Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 5

Sandy tiba-tiba tertawa kecil, ujung lidahnya menekan pipi dengan dan mengejek, "Mau main tarik-ulur sama aku? Aku nggak tertarik. Lihat saja, kamu pasti bakal nangis nanti!" Lily memalingkan wajah, takut jika Sandy akan melihat matanya yang perlahan memerah. Dari belakangnya, Mark melangkah keluar. "Pak Sandy, semoga kerja sama kita berjalan lancar." Ekspresi sarkastik khas Sandy yang biasa dia tunjukkan pada Lily lenyap seketika. Ketika menatap Mark, matanya justru dipenuhi senyuman hangat. "Senang bisa bekerja sama dengan Anda. Bapak bisa Nanti Shita akan menemani Anda jalan-jalan." Mark tertawa lepas, "Saya tak berani merebut Shita dari Anda, lebih baik dia tetap buat Anda saja!" Tak lama kemudian, Shita datang dengan mobilnya. Setelah turun, dia berjalan menaiki tangga dan berdiri di samping Sandy. Namun, kata-katanya justru ditujukan kepada Mark. "Pak Mark, mari saya antar ke hotel untuk istirahat." Mark merasa tersanjung, "Ini adalah kehormatan bagiku, terima kasih Bu Wakil CEO." Sandy agak mencondongkan tubuhnya ke arah Shita, tangan kekarnya menyentuh pinggang wanita itu sambil berkata singkat, "Hati-hati di jalan." Shita mengangguk, lalu pergi bersama Mark. Wanita itu bahkan tak melirik Lily sedikit pun. Seolah-olah dia tidak mengenali Lily yang telah berganti pakaian, atau mungkin dia sengaja berpura-pura tidak mengenalnya. Lily menatap punggung mereka yang perlahan menjauh seraya menggigit bibirnya. Pada pertemuan pertama, dia harus mengakui bahwa Shita adalah wanita yang sangat luar biasa. Mungkinkah tipikal semacam itu yang Sandy cari? Saat melihat Shita, mata Sandy memancarkan kekaguman dan ketertarikan. Itu adalah sesuatu yang belum pernah Lily lihat sebelumnya. Dia tidak bisa membayangkan seperti apa dirinya di mata pria itu. Di hadapannya, Sandy sama sekali tidak menyembunyikan kekagumannya untuk Shita. Jadi, apa arti Lily baginya? Lily sedikit menundukkan kepala, memperlihatkan sepotong kecil tengkuk lehernya yang putih bersih. Pertengkaran kecil mereka tadi membuat daun telinganya agak memerah. Tanpa Sandy sadari, tatapannya pada Lily perlahan berubah menjadi lebih intens. Penampilan Lily malam ini begitu memukau dan menawan, hingga sulit bagi Sandy untuk melupakannya. Jakunnya tampak bergerak tegang. Sandy maju dua langkah lebih dekat, mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. Meskipun sikapnya masih tetap arogan, ada maksud tertentu di balik tindakannya. "Kamu bawa mobil?" Dia sengaja memberikan kesempatan, sebuah alasan untuk mengantarnya pulang. Namun, Lily tidak merespons seperti yang dia harapkan. Wanita itu justru mengabaikan peluang yang dia tawarkan. "Selain fakta kalau kita cuma tinggal selangkah lagi dari perceraian, entah aku bawa mobil atau nggk, itu sama sekali bukan urusanmu." Garis wajah Sandy langsung menegang. Amarah seketika terpancar dari wajahnya. Padahal Sandy sudah bermurah hati untuk mengajaknya bicara, tetapi Lily justru tak bisa menghargainya! "Lily, kesabaranku sudah habis. Jangan sampai keluar batas!" Nada suaranya kali ini sangat berbeda dibandingkan kelembutan yang dia gunakan saat berbicara dengan Shita tadi. Melihat sendiri bagaimana Sandy memperlakukan Shita dengan istimewa, membuat gelombang demi gelombang emosi negatif hampir menenggelamkan Lily. Tenggorokan Lily rasanya tercekat. Dia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Matanya juga mulai berkaca-kaca. "Awas ada tikus!" Yunia muncul dengan suara lantangnya dan langsung mengitari Lily. Dengan wajah pura-pura ketakutan, dia berseru dengan nada yang sengaja ditujukan pada Sandy, "Kenapa diam saja saat lihat tikus? Memangnya kamu nggak takut digigit, ya?" Yunia, yang sejak kecil dimanja oleh sang kakak dan kedua orang tuanya, tumbuh menjadi seseorang yang tak kenal takut. Di kawasan bisnis