Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 12

Adelia pun tersenyum dan melirik Justin dengan penuh rasa terima kasih. Setelah itu, dia berkata kepada Kevin dan ibunya, "Pak Kevin, aku punya resep obat. Aku nggak tahu seberapa efektif, tapi apa Pak Kevin mau mencobanya?" "Mau!" Kevin langsung berseru dengan mantap! Bu Anara menghela napas dengan kesal. Ah, lagi-lagi resep obat yang tidak berguna. Entah sudah berapa banyak resep yang Kevin coba. "Kita saling bertukar nomor, ya. Nanti akan kukirimkan resepnya kepadamu," kata Adelia sambil mengeluarkan ponselnya. Kevin langsung memindai kode QR dari akun Adelia dan menamai kontaknya dengan sebutan "Peri". Adelia pun mengirimkan sebuah pesan yang berisikan resep obat, sekaligus apa-apa saja yang perlu Kevin perhatikan. Kevin benar-benar merasa berutang budi dengan Adelia. Kalau bukan karena dihalangi oleh ibunya, dia pasti sudah langsung memberikan dua miliar kepada Adelia. "Terima kasih! Kalau aku sembuh, aku janji akan memberimu plakat kehormatan!" "Aku nggak tahu resep ini efektif atau nggak, soalnya aku cuma membacanya dari buku. Pak Kevin coba dulu saja," kata Adelia. Dia sebenarnya ingin mengobati Kevin, tetapi dia tidak ingin menyulitkan Justin. Entah kenapa dokter di Kota Hanara ini bahkan tidak bisa mengobati penyakit seperti ini. Kevin mengangguk kecil, lalu berjalan pergi dengan senang sambil menggenggam ponselnya. Begitu keluar dari rumah. Bu Anara pun menjitak kepala putranya dengan kencang. "Dasar bodoh! Kamu malah percaya dengan apa yang dia baca dari buku! Ibu nggak mau tahu kalau kamu sampai masuk rumah sakit karena salah minum obat, ya!" Bu Anara sama sekali tidak percaya Adelia hebat atau semacamnya. Dia menganggap kebetulan saja Adelia bisa menyelamatkan anaknya waktu itu. "Aku nggak keberatan sekalipun harus mati demi mengonsumsi obat ini! Ibu, tolong biarkan aku berharap!" Kevin juga sebenarnya tidak percaya Adelia bisa mengobatinya, dia hanya ingin memiliki secercah harapan. Kembali ke ruang tamu. Justin berulang kali memandangi Adelia sambil tersenyum seolah-olah ingin membaca isi hati Adelia. Adelia pun menguatkan diri dan menjelaskan, "Resep obat itu harus diminum dalam jangka waktu panjang karena efeknya bekerja lambat. Aku nggak terlalu memamerkan kemampuanku kok. Kamu juga mengizinkanku mengobatinya." Apa yang Justin tulis di atas telapak tangan Adelia tadi adalah kata-kata "Boleh". Kevin pasti sembuh bertepatan dengan Justin yang sudah bisa berdiri, jadi mereka tidak perlu lagi menyembunyikan soal perceraian pada saat itu. "Aku cuma penasaran kok kamu bisa menyembuhkan penyakit seperti itu?" tanya Justin dengan nada datar. Adelia meremas roknya dengan erat, ekspresinya yang tampak ragu membuat Justin makin penasaran. Justin pun menggerakkan kursi rodanya mendekati Adelia. Adelia refleks melangkah mundur dengan telinga yang memerah. "Pak Justin tenang saja. Aku sudah menambahkan bahan obat yang bisa memperbaiki impotensi dalam racikan obat yang Pak Justin konsumsi selama dua hari ini. Aku tahu ... hal seperti itu sangat penting bagi kaum pria." "Nggak usah diambil hati ucapan Pak Kevin tadi. Kecelakaan mobil itu nggak akan terlalu memengaruhi kemampuanmu. Kamu cukup mengonsumsi obatnya selama beberapa waktu ke depan supaya peredaran darahmu di area itu kembali lancar dan kamu sudah bisa melakukannya lagi." Justin pun mendengkus dengan kesal. Ternyata ada rahasia di dalam obat yang dia minum! Justin mencengkeram pergelangan tangan Adelia dengan kasar menggunakan tangan kanannya, lalu menarik istrinya itu mendekat. "Kamu sering mendengar kaum pria bicara soal itu?" tanya Justin sambil menggertakkan gigi. "Siapa yang menyuruhmu untuk meresepkanku obat? Kamu tahu nggak apa yang bisa seorang pria lakukan di saat gairahnya meningkat?" Justin pikir omong kosong Nathan-lah yang membuat gairahnya terangsang tanpa melihat situasi. Justin menyalahkan dirinya sendiri yang kehilangan kendali setelah kecelakaan mobil, tetapi ternyata itu karena ramuan herbal yang Adelia berikan kepadanya! Adelia bahkan dengan berani-beraninya mengobati "penyakit impotensi"nya. Adelia yang dipaksa berada begitu dekat dengan Justin sontak menjadi berdebar. Wajahnya ikut merona merah. "A ... aku ini seorang dokter! Ini semua hal biasa buatku!" Adelia pun melepaskan cengkeraman tangan Justin dengan paksa. Dia tidak berani menatap mata pria itu dan berkata dengan panik, "Aku ke dapur dulu buat merebus obat." Setelah itu, Adelia bergegas berjalan pergi. Justin menarik napas dalam-dalam untuk menahan amarahnya. Kenapa sih dia harus mempermasalahkan Adelia yang polos itu! Masalahnya, Justin merasa terusik dengan ucapan Adelia barusan. Adelia bilang ini "hal biasa"? Memangnya dia pernah mengobati siapa? Adelia pun bersembunyi di dapur dan menunggu irama napasnya kembali normal, lalu meletakkan bahan-bahan obat ke dalam kuali. Setelah berpikir sebentar, dia akhirnya mengambil segenggam bahan obat lainnya. Adelia pun mengambil sebuah kursi, lalu duduk di dapur dengan kedua tangan menopang dagunya. Dia merasa Justin pasti begitu mementingkan harga diri, itu sebabnya reaksi Justin sampai seperti itu karena merasa dipermalukan. Kakek Roman bilang bahwa pria yang punya masalah impotensi cenderung mudah marah dan malu. Sebagai dokter, mereka harus bisa berempati dengan pasien yang seperti itu. Ponsel di dalam saku Adelia pun bergetar. Dia mengeluarkannya dan melihat grup kelasnya sedang ribut membahas sesuatu. Bahkan ada yang sengaja men-tag akunnya dan bertanya apakah dia akan ikut menghadiri makan malam atau tidak. "Kita akan malam di Restoran Kenala, aku yang traktir. Kalian semua harus datang, ya!" tulis Rafi Nugraha mengundang semua teman-teman sekelasnya. "Wah, Restoran Kenala! Itu 'kan hotel yang paling sulit dipesan di Kota Hanara! Rafi baik banget! Adelia, kamu pasti akan datang, 'kan?" "Keluarga Rafi memang kaya raya dan berkuasa, ya. Setelah lulus nanti dia tinggal mewarisi bisnis keluarga, sementara kita harus berjibaku cari pekerjaan. Iri banget." Adelia membaca sebentar pesan yang masuk, lalu hendak menutup ponselnya. Namun, teman sekamarnya semasa kuliah, Amanda Haryadi, mendadak mengirim pesan pribadi kepadanya. Amanda bertanya, "Adelia, ini acara pertemuan yang langka. Kita nggak akan bisa kumpul-kumpul lagi setelah semester ini berakhir. Apa kamu nggak akan merasa sedih?" Adelia berpikir sejenak, lalu akhirnya menjawab, "Aku ikut." Adelia pun meletakkan ponselnya di samping, lalu mengawasi panci obat yang direbus selama satu jam sebelum menuangkan isinya ke dalam mangkuk. Justin sedang berada di teras kamar tidurnya sambil membaca dan berjemur di bawah sinar matahari, matanya terlihat indah dan seksi. "Obatnya sudah jadi." Adelia membawa semangkuk obat ke samping Justin, aroma pahit obat sudah bisa tercium. Justin pun menatap Adelia, lalu bertanya sambil membalikkan halaman bukunya, "Sudah ditambahkan obatnya?" "Sudah." Adelia menjawab sambil menundukkan kepalanya. Dia terlihat seperti seorang anak kecil yang habis berbuat salah. Justin pun mendadak tertawa, lalu jemarinya yang lentik itu memegang mangkuk obat dan langsung menenggak isinya sampai habis. "Maaf soal tadi," ujar Justin. Dia adalah tipe orang yang langsung memperbaiki kesalahannya. Jika sang dokter mengatakan dia mengalami masalah impotensi, ya itu berarti benar. Lama sekali Adelia menatap Justin sebelum akhirnya berkata sambil tersenyum, "Pak Justin, kamu adalah pasien paling patuh yang pernah kutemui. Sebagai hadiah, tolong sumbangkan ini kepada Yayasan Bintang Bulan atas namaku." Adelia pun mengeluarkan cek senilai satu miliar itu dan memberikannya kepada Justin. Di tengah cuaca yang mulai dingin ini, Adelia mengenakan sweater putih berbulu dan membiarkan rambutnya yang hitam tergerai. Matanya tampak berbinar dengan terang. "Aku tahu kamulah orangnya, Pak Justin." Justin adalah cahaya dalam hidupnya, si pendiri Yayasan Bintang Bulan yang membuatnya tidak putus sekolah. Adelia sudah bertanya memastikan kepada Bibi Eni sewaktu merebus obat. "Kamu mau balas budi?" Justin langsung bertanya tanpa sempat memproses kata-katanya. Sepertinya efek obat yang baru saja dia tenggak cukup kuat. Itu sebabnya dia terlihat seperti seorang pria dewasa yang penuh kehangatan dan kerinduan di bawah tatapan berbinar Adelia. "Tentu saja. Aku janji akan membuatmu berdiri lagi," jawab Adelia. Dia tidak menyadari maksud tersirat Justin. Justin balas mengangguk kecil, lalu berujar, "Padahal aku ini sama-sama pasienmu, tapi cuma Kevin saja yang punya nomormu. Kamu nggak merasa pilih kasih?" "Oh." Adelia pun mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan kode QR-nya untuk dipindai. "Aku akan menghadiri pesta teman kuliahku dulu beberapa hari lagi. Kalau ada apa-apa, silakan Pak Justin hubungi aku kapan pun itu." Justin bisa langsung melihat ada begitu banyak pesan yang belum Adelia baca. Ternyata Adelia sangat populer. "Oke." Setelah sama-sama berteman, Justin pun penasaran dengan nama kontaknya di ponsel Adelia.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.