Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

"Kenapa?" tanya Sandy dingin, dengan amarah yang mulai tersirat, "Total uang yang kuhabiskan buat dia cuma puluhan miliar. Apa aku masih perlu minta izin darimu? Saat keluarga Juliardi dapat triliunan dariku, kenapa kalian nggak hitung lagi dengan teliti?" Meski pernikahan mereka disembunyikan dari publik, Lily tahu bahwa setelah menikah, keluarga Juliardi sering mengambil keuntungan dari Sandy. Keluarganya memanfaatkan setiap peluang yang ada untuk mendapatkan sumber daya darinya. Namun, Lily tidak bisa menerima ini, "Itu beda! Kita ini suami-istri! Apa dia bisa dibandingkan denganku?" "Justru kamu yang nggak bisa dibandingkan sama dia!" Tatapan penuh penghinaan dari Sandy terasa seperti belati berduri tajam, menusuk langsung ke jantung Lily, lalu mengoyaknya dengan brutal, "Puluhan miliar yang kuhabiskan kemarin cuma seujung kuku dari hasil kerja kerasnya. Coba katakan, bagaimana bisa kamu membandingkan dirimu sama dia?" Hatinya terasa remuk redam. Luka itu menganga lebar, membuatnya tak berdaya. Tatapan Sandy yang dingin dan tanpa belas kasihan adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Seakan, pria yang dulu kehilangan kendali di atas ranjang bersamanya, juga membisikkan kata-kata cinta di telinganya, bukanlah orang yang sama. "Kalau dia sesempurna itu, kenapa kamu nggak menikahinya saja? Ngapain malah menikahiku?" Suaranya gemetar, matanya bahkan mulai memanas, "Bukankah dulu kamu menikahiku karena mencintaiku?" Penglihatan Lily perlahan mengabur. Yang bisa dia lihat hanyalah bayangan samar sosok Sandy, tetapi ekspresi dingin dan penuh ketidakpedulian di wajahnya begitu jelas, bahkan terlalu jelas untuk diabaikan. Seolah-olah, dia sedang mentertawakan betapa naifnya Lily. Betapa bodohnya dia yang berpikir bahwa Sandy mencintainya. Sandy tampak gusar, "Sudah ngomongnya?" Bagi Sandy, seorang wanita yang kehilangan kendali seperti ini tidak ada gunanya diajak berdiskusi. Dia melewati Lily tanpa banyak kata, lalu melanjutkan langkahnya menuju lantai atas. Sikap Sandy yang menghindar dan enggan membahas masalah ini menjadi pukulan terakhir bagi kewarasan Lily. "Kita cerai saja!" Suaranya terdengar bergetar ketika mengucapkan kalimat itu. Mata Lily terpejam erat, seolah membutuhkan seluruh keberanian yang tersisa dalam dirinya untuk mengatakan hal tersebut. Pernikahan tanpa cinta … Lily tak ingin terjebak di dalamnya lagi! Sejak awal pembahasan, Sandy tidak pernah sekalipun menyebut nama Shita. Dia mengabaikan semua fakta dan justru menyalahkan Lily karena dianggap bertindak tidak masuk akal. Lily tahu, jika dia membawa video itu sebagai bukti, Sandy tetap tidak akan mengaku. Pada akhirnya, dia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri dan mendapatkan status sebagai istri yang ditinggalkan. Itu bukan sesuatu yang dia inginkan. "Setiap bulan, kamu dapat 100 miliar uang jajan. Tugasmu cuma menyiram bunga, menanam tanaman, dan tidur denganku. Perlakuan seperti ini masih kurang enak, ya?" Sandy berhenti di anak tangga, menatapnya dengan dahi berkerut dalam, "Apa lagi sih maumu sebenarnya?" Bagi Sandy, semua penderitaan yang Lily keluhkan sungguh tak masuk akal. "Perlakuan?" Air mata hangat Lily mengalir di pipi dan membasahi wajahnya. Dia menatap pria itu dengan dingin, menantang tatapan beku Sandy. "Kamu mencari istri atau cuma alat pelampiasan?" Apakah hanya karena diberikan uang dan menemani pria itu tidur, itu sudah bisa disebut pernikahan? Apa bedanya dengan menjual diri? Satu-satunya pembeda hanyalah selembar kertas … tanda pernikahan resmi. Lantas, apakah ini jual beli pernikahan? Tidak! Lily teringat pesta ulang tahun malam itu, sebuah kejutan yang membuat banyak wanita iri. Kini, dengan hati yang tersayat, dia menyadari satu hal. Di mata Sandy, dia hanya pantas untuk diberi pernikahan seperti ini. Senyum tipis Sandy mengandung penghinaan yang mendalam. Mata gelapnya menatap dengan penuh ejekan. "Memangnya yang kubilang salah, ya? Kamu pikir, kalau cerai, kamu bisa kembali jadi putri kebanggaan keluarga Juliardi? Lily, jangan bodoh. Bersikaplah bijaksana!" "Aku masih punya tangan dan kaki. Nggak kembali ke keluarga Juliardi juga aku masih bisa hidup dengan baik!" Lily memaksakan diri untuk menahan air mata, melangkah lebih dulu ke atas. Di sudut kamar, dia menarik koper putihnya dan mulai mengemas pakaian. Rumah itu berisikan seorang ayah bersikap dingin dan ibu yang hidup dalam bayang-bayang. Dia tak akan pernah datang ke sana lagi, sudah cukup penderitaan Lily! Ekspresi Sandy mengeras. Dia mengikuti Lily ke lantai atas, tetapi tidak mencoba menghentikannya. Dia hanya berdiri di sana, memandang Lily yang sibuk berkemas dengan dingin. Pukul empat dini hari, pemandangan di luar jendela masih gelap gulita. Namun, di dalam kamar, cahaya terang benderang seolah sudah tengah hari. Wajah Lily pucat pasi. Setelah memastikan ritsleting kopernya tertutup rapat, dia keluar dari ruang pakaian. Sandy masih berdiri di sana. Saat mereka berpapasan, dia berkata dengan suara ketus, "Lily, aku nggak punya banyak kesabaran. Jangan pernah berharap aku akan memintamu kembali." "Besok pagi jam sembilan, kita bertemu di depan Kantor Urusan Sipil," jawab Lily sambil menahan gemetar dalam hatinya. Dari nada suaranya, tersirat jelas sebuah kegelisahan, kemarahan, bahkan rasa jijik. "Akhir-akhir ini aku sibuk. Kalau kamu memang mau cerai, hubungi asistenku buat jadwalin waktu. Jangan bilang aku nggak memperhatikan perasaan kita sebagai pasangan. Tapi, kalau sebelum membuat jadwal itu kamu berubah pikiran, aku bisa saja menganggap kejadian hari ini nggak pernah terjadi." Sandy menoleh ke belakang, matanya tertuju pada koper besar yang sudah terisi penuh. Semua foto di meja samping tempat tidur, termasuk dua boneka kecil, telah dia masukkan ke dalam koper itu. Sandy merasa kesal. Perasaan ini seperti kehilangan karyawan berharga yang tiba-tiba mengundurkan diri. Tidak tahu diri, pikirnya. Bukankah dia selalu memberikan semua yang Lily inginkan? Selama dua tahun pernikahan, Sandy tidak pernah membatasi pengeluarannya. Bahkan, dia dengan santai menyerahkan seluruh urusan rumah tangga kepada Lily. Sandy tidak mengerti drama apa yang sedang dimainkan Lily kali ini, tetapi dia yakin satu hal, Lily pasti akan kembali. Keluarga Juliardi tidak akan membiarkan Lily bercerai. Kalau sampai pulang, dia pasti akan dimarahi dan dipaksa kembali ke rumah ini. Adapun Lily yang berkata bisa hidup mandiri, Sandy hanya menganggapnya angin lalu. Lily tumbuh besar dengan penuh manja. Apakah dia bisa bertahan dengan kehidupan pekerja kantoran yang monoton dari jam sembilan pagi hingga lima sore? Namun, meski begitu, saat melihat punggung Lily yang pergi tanpa ragu, perasaannya tetap menjadi semakin kian gelisah. Dia keluar dari kamar tidur, berdiri di dekat pagar lantai dua, dan memandang ke bawah. Lily sedang mengambil kunci mobil dari meja di dekat pintu. Dia kemudian berkata pelan dari atas, "Aku sengaja belikan mobil itu buat kamu." Mobil itu tidaklah mahal, paling-paling sekitar hampir 400 juta. Memang benar, itu adalah mobil yang dibeli oleh Sandy. Karena Lily baru saja belajar menyetir, dia takut akan menggores mobil mahal. Jadi, dia memilih mobil yang murah. Setelah Lily memilihnya, barulah Sandy membayar. Dia rela memberikan hadiah puluhan miliar kepada Shita. Namun, untuk Lily, dia bahkan tidak ingin memberinya mobil seharga 400 juta. Angin musim hujan yang dingin berhembus kencang di luar, membuat dedaunan kuning berguguran dan berserakan di tanah, menciptakan suasana yang begitu muram dan penuh kesepian. Hati Lily terasa semakin dingin. Tangannya mencengkeram kunci mobil semakin erat, lalu dia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Dengan tegas, dia melemparkan kunci itu kembali ke meja dekat pintu, meraih koper, dan langsung pergi. Begitu keluar rumah, angin malam langsung menyerangnya. Rambut panjangnya yang hitam terurai menjadi berantakan, sementara tubuh mungilnya perlahan menghilang ditelan gelapnya malam. Sandy menatap punggungnya tanpa berkedip. Hingga pintu tertutup dengan suara "Brak!" yang keras. Matanya sedikit bergetar dibuatnya. Dia berbalik kembali ke kamar tidur, berdiri di depan jendela besar, memandang tubuh ramping Lily yang tampak begitu kecil di bawah remang lampu jalan. Vila tempat mereka tinggal berada di pinggiran kota. Untuk mencapai pusat kota, setidaknya membutuhkan waktu satu jam perjalanan. Tanpa mobil ataupun bus, dia pasti tidak akan bisa pergi jauh. Pikiran itu terpatri kuat dalam benaknya. Namun, seiring detik demi detik berlalu, keyakinannya mulai retak, hingga akhirnya benar-benar hancur berkeping-keping. Lily melawan dinginnya angin malam sambil menyeret koper. Langkahnya semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang dari pandangannya sepenuhnya. Sandy tersenyum sinis seraya menambahkan satu lagi label pada Lily selain"Nggak tahu berterima kasih", yaitu "Gengsi orang miskin". Sementara itu. Setelah keluar dari kawasan vila, Lily akhirnya mengeluarkan ponselnya dan menghubungi sahabatnya, Yunia. Ketika Yunia akhirnya tiba dengan mobilnya, Lily sudah berjalan melawan dinginnya angin selama satu jam penuh. Bulu matanya yang lentik kini tertutup lapisan embun beku yang tebal. Tangan yang menyeret koper terlihat memerah, kaku, dan kering akibat kedinginan. Yunia segera melompat keluar dari mobil. Dia memasukkan Lily ke dalam mobil dengan sigap, kemudian mengangkat koper ke bagasi, sebelum akhirnya kembali ke kursi pengemudi. Di telepon, Lily hanya mengatakan bahwa dia ingin bercerai dengan Sandy. Yunia sebenarnya menyimpan banyak pertanyaan di benaknya. Namun, melihat kondisi Lily yang tampak begitu rapuh dan kehilangan arah, dia tidak tahu harus memulai dari mana. Pemanas di dalam mobil dinyalakan hingga maksimal. Udara hangat dengan cepat mencairkan embun beku yang menempel di bulu mata dan alis Lily. Kabut tipis mulai menyelimuti area sekitar matanya. Pada saat itu juga, hati Lily yang tadinya dia kira sekuat baja, akhirnya runtuh. Air matanya langsung mengalir deras, jatuh tiada henti. Terasa begitu panas, seolah-olah mampu membakar kulitnya.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.