Jayendra, hampir tidak ada orang yang tidak berani dia lawan. Meski keluarga Sudarsono tidak sebesar dan sekaya keluarga Febrianto, keduanya memiliki ikatan bisnis. Itu sebabnya Sandy memberi sedikit kelonggaran, sebagai rasa hormatnya kepada keluarga Sudarsono. Yunia akhirnya berani semena-mena ketika mengingat fakta itu. Saat Lily sering merasa sedih karena diabaikan oleh Sandy, Yunia selalu mencari kesempatan untuk menyindir pria itu. Namun, biasanya itu hanya sekadar olokan kecil … tidak seperti kali ini, di mana Yunia benar-benar menghina Sandy tanpa ragu. Karena khawatir Yunia membuat Sandy marah, Lily segera menarik tangan Yunia seraya berkata, "Yunia, ayo pergi saja." Yunia melotot ke arah Sandy, bibirnya komat-kamit seolah mengumpat dengan kata-kata yang sangat kasar. Akan tetapi, tak ada suara yang keluar. Ketika mereka kembali ke mobil, Lily sudah lebih dulu masuk. Namun, Yunia masih merasa belum puas. Dia menurunkan jendela mobil dan berteriak lantang ke arah Sandy, "Dasar Berengsek! Lily bakal jadi desainer hebat suatu hari nanti. Kamu nggak akan pantas lagi buat dia!" Lily yang terkejut sontak menahan napas dalam-dalam. Dia segera meraih tubuh Yunia dengan panik untuk menutup jendela dan terus mendesaknya, "Ayo, cepat jalan!" Mobil pun melaju meninggalkan tempat itu. Kata-kata Yunia terus terngiang di telinga Sandy. Sorot matanya yang tajam seperti elang menatap jalanan penuh gemerlap lampu di tengah malam kota. Setelah kian lama berlalu, dia akhirnya mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Tara, "Istriku dulu kuliah jurusan apa?" Dalam sejenak, hanya ada keheningan di seberang sana. Lalu, suara Tara terdengar menjawab dengan ragu, "Desain interior!" "Awasi semua gerak-geriknya. Jangan biarkan dia bekerja di perusahaan desain mana pun." Sandy sama sekali tidak merasa bahwa tindakannya ini salah. Keluarga Sudarsono memiliki kekayaan melimpah. Bahkan, jika harus menanggung biaya hidup Lily seumur hidup, itu bukan masalah. Jika Lily tidak mau mengikuti aturan yang ada, Sandy pun merasa tak perlu lagi menahan diri. Apa yang dia lakukan bukanlah bentuk penindasan, melainkan cara agar Lily segera kembali ke jalan yang benar. Di sisi lain. "Apa yang kamu takutkan?" tanya Yunia dengan penuh amarah sambil mengemudikan mobil. Semangatnya terasa begitu menggebu-gebu. "Kamu itu istri sah, sedangkan dia cuma suami yang selingkuh dengan wanita murahan! Sekalipun mereka disatukan, nggak seharusnya berani menyombong didepanmu!" Lily ingin menjawab, tetapi mencoba menahan diri pada akhirnya Dia merasa, statusnya sebagai istri sah kini hanyalah sebuah lelucon. "Entah dari sudut pandangku atau keluarga Juliardi, memusuhi Sandy bukanlah hal yang bijak." Jika sampai keluarg Febrianto dipermalukan karena skandal ini, perceraian pasti akan menjadi jauh lebih rumit. Saat itu, masalahnya bukan lagi sekadar urusan antara dirinya dan Sandy, tetapi akan melibatkan dua keluarga besar mereka. "Lily, kamu sudah bicara sama keluargamu soal perceraian ini?" Di persimpangan lampu merah, Yunia menghentikan mobilnya, lalu menoleh untuk bertanya padanya. Lily menggeleng pelan, "Belum." Keluarga Juliardi bergantung pada keluarga Febrianti. Jika ayahnya tahu dia ingin bercerai, dialah orang pertama yang akan menolak. Sementara itu, ibunya yang memiliki kepribadian lembut hanya akan menuruti perkataan ayahnya. Ditambah lagi, hampir setiap hari ibunya terus-menerus membisikkan nasihat untuk menjadi istri yang baik dan ibu yang sempurna di telinganya. Lily dulu selalu berpikir bahwa Sandy menyukainya, hanya saja pria itu tidak pandai mengungkapkan perasaan. Karena desakan sang ibu, dia akhirnya menahan sikap dingin dan pengabaian Sandy selama dua tahun penuh. Namun, begitu skandal perselingkuhan itu terungkap, dia merasa semua kesabarannya selama dua tahun ini tak lebih dari sebuah lelucon yang pahit dan tragis! Tak ada seorang pun dalam keluarga Juliardi yang akan memahami perasaannya. Itu sebabnya, dia harus segera menyelesaikan perceraian ini sebelum keluarganya tahu! "Kalau begitu, kita nggak boleh ribut-ribut dulu. Kita selesaikan perceraian ini diam-diam!" ujar Yunia dengan semangat, "Kamu sudah siapin berkas perjanjian cerainya?" Raut wajahnya berubah serius, tetapi nada suaranya tetap penuh emosi, "Kamu nggak boleh keluar dengan tangan kosong, Lily! Minimal kamu harus minta rumah, mobil, bahkan kalau bisa, dapatkan beberapa triliun juga!" "Aku … kita lihat saja nanti," jawab Lily pelan. Dia bahkan belum sempat memikirkan hal itu Yunia mengerti bahwa pikiran Lily saat ini pasti kacau balau. Dia pun tidak ingin memaksanya lebih jauh. Setelah mengantar Lily pulang, Yunia membuatkan sedikit camilan malam untuk mereka. Bahkan, dia menawarkan untuk bersenang-senang semalaman sebagai cara untuk melepas stres. Namun, Lily menolak. Dia hanya memeluk laptopnya sambil duduk di sofa. "Aku harus kirim lamaran kerja. Pokoknya aku mau mulai bekerja secepat mungkin," katanya dengan tegas. Yunia berpikir sejenak sebelum bertanya, "Apa kamu butuh bantuanku?" Lily tahu, dengan koneksi yang dimilikinya, Lily tidak perlu repot-repot melamar pekerjaan. Semua bisa diaturnya dengan mudah. "Nggak perlu." Lily menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Aku yakin bisa menemukan pekerjaan sendiri." Lily tidak ingin menggunakan koneksi siapa pun. Dia yakin, dirinya mampu mendapatkan pekerjaan dengan usahanya sendiri. Ini bukanlah bentuk kesombongan. Dia memang belum memiliki pengalaman kerja, bahkan nyaris tidak bersentuhan dengan dunia desain dalam dua tahun terakhir. Namun, dengan mengandalkan penghargaan yang diraihnya dari proyek kelulusan universitas, sebagian besar lamaran kerjanya mendapat balasan untuk panggilan wawancara. Langkah pertama yang dia ambil membawa hasil yang sangat baik. Semangatnya berkobar, membuat Lily semakin yakin untuk melangkah maju. Keesokan paginya, dia membeli setelan profesional untuk menghadapi wawancara kerja bersama Yunia. Semua persiapan dilakukannya dengan penuh kesungguhan. Di tengah kesibukannya, bayangan Sandy masih saja sesekali menyelinap ke dalam pikirannya. Namun, bersamaan dengan itu, sosok Shita pun ikut muncul. Wanita yang sebenarnya jarang dia temui, tetapi setiap kali terpikirkan, selalu membuatnya merasa rendah diri. Samar-samar, terasa adanya nyeri yang menususuk hatinya. Perasaan itu mendorongnya untuk segera masuk ke dunia kerja, mendapatkan pekerjaan yang tepat, dan membuktikan diri. Dia ingin lepas dari bayang-bayang mereka, tetapi perasaan itu juga sering mengacaukan fokus dan pikirannya. Pada hari Jumat, beberapa perusahaan menjadwalkan wawancara dengannya. Pukul sembilan pagi, Lily tiba di perusahaan pertama. Setelah memperkenalkan diri, dia menunggu pertanyaan dari pewawancara. "Nona Lily, setelah lulus kuliah, apa saja yang Anda lakukan selama dua tahun ini?" tanya pewawancara dengan formal. Lily tidak terkejut mendengar pertanyaan itu. Kekosongan dalam riwayat hidupnya adalah hal yang wajar dipertanyakan. Namun, tetap saja, rasa malu menjalari dirinya. "Saya … menikah." Pewawancara mengangguk pelan, tampak menyesal. "Mencari pekerjaan ada masa emasnya. Kalau Anda datang segera setelah lulus, kami pasti menyambut dengan senang hati. Namun, sekarang … maaf." Itu adalah penolakan yang halus, tetapi jelas. Lily sebenarnya sudah mempersiapkan diri untuk ditolak. Namun, alasan penolakan itu tetap sulit dia terima, "Maaf, tapi Anda bahkan belum menanyakan pertanyaan yang berkaitan dengan kompetensi saya. Hanya karena saya tidak memiliki pengalaman kerja dan pernah menikah, apakah itu cukup untuk menolak saya?" tanyanya, mencoba menahan getar dalam suaranya.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.