Bab 14
Dua hari kemudian.
Adelia sudah menyiapkan obat tradisional untuk Justin.
Dia sudah berpenampilan rapi dengan mengenakan gaun bunga yang dipadukan dengan jaket putih sebagai luarannya.
Dia terlihat lebih cantik dan memikat.
"Pak Justin, aku pergi dulu," pamit Adelia kepada Justin yang sedang menonton televisi di ruang tamu.
"Kok perginya cepat banget?" tanya Justin.
"Aku mau menjenguk Nenek dulu," jawab Adelia. Dokter bilang kondisi neneknya sudah membaik, jadi itu membuat Adelia merasa sangat senang.
"Oh."
Justin mengamati Adelia yang pergi dengan ujung gaunnya berayun riang, lalu mengambil ponselnya dan menelepon Nathan. "Pertemuan rahasia malam ini diubah jadi di Restoran Kenala."
Pukul 18:00
Sudah ada banyak mobil yang diparkir di depan pintu masuk Restoran Kenala.
Puluhan orang mahasiswa berkumpul bersama, sementara si ketua kelas pengobatan tradisional menghitung jumlah orang dengan membawa daftar nama.
"Adelia belum datang? Semenjak liburan hingga semester baru dimulai, kira-kira sudah empat lima bulan kita nggak melihatnya. Menurut kalian, rumor itu benar nggak?" ujar sekelompok mahasiswi di samping yang mulai bergosip.
"Kayaknya dia masih sibuk tidur dengan sponsornya itu deh," sahut yang lain. Ada salah seorang mahasiswa yang mengaku melihat Adelia naik mobil mewah bersama seorang lelaki tua.
"Amanda, kamu 'kan teman sekamarnya, kamu pasti tahu. Adelia benar-benar mendapat sponsor?" tanya mereka dengan penasaran.
Wajah Amanda dirias tipis, tas bermerek yang dia bawa senilai 40 juta lebih. Dia pun menegur dengan lembut, "Jangan bicara seperti itu tentang Adelia. Dia melakukan hal itu karena terpaksa. Keluarganya miskin, neneknya juga lagi sakit ... "
"Ya ampun, ternyata dia benar-benar memilih lelaki tua itu, ya! Menjijikkan banget! Kamu kok masih membelanya sih, Amanda!"
"Amanda itu wanita yang kaya dan cantik, baik hati dan murah hati, beda banget dengan Adelia. Katanya kamu juga berteman dengan putri keluarga Vijendra, ya ... "
Amanda hanya balas tersenyum dengan penuh maksud.
Tepat pada saat itu, sebuah mobil Porsche biru pun melaju dengan cepat dan berhenti di depan mereka.
Semua orang sontak berseru, "Rafi datang!"
Seorang pemuda yang tampan dan mengenakan kemeja putih pun turun dari mobil.
Satu tangannya berada di dalam saku, sementara tangannya yang satu lagi memutar-mutar kunci mobilnya.
"Rafi, mobilmu ini pasti senilai miliaran, 'kan?"
"Aku masih ada beberapa lagi di rumah," jawab Rafi sambil tersenyum.
"Wah, kaya banget!"
"Rafi, kami lagi menunggumu memesan ruang privat. Nanti tinggal kasih tahu saja nomor ruang privatnya di grup untuk memberi tahu siapa pun yang belum datang," ujar si ketua kelas.
Paman Rafi adalah manajer divisi logistik di Restoran Kenala. Dia mendahului antrian dan memesan sebuah ruang privat yang besar. Kebanyakan dari para mahasiswa itu tidak pernah memiliki kesempatan untuk memasuki hotel sebesar ini, jadi mereka semua sibuk berfoto dengan ponsel masing-masing.
"Ayo ikuti aku," ujar Rafi yang egonya sudah terpuaskan. "Aku sudah memesan ruangan besar buat kita malam ini, kita bisa berpesta dengan puas."
Semua orang pun terus menyoraki Rafi dengan gembira.
Ada juga yang diam-diam berujar dengan iri, "Adelia beruntung banget. Katanya malam ini Rafi akan nembak dia."
Mereka semua pun mengikuti arahan pelayan dan masuk ke ruang 201. Ruangan itu sudah didekorasi dengan mewah dan megah, bahkan piring buahnya terisi penuh. Semua orang sontak terpesona.
"Kalian makan saja duluan, aku mau temui pamanku."
Setelah itu, Rafi memberikan isyarat kepada Amanda.
Amanda pun berjalan mengikuti Rafi sambil membawa tasnya.
Di sebuah lorong yang gelap.
"Kamu yakin Adelia akan datang?" tanya Rafi dengan ekspresi dingin.
Amanda bersandar di tembok sambil menjawab, "Dia bilang sebentar lagi akan sampai. Aku sudah menyiapkan segalanya, jangan lupa janjimu untuk memberiku 200 juta."
Rafi pun balas mendengkus dengan dingin. "Akan kuberikan kalau berhasil. Tapi ... apa benar dia disponsori?"
"Nanti kamu juga bakal tahu kalau sudah menidurinya," jawab Amanda dengan nada meremehkan. "Kan kamu bisa merasakan dia masih perawan atau nggak?"
Rafi tertawa dengan senang, ini benar-benar menyenangkan untuknya.
"Tuh, dia datang," ujar Amanda sambil mengedikkan dagunya.
Di ujung lorong, seorang gadis yang tampak bersinar seperti cahaya bulan berjalan menuju cahaya lampu yang kuning keemasan. Adelia terlihat makin cantik memesona.
Bahkan bayangannya saja terlihat cantik dan anggun.
Rafi memandangi Adelia dengan kagum, lalu menyapanya dengan ramah, "Adelia."
Amanda juga langsung memasang ekspresi bersahabat. Dia menggandeng tangan Adelia dengan manis sambil berkata, "Semua orang sudah datang, hanya tinggal kamu. Rafi nggak mau mulai pestanya kalau kamu belum datang."
Adelia pun menoleh dan bertanya, "Bukannya janjiannya jam 18:30?" Adelia tidak datang terlambat.
"Wah, Adelia memang tepat waktu banget, ya. Ayo cepat masuk," kata Rafi sambil membuka pintu ruang privat dengan sopan. "Aku sudah menyisakan tempat duduk yang pas banget buatmu."
Adelia pun duduk di antara Amanda dan Rafi.
Semua orang memandangnya dengan kesan berbeda-beda.
Ada yang sibuk berbisik-bisik karena sungkan, ada juga yang langsung memberanikan diri dan bertanya, "Adelia, pakaianmu ini 'kan model terbaru tahun ini? Pasti harganya mahal, ya? Siapa yang membelikannya buatmu?"
"Orang rumah," jawab Adelia dengan suara lembut. Jihan juga membelikannya banyak pakaian lainnya.
Semua orang pun tertawa dengan sinis. Orang rumah apanya? Maksudnya si lelaki tua? Yah, anggap saja lelaki tua yang banyak uang itu sebagai orang rumah.
"Memangnya nenekmu yang di desa itu bisa kasih uang ... "
"Ayo makan dulu, jangan keasyikan ngobrol," ujar Rafi memperingatkan dengan sorot tatapan tajam. Mereka yang sadar diri pun terpaksa mengalah dan tutup mulut karena mereka tidak mau sampai menyinggung perasaan Rafi.
Hidangan pun disajikan.
Semua orang sibuk berfoto dan mengunggahnya di media sosial masing-masing, serta saling membanggakan diri sehingga tidak sempat memedulikan Adelia.
Amanda menuangkan segelas minuman untuk Adelia. "Mereka cuma iri denganmu karena kamu berkesempatan magang di rumah sakit kota."
"Terima kasih," kata Adelia sambil mengambil gelas minuman itu.
"Nenekmu lagi sakit, 'kan? Kamu butuh uang? Aku masih punya tabungan, aku bisa kasih pinjam dulu kepadamu."
Amanda memang selalu berpura-pura menjadi orang baik di depan Adelia.
Hubungan mereka berdua terlihat baik dari luar.
"Nggak usah, aku bisa mengatasinya," jawab Adelia sambil makan dengan tenang dan menyesap minumannya.
Sambil mengajak Adelia mengobrol, Amanda sambil mengisi ulang gelas Adelia.
Adelia sama sekali tidak menyadari ada yang aneh. Rasa alkohol dalam minuman ini tidak begitu kentara dan tidak ada campuran apa pun yang aneh. Rasanya juga enak.
Namun, setelah minum dua gelas, pipinya mulai merah padam dan kepalanya terasa berputar.
Adelia menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berkata kepada Amanda, "Aku ke toilet dulu sebentar."
"Oke. Toiletnya ada di sebelah," jawab Amanda sambil tersenyum penuh kemenangan.
Dia tahu Adelia memiliki indra penciuman yang tajam, Adelia juga cerdas. Itu sebabnya dia tidak mungkin menggunakan cara yang terlalu terang-terangan seperti racun.
Adelia pun berjalan keluar dengan terhuyung. Kakinya terasa begitu lemas sampai-sampai untuk beristirahat saja dia harus bersandar di tembok.
Ponsel yang ada di dalam sakunya bergetar.
"Suami" meneleponnya. Adelia pun mengangkat telepon itu dengan otak yang terasa seperti tidak bisa berpikir. "Halo, Sayang?"
Nada bicara Adelia terdengar begitu pelan seperti anak kucing yang ringkih.
Napas Justin terdengar tersentak dengan kaget, lalu disusul dengan suara tawa di sekitarnya.
"Gimana pestamu?" tanya Justin dengan nada datar.
"Aku ... aku mau pulang. Aku nggak kuat jalan lagi," jawab Adelia sambil mengusap-usap pipinya. Lidahnya terasa kelu.
Tubuhnya terasa ringan, nada bicaranya juga tidak setegas biasanya.
Adelia tahu dia mabuk, dia hanya ingin pergi dari sini. Dia sengaja berbohong mengatakan ingin ke toilet.
"Adelia, kamu mabuk?"
"Minuman itu ... bikin mabuk banget," jawab Adelia sambil berusaha untuk tetap sadar.
"Tunggu di situ, biar kujemput."
Adelia pun mengangguk-angguk dengan patuh, lalu berjongkok di tembok sambil memegang ponselnya. Dia terlihat menyedihkan sekaligus menggemaskan.
Justin hendak menutup telepon, tetapi mendadak mendengar suara seorang pria dari ujung telepon sana.
"Adelia, kok kamu di sini?"
Rafi berujar dengan hangat dari belakang Adelia, lalu menarik lengan Adelia dengan kuat. "Ayo, istirahat. Aku sudah pesan kamar di sebelah."
"Nggak mau," tolak Adelia sambil menepiskan tangan Rafi.
Rafi langsung memeluk Adelia. "Dengar, ya. Mulai malam ini, kamu akan menjadi wanitaku. Aku ini akan mendapatkan apa pun yang kuinginkan."
"Rafi! Ini tindak kejahatan!"