Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Pernikahan SehariPernikahan Sehari
Oleh: Webfic

Tak bisa mengontrol

Malam semakin larut, akhirnya aku dan pak Devan mengundurkan diri. Pak Arifin kebetulan menginap di hotel yang sama dengan restoran itu. Efek terlalu banyak minum, membuat pak Devan sedikit kehilangan kesadaran nya. "Wik, ayo aku antar kamu pulang," racaunya menggandeng tanganku. Aku merasa tidak nyaman dengan perlakuan pak Devan padaku. Aku sampai juga di parkiran. Pak Devan benar-benar kehilangan kesadaran nya. Beberapa kali dia meracau tidak jelas. Entah apa yang dia bicarakan aku tidak mengerti. Aku bingung dengan keadaan pak Devan yang seperti ini. Apa mungkin dia bisa menyetir dengan baik, melihat keadaannya yang kurang baik. Berjalan saja sempoyongan. "Bapak, Bapak yakin bisa menyetir dalam keadaan begini," "Kamu gak usah khawatir, saya bisa kok." Aku sedikit ragu sih, tapi ya sudahlah. Aku juga kan gak bawa mobil, belum kalau cari taksi malam-malam begini kan agak sedikit sulit. Akhirnya aku naik ke mobil pak Devan. Begitupun dengan Beliau. Beliau kini sudah mulai menghidupkan mesin mobilnya. Sesaat kemudian beliau langsung tancap gas. Mungkin karena pandangannya sedikit terganggu, karena itu sesekali mobil melaju sedikit oleng. Tapi psk Devan masih memaksakan untuk mengendarai mobilnya. Aku sedikit khawatir dengan cara psk Devan mengemudikan mobilnya. Tapi aku bisa apa? selain berdoa memohon keselamatan untuk kami. Tiba-tiba pak Devan menghentikan mobilnya di tempat yang lumayan sepi. Mengingat hari sudah semakin larut. Lalu lalang kendaraan pun sudah mulai berkurang. Aku tidak menaruh curiga pada pak Devan yang menghentikannya dengan tiba-tiba. Pak Devan kemudian menatapku dengan tatapan tak bisa di tebak. Dia diam sejenak, kemudian berkata "kamu cantik malam ini." Aku yang mendengar ucapannya merasa bingung, antara senang karena dipuji atau takut karena matanya sudah mulai tidak bisa dikondisikan. Dia memandangku dari atas berhenti di sekitar dadaku. Keringat dingin pun mulai bermunculan. Pak Devan kemudian memegang tanganku. Perlahan dia kecup tanganku hingga wajahnya berada tepat dihadapan ku. Matanya yang merah pengaruh alkohol seakan siap menerkam mangsa yang ada didepannya. Deru nafasnya pun sudah tak beraturan. Sampai akhirnya dia mencoba mencium ku dengan paksa. Aku berontak, takut jika pak Devan berbuat yang tidak-tidak padaku di tempat ini. Aku mendorong tubuhnya menjauh dariku. "Pak, apa yang Bapak lakukan padaku!" Sepertinya dia tidak mendengarkan kata-kata ku. Dia masih melancarkan aksinya, dia keluar dari tempat duduknya. Dan mengapit tubuhku dengan menahan tangannya di jok mobil. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mendorongnya, tapi tenaganya lebih kuat dariku. "Sudah lama aku menginginkan kamu," racaunya dengan suara berat khas orang yang sedang mabuk. Aku menggedor-gedor pintu mobil dengan tanganku. Meskipun agak kesulitan " tolong!!!!, tolong!!! Siapa saja yang ada disana tolong aku!!" Mendengar aku berteriak, tangannya kemudian membungkam mulut ku. Aku berusaha melepaskan diri ku, tapi rasanya begitu sulit. Aku meraih pengait pintu mobil, dan aku berhasil membuka pintunya. Namun aku belum bisa terlepas dari pak Devan hingga seseorang mendorong dengan keras tubuh pak Devan sampai dia tersungkur di bangku pengemudi. Aku segera turun, dan dengan cepat orang itu memelukku. "Kamu nggak apa, kan!" Aku sedikit terkejut dengan suara orang yang menolongku. Ku dongakkan kepalaku untuk melihat orang itu. Aku lebih terkejut lagi saat aku melihat pria yang aku cintai, adalah orang yang menolongku. Dia melepaskan pelukannya dari tubuhku, dan beranjak menghajar pak Devan. Satu pukulan mendarat ke tubuh pak Devan. "Brengsek, beraninya kamu menyentuh Dewi. Bughh..." Mas Guna memukul pak Devan bertubi-tubi, meluapkan amarahnya pada pria yang akan melecehkan ku. "Mas, sudah Mas. Sudah!!" Aku menarik tangan Mas Guna, dan dia menghentikan aksinya. Dia menatapku dengan tatapan melas, tapi dari matanya aku juga bisa melihat. Begitu besar cintanya untukku. Aku pun memandang wajahnya, hingga kami tidak menyadari pergerakan pak Devan. Tiba-tiba Pak Devan bangun dan memukul mas Guna dari belakang hingga dia tersungkur ke aspal. Pak Devan kemudian turun dari mobilnya, dan menghampiri mas Devan yang masih menahan sakit akibat terjatuh. Satu pukulan lagi mendarat ke bagian bibir Mas Guna. Darah segar pun langsung mengalir disana. Aku berusaha menolong mas Dengan menginjak kaki pak Devan. Setelah Pak Devan lengah, Mas Guna kembali berdiri. Dia ingin membalas perlakuan pak Devan padanya. Tapi dengan cepat aku mencegahnya. "Mas, sudah. Sekarang lebih baik kita pergi dari sini." Dia diam sejenak, kemudian menatap sekilas mataku. Sepertinya emosinya pun mulai meredam, hingga dia mau mendengarkan perkataanku untuk pergi dari tempat itu. Kami sudah ada di dalam mobil. Mas Guna hanya diam sembari melajukan mobilnya. Sesekali dia melirikku. Aku bisa melihat dengan jelas sudut bibirnya yang terlihat membiru akibat pukulan dari pak Devan tadi. "Terimakasih Mas, kamu sudah menolongku malam ini." Aku mencoba memecahkan keheningan dia pun tak bergeming dan hanya diam. Lima belas menit kemudian kami sampai di rumah. Dia menepikan mobilnya di pinggir jalan. "Turunlah!" ujarnya menoleh kearah ku. "Mas." Aku seperti tak rela berpisah dengannya. Sikap dinginnya tapi perhatian itu membuat hati ku teriris sakit. Aku menatap sejenak matanya. Lama kami hanya saling berpandangan. "Mas biar aku obati lukamu dulu. Masuk dulu yuk kedalam," tawar ku berharap dia mau menerimanya. "Bukannya aku sudah katakan padamu, untuk hati-hati dengan Devan. Tapi kenapa kamu tidak mendengarkan perkataan ku." "Apa karena sekarang aku bukan suamimu, jadi kamu bebas jalan dengan siapapun?" sambung mas Guna menatap mataku tajam. Aku hanya diam tak menjawab pertanyaan nya. "Aku sudah menduganya, kalau dia punya niat jahat padamu. Untung aku mengikuti kali..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Tapi aku sudah bisa menebak apa yang akan ia katakan selanjutnya. Sepertinya dia keceplosan hingga tak sadar dengan perkataannya. "Jadi kamu mengikuti ku Mas?" "Sudahlah, lupakan apa yang aku katakan. Sekarang istirahat lah, kamu pasti lelah kan!" Aku tersenyum padanya tapi mas Guna mengalihkan pandangannya dengan menatap ke arah setir mobilnya. "Tapi kamu luka Mas. Luka gara-gara aku. Jadi biarkan aku mengobati lukamu, ya!" bujuk ku agar dia mau mampir ke rumah. "Ayo Mas!" ajak ku lagi. Mas Guna mau mendengarkan ucapan ku. Dia mau mampir ke rumah untuk aku obati lukanya. Dia sekarang duduk di sofa ruang tamu. Sementara aku kedapur untuk mengambil air hangat dan lap bersih untuk mengompres bekas luka mas Guna. Setelah itu aku ke depan dan duduk di samping Mas Guna. Aku mulai melancarkan aksiku. Dengan sedikit menahan sakit, dia menatap wajahku. Tatapannya sama seperti saat kami melakukannya di hotel itu. Aku diam mematung seakan terhipnotis dengan tatapannya. Tak sadar tanganku pun berhenti tepat di sudut bibirnya. Hingga tak sadar kami pun melakukan ciuman itu. Ciuman yang begitu aku nikmati begitupun dengan mas Guna. Hingga suara nenek menghentikan aksi kami. "Dewi!" Mas Guna menarik dirinya menjauh dan mengelap bekas ciuman kami dengan tangannya. Aku pun sama. "Iya Nek," jawabku gelagapan. "Ada Guna to disini." Nenek kemudian ikut gabung bersama kami. "Iya Nek. Oh ya, Guna pamit dulu ya. Sudah larut, permisi!" Mas Guna kemudian berdiri dan bergegas pergi meninggalkan kami, setelah mendapat persetujuan dari nenek. "Dia masih mencintai mu, Dew. Perjuangkan dia, Nenek yakin kamu bisa menyakinkan Guna untuk percaya padamu." Nenek memberi dukungan padaku. Beliau pun berfikiran sama denganku. Mas Guna memang masih mencintai ku. Malam itu berlalu dengan begitu indah. Sampai-sampai bayangan mas Guna pun hadir dalam mimpiku. Mungkin aku masih begitu menginginkan dia berada di sampingku. Hingga merasuk ke alam bawah sadar ku. Aku yakin bisa mendapatkan mas Guna lagi. To be continued....

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.