makin mengancam. Saat kompetisi nanti, dia bisa saja mengalahkan Sabrina dan merebut Ruby Jewelry kembali!"
"Jika dia nggak mau gugurkan kandungan di rumah sakit, kita lakukan saja di sini. Kita cukup menendang perutnya berkali-kali!"
Bagi Halim, semua yang berhubungan dengan keuntungan perusahaan jauh lebih penting daripada darah dagingnya. Dia tahu betul, Nadira adalah ancaman yang harus dihapuskan.
Halim melirik ke arah preman itu, tampak garang saat berkata, "Lakukan sesuai caramu, biar dia ketakutan!"
Halim pun berbalik pergi tanpa ampun.
Prita memberi isyarat, pintu ruang VIP pun ditutup rapat. Dengan senyum keji, dia melangkah ke arah Nadira yang terjatuh di lantai, lalu menginjak wajahnya yang sudah pucat. "Tendang dia sampai mati! Jangan hanya menggugurkan anak haram itu, hancurkan rahimnya juga! Nadira, ayahmu ingin kamu tahu rasanya ketakutan!"
Rasa sakit menjalar di tubuh Nadira, matanya terbelalak dan kemerahan karena menahan pedih sekaligus dendam.
'Bodoh!' pikirnya, penuh kebencian pada diri sendiri yang telah begitu naif dan lemah hingga terperangkap dalam jebakan ini.
Dia refleks memeluk erat perutnya, berusaha melindungi si kecil di sana.
'Ini adalah anak L. Anak ini adalah janji pernikahanku,' pikirnya.
'L sangat sayang dengan anak ini. Bayi kecil ini juga nyawa manusia. Aku nggak boleh kehilangannya! Nggak boleh!'
"Ah!" Prita bangkit berdiri. Sontak, para penyerang melemparkannya ke tanah.
Dia terlempar ke lantai, tubuhnya membentur sudut meja yang tajam, nyeri luar biasa menusuk punggungnya. Meskipun kesakitan, dia coba berguling dan merangkak ke bawah meja, berharap bisa berlindung.
"Masih berani sembunyi? Dasar jalang, cepat lepas baju dan buat dia lebih patuh!"
Dengan kasar, empat sampai lima pria kekar itu menendang meja hingga terbalik, menarik rambut Nadira, dan menyeretnya keluar untuk dilempar ke koridor. Dalam keadaan putus asa, Nadira meronta dan mencoba melawan, tetapi kerah bajunya dirobek, membuatnya tidak berani melawan.
Mereka membaringkan paksa tubuhnya.
Di bawah pencahayaan redup malam, orang-orang berkumpul, menikmati pertunjukan layaknya hiburan bagi mereka.
"Hei, lihat ini! Aku akan menendang bolanya!" teriak salah satu pria sambil tertawa, mulai mengayunkan kakinya dengan niat keji.
"Nggak! Jangan!" teriak Nadira pasrah. Tubuhnya melengkung, mencoba melindungi perutnya.
Namun, pergerakannya tertahan!
Matanya membelalak penuh kengerian melihat ke arah bawah, mendapati sebuah kaki besar dengan sepatu kulit yang tajam telah terangkat, siap menghantam perutnya dengan keras!
"Jangan!"