Bab 2
Aku mengabaikan gejolak di perutku dan langsung menatapnya.
"Nggak mungkin, 'kan?"
Sebelum mengungkapkan apa yang ingin kukatakan, Ethan tiba-tiba mengerutkan kening dan membantah pikirannya sendiri. "Nggak mungkin kamu hamil."
Aku bingung bagaimana dia bisa mengambil kesimpulan seperti itu, tetapi di saat bersamaan, aku bisa melihat kelegaan di raut wajahnya.
Padahal, beberapa waktu lalu, aku ingin sekali memberitahunya kabar bahagia tentang kehamilanku, tetapi sekarang ...
Aku hanya bisa menunduk sambil berkumur tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Ethan mengambil handuk yang ada di dekatnya, lalu memberikannya kepadaku. Dengan kening yang agak berkerut, dia berkata, "Aku tahu kamu ingin sekali punya anak, tapi jangan sampai kamu menyakiti dirimu sendiri. Semua obat itu pasti ada efek sampingnya ... "
Aku langsung menatapnya.
Cahaya terang lampu kamar mandi menyinari wajah tampannya. Matanya yang dalam dan gelap tersembunyi di balik tulang alis dan bulu mata yang lebat.
Inilah Ethan, pria yang sudah kucintai selama sepuluh tahun. Buku harian remajaku bahkan penuh dengan catatan tentang dirinya.
Dulu, perhatian seperti ini pasti akan membuatku sangat senang.
Namun, sekarang ...
"Emily, harusnya kamu cerita saja padaku. Jangan menyimpan semuanya sendiri."
Aku terkejut dan bingung. "Maksudmu?"
"Resep obat yang tadi pagi aku ambil dilihat oleh Avery ... "
Avery?
Saat mendengar Ethan memanggil wanita itu dengan sangat akrab, rasanya telingaku seperti ditusuk duri.
Namun, Ethan tetap melanjutkan dengan suara yang dalam, "Dia bilang obat-obat itu berfungsi untuk membantu wanita hamil, tapi kamu bilang padaku kalau itu cuma vitamin biasa ... "
"Avery yang bilang padamu?" Aku memotong ucapannya, tetapi begitu aku berbicara, aku menyadari bahwa suaraku terdengar bergetar.
Ethan mengerutkan kening dan tampak tidak suka aku mengalihkan pembicaraan. "Dia nggak sengaja lihat, bukan karena mau mencari-cari kesalahanmu ... "
Aku tidak menyangka bahwa bahkan sampai detik ini, Ethan masih sibuk membela Avery.
Amarahku benar-benar meluap dan aku hampir tidak bisa mengendalikan diri.
Pantas saja Ethan terlihat sangat yakin bahwa aku tidak bisa hamil!
Ternyata, Avery mengatakan padanya bahwa obat itu untuk orang susah hamil dan Ethan langsung percaya begitu saja!
"Jadi ... " Aku menatapnya tajam. "Apa kamu juga berpikir kalau aku nggak bisa punya anak?"
Ethan mengangkat alisnya dan terlihat terkejut saat melihat sikapku.
Biasanya, aku bersikap perhatian dan lembut di depannya. Bahkan ketika aku sesekali merajuk padanya, itu semua hanya untuk bersenang-senang.
Baru kali ini aku bersikap tegas di hadapannya.
"Bukannya kamu memang nggak bisa hamil?"
Ethan mengerutkan kening dan tampak tidak sabaran saat dia berkata, "Akhir-akhir ini kamu sering bolak-balik ke rumah sakit dan kamu makan obat seperti makan nasi. Apa kamu pikir kamu bisa menyembunyikan semua itu dariku?"
Aku mematung di tempat dan merasa terpukul. Usahaku selama setahun terasa sia-sia dan konyol.
Aku tahu betul sifat Ethan yang sombong dan dingin. Itulah sebabnya aku berusaha menyembunyikan masalah kesuburannya sebisa mungkin.
Aku sering minum obat untuk mengatasi masalah ini. Bahkan ayah mertuaku sampai mengejekku dengan mengatakan bahwa Ethan sudah menikahi wanita mandul.
Namun, aku tetap berusaha sekuat tenaga untuk melindungi harga diri Ethan sebagai seorang pria.
Sayangnya, justru akulah yang dianggap tidak bisa hamil!
Pandanganku tiba-tiba kabur dan jantungku terasa seperti diremas sehingga membuatku sulit bernapas.
Inilah pria yang sudah kucintai selama dua belas tahun penuh ...
"Kamu mau tahu kenapa aku minum obat itu, 'kan? Kalau begitu dengarkan baik-baik, aku ... "
Namun, sebelum aku selesai berbicara, suara ketukan pintu menginterupsiku dan pintu ruangan pun terbuka ...
"Astaga, maaf. Apa aku mengganggu kalian?"
Avery masuk dengan santai tanpa ada sedikit pun rasa bersalah di wajahnya. Dia melanjutkan ucapannya seolah semua itu hal yang biasa. "Ethan, mobilku mogok. Bisa antar aku pulang, nggak?"
Aku menoleh ke arah Ethan. Meskipun masih kesal, secercah harapan masih menyala dalam hatiku. Aku penasaran dengan pilihan yang akan dia ambil.
Sebenarnya ...
Aku ingin membuka jalan keluar untuk diriku sendiri.
Anak yang kukandung adalah buah hati yang sudah kudambakan selama dua tahun. Selain itu, dengan kondisi Ethan yang memiliki gangguan motalitas sperma, bisa jadi anak ini akan menjadi satu-satunya anak yang bisa dia miliki.
Jika Ethan memilih Avery ...
Aku benar-benar akan menyerah.
Ethan terlihat terkejut dengan kemunculan Avery. Dia mengerutkan kening lalu berkata, "Aku lagi sibuk. Suruh Ben mengantarmu pulang."
Aku langsung merasa lega. Sepertinya Ethan belum memilih Avery.
Avery cemberut dan berkata dengan nada meremehkan, "Ethan, kenapa kamu berubah jadi suami yang takut istri? Emily nggak akan mempermasalahkan hal sepele seperti ini. Dia bukan orang yang picik!"
Saat mengucapkan kata-kata tersebut, dia menatapku sambil tersenyum. "Benar, 'kan Emily?"
Aku menatap Avery dengan agak terkejut.
Sikapnya yang ceria dan jujur membuatku bertanya-tanya apakah aku sudah terlalu curiga padanya?
Namun, entah mengapa, aku tetap saja tidak menyukainya.
Aku pun membalas senyumnya, lalu berkata, "Nona Avery salah."
Avery tertegun dan senyuman di wajahnya pun langsung membeku.
"Ben, tolong antar Nona Avery pulang," kataku sambil melihat ke arah Ben.
Ben langsung memandang ke arah Ethan.
Ethan pun mengernyitkan keningnya dan terlihat ragu-ragu.
"Ethan!" Avery tampak kesal karena Ethan diam saja. "Kita 'kan sahabat! Kenapa kamu lebih peduli sama wanita lain? Kalau aku sampai difoto paparazi, pasti akan merepotkan! Rumor bisa menyebar ... "
Aku berbalik dan menatapnya dengan tajam. "Apa maksudmu? Bukannya akan lebih merepotkan kalau kamu difoto sama suamiku?"
Avery menatapku tak percaya. "Bukan itu maksudku, Emily. Kamu salah paham. Aku sama Ethan sudah berteman sejak kecil dan kami berdua sudah sangat dekat. Dia sudah seperti saudaraku sendiri. Kalau kami berdua ingin menjalin hubungan, kami pasti sudah melakukannya dari dulu. Kenapa kamu ikut campur urusan kami ... "
"Avery!"
Ethan memotong ucapan Avery dan berseru dengan marah, "Omong kosong apa yang kamu ucapkan?"
Seketika itu juga, Avery sadar akan ucapannya dan langsung menutup mulutnya. "Eh? Apa Emily ... nggak tahu kalau aku mantan pacarmu? Maaf, aku pikir kamu sudah bilang padanya. Tapi, itu 'kan sudah lama. Emily pasti nggak akan mempermasalahkannya, 'kan?"
"Diam!" Ethan sepertinya sudah kehilangan kesabarannya dan kembali berseru, "Ben, antar dia pulang!"
Avery cemberut dan menatap Ethan dengan tajam. Namun, raut wajahnya lebih seperti anak manja yang sedang merajuk daripada marah.
"Oke, oke, oke. Aku pergi dulu. Sampai ketemu lagi."
Setelah Avery pergi, aku baru sadar bahwa Ethan ternyata sudah memegang tanganku. Seketika itu juga, aku menarik tanganku dan berkata, "Jangan pegang aku!"
Ethan terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara pelan, "Semua itu hanya masa lalu. Jangan terlalu dipikirkan."
"Bagaimana dengan sekarang?" Aku menatap matanya tajam. "Apa kamu masih menyukainya?"
Ethan langsung menjawab dengan tegas, "Nggak."
Aku menarik napas dalam-dalam dan berusaha keras menahan perasaan kecewa yang memenuhi dadaku. "Ethan, kalau kamu masih punya perasaan sama dia, aku bisa mundur. Kita bisa mengakhiri hubungan kita dengan baik-baik ... "
Pandanganku teralihkan saat melihat sebuah bayangan gelap di dekat pintu beserta sepatu bot kulit hitamnya ...
Ada orang di luar!
Namun, saat ini mereka sