Bab 4
Pria itu mengenakan setelan jas hitam rancangan khusus yang elegan, rambut pendeknya terpotong rapi, dengan mata dan alis yang tampak tegas dan indah.
Lengan bajunya yang terlipat dengan sempurna memperlihatkan jam tangan Philipe Ricci yang melingkar di pergelangan tangannya.
Setiap gerakannya memancarkan aura seorang pria sukses.
Di sebelahnya, Shita duduk dengan mengenakan setelan jas putih yang elegan.
Rambut panjangnya yang hitam legam dikeriting menjadi gelombang besar, terurai indah di belakangnya.
Meskipun memiliki aura yang cukup kuat, dia seolah sedikit terimbangi dengan kehadiran Sandy, yang memberinya kesan lebih lembut dan feminin.
Di hadapan mereka, duduk seorang pria asing berusia sekitar empat hingga lima puluhan tahun.
Ini bukan kencan romantis berdua, melainkan mereka tengah melakukan negosiasi bisnis dengan seorang klien.
Namun, suasana seperti itu tetap membuat hati Lily berdebar.
Saat dia mengamati mereka, tatapan mereka juga terfokus padanya.
Mata tajam Sandy seketika menyipit.
Wanita itu memakai gaun kasual burgundy yang terkesan santai, rambut panjang lebatnya terurai dengan indah.
Wajah mungilnya yang seukuran telapak tangan, tampak polos tetapi menggoda. Dia seperti memiliki dua sisi kepribadian yang bertolak belakang, tetapi sangat sesuai dengannya.
Sandy jelas tahu bahwa dirinya memang cantik. Namun, dia tak pernah menyangka jika kecantikannya sehebat itu.
Selama dua tahun terakhir, dia tak pernah membawa Lily ke acara formal, dia biasanya hanya melihatnya mengenakan pakaian santai di rumah.
Sosok Lily yang seperti ini benar-benar membuatnya terpesona, ada kekaguman yang tak bisa dia bendung.
Tentu saja, dia mendapatkan informasi itu dari Tara. Ini pasti sengaja Lily lakukan, seolah-olah mereka bertemu secara kebetulan.
Seringaian tipis yang penuh ejekan terlukis pada bibirnya. Dia sangat memahami permainan kecil wanita itu.
"Pak Sandy, apa Anda mengenalnya?" Pria asing itu bertanya dengan Bahasa Igrania yang lancar. Itu karena dia melihat Sandy terlalu lama menatap Lily.
Sandy mengalihkan pandangannya, suaranya terdengar dingin dan tanpa emosi, "Nggak kenal."
Wanita itu datang menemuinya. Jadi, apa dia akan membiarkannya pergi begitu saja?
Tidak mungkin.
Aura dingin pria itu semakin menyebar, langsung menyerang pipi Lily.
Kata "Nggak kenal" itu seperti menghancurkan hatinya menjadi serpihan yang berserakan.
Lily menggigit bibirnya, memaksakan dirinya untuk tetap fokus. Dia telah masuk, maka tak mungkin keluar lagi.
Restoran ini hanya bisa diakses oleh orang-orang kaya atau berkelas. Jika dia membuat keributan dan menarik perhatian pengunjung lain, itu akan memengaruhi reputasi restoran.
Jari-jarinya yang memegang ujung gaun tampak memucat. Namun, dia tetap menarik napas dalam-dalam dan melangkah menuju piano.
Mereka menginginkan lagu piano yang terkenal, Caravansary.
Lirik lagu itu menggambarkan kekaguman dan cinta tulus seorang pria kepada seorang wanita.
Lily menatap partitur lagu itu cukup lama, sebelum akhirnya mulai memainkan tutsnya.
Dia tidak tahu siapa yang sebenarnya memesan lagu ini.
Namun, pria asing itu terus menggoda, "Pak Sandy, Anda benar-benar beruntung bisa punya wanita sehebat Bu Shita di samping Anda!"
"Benar, dia memang luar biasa." Sandy tersenyum, memuji Shita dengan penuh keyakinan.
Shita tersenyum dengan anggun, "Dulu, saat baru mulai, saya belum sebaik ini, semuanya berkat bimbingan langsung dari Pak Sandy."
Irama awal lagu terdengar lembut, musik yang merdu itu tetap tidak bisa menutupi percakapan mereka.
Lily menghafal lagu itu. Jadi, dia tidak perlu melihat partitur sama sekali.
Pandangan matanya tanpa sadar jatuh ke arah orang-orang di meja makan.
Sandy duduk miring, dengan mencondongkan tubuh ke arah Shita, sedangkan tangannya bertumpu santai pada sandaran kursi di belakang Shita.
Sesekali, Shita membalas perkataan pria asing itu, menggunakan Bahasa Igrania yang fasih untuk membahas kerja sama bisnis mereka.
Terkadang, dia menoleh ke Sandy, berbisik pelan tentang sesuatu.
Lily bisa memahami Bahasa Igrania, tetapi dia tidak dengan istilah-istilah teknis yang mereka gunakan dalam pekerjaan.
Sementara itu, Sandy dan Shita menunjukkan kekompakan yang luar biasa, seolah mereka hanya perlu saling bertukar pandang untuk memahami maksud masing-masing.
Mereka bercakap-cakap bersama pria asing itu dengan begitu tenang dan terampil.
Lima menit di sana terasa bagaikan satu abad bagi Lily.
Ketika lagu selesai, jemarinya berhenti di atas tuts piano, meninggalkan gema lembut di udara. Suara percakapan di meja makan itu pun perlahan terdengar semakin jelas.
"Kalian berdua benar-benar pasangan yang serasi!" Pria asing itu akhirnya menyerah, tidak berhasil mendapatkan keuntungan dari kerja sama tersebut.
Namun, pria asing itu tampak sangat puas. Dia terus memuji Sandy dan Shita tanpa henti.
Ucapan "Benar-benar pasangan yang serasi" membuat Sandy refleks mengernyitkan alisnya.
Akan tetapi, karena pria itu adalah orang asing yang tidak fasih berbahasa lokal, dia tidak menyadari bahwa frasa itu kurang cocok untuk menggambarkan situasi mereka.
Sandy juga tak berniat menjelaskannya.
Shita tersenyum semringah, "Pujian Pak Mark berlebihan."
Lily mengulas senyuman samar, matanya perlahan mengalihkan pandangan dari tubuh Sandy.
Mungkin bagi Sandy, dia adalah sebuah aib. Setelah bertatapan singkat saat dia masuk, pria itu tidak pernah lagi memandangnya.
Seolah takut jika melihatnya terlalu lama, orang lain akan menyadari bahwa dia adalah istrinya, sesuatu yang mungkin dianggap memalukan bagi Sandy.
Meski piano ini adalah barang kesayangan Yunia, dia jarang membiarkannya dimainkan oleh pianis sembarangan,
Namun, di mata orang-orang kaya seperti mereka, itu hanyalah hiburan. Selain itu, pianis seperti Lily hanyalah pelayan yang ditugaskan untuk menghibur mereka.
Saatnya dia pergi, tetapi entah mengapa, Lily tetap terpaku di tempat. Dia menatap Sandy yang dengan santai mengisap rokok, tanpa berniat untuk segera berdiri.
Sampai akhirnya Shita berdiri, mengambil dompetnya, lalu berjalan mendekatinya.
Setumpuk tipis uang ratusan ribu, tampak lebih dari dua juta Shita sodorkan ke hadapannya.
"Permainanmu cukup bagus. Anggap saja ini bonus dari aku dan pacarku."
Shita berkata pelan, tetapi terasa menusuk.
Pacar … bonus.
Hati Lily terasa nyeri. Dia mendongak, menatap Shita.
Mata wanita itu terlihat tenang di permukaan. Namun, sorotannya penuh kemenangan.
Lily menduga, Shita mengenalnya. Bahkan, nomor asing yang pernah mengirimkan video kepadanya, kemungkinan besar ada kaitannya dengan Shita.
Dia bisa bertahan menghadapi sikap dingin Sandy. Namun, dia tidak bisa menerima provokasi Shita yang begitu menusuk.
Lily membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu, tetapi …
"Belum pergi juga? Tunggu apa lagi memangnya?" Suara dingin Sandy memotongnya.
Tatapan tajam penuh peringatan terarah lurus padanya.
Jika memang tahu diri, seharusnya Lily tak perlu datang ke tempat ini untuk mengusiknya. Cukup dengan pulang dan minta maaf.
Tatapan itu menembus ke dalam hati Lily, membuatnya sedikit gemetar. Dia menerima uang yang disodorkan Shita, lalu berbalik pergi.
Keberanian Shita berasal dari Sandy. Lily tak akan pernah menang melawannya.
Tidak ada gunanya memaksakan harga diri hanya untuk membuat dirinya semakin terpuruk. Lagi pula, ada uang yang bisa diambil … mengapa harus menolaknya?
Dia kembali ke lobi untuk melanjutkan permainan pianonya. Pekerjaannya pun selesai pada pukul sepuluh malam.
Saat Yunia pergi mengambil mobil, Lily mengganti pakaian kerjanya dan menunggu di depan pintu.
Angin malam di awal musim hujan terasa dingin. Lily memasukkan kedua tangannya ke dalam saku dan menarik rapat jaketnya, menatap jalanan sepi di hadapannya.
Sandy berjalan mendekatinya dari belakang, berhenti tepat di sisinya. Lalu, dia mengeluarkan sebatang rokok dan menggigit ujungnya.
Dia meliriknya dari samping, "Lain kali, jangan cari aku ke tempat seperti ini. Kalau ada urusan, bicarakan saja di rumah."
Lily menoleh. Pria di sampingnya itu lebih tinggi satu kepala darinya. Bagian atas kepalanya memantulkan siluet keemasan dari sorot lampu yang berada di atasnya.
Wajahnya tampak begitu sempurna. Garis rahangnya terlihat tegas dan indah saat dia menggigit rokok.
Aroma maskulinnya yang acuh tak acuh, tetapi elegan, mulai menyelimuti Lily. Hal itu membuat hatinya yang sebelumnya mati rasa seolah hidup kembali, meski hanya sesaat.
Namun, semakin terasa hidup, semakin terasa pula rasa sakitnya.
Mungkin, di matanya, Lily tampak begitu rendah. Itu sebabnya pria ini merasa yakin kalau dia datang ke tempat ini demi dirinya.
"Kamu salah paham. Aku ke sini buat bantu Yunia," jawab Lily, mencoba menepis anggapan itu.
Dia sedikit bergeser menjauhi Sandy, menjaga jarak agar tidak terlalu dekat.
Dasar keras kepala!
Sandy menatapnya dingin dan setajam elang. Bibir tipisnya mengeluarkan asap rokok yang samar-samar membaur dengan udara malam.
"Apa pun alasanmu, jangan pernah datang ke sini lagi! Jangan pernah mempermalukanku!"
"Kita menikah diam-diam. Jadi, nggak ada yang tahu kalau kamu itu Nyonya Febrianto. Kalau kamu memang nggak suka, kita bisa urus surat cerainya besok."
Ucapan dingin itu menembus hati Lily seperti belati, meninggalkan rasa sakit yang sulit dia sembunyikan.
Di bawah kelamnya langit malam, dua orang yang pernah berbagi keintiman paling mendalam sebagai suami istri itu … kini dipenuhi ketegangan yang nyaris bisa meledak kapan saja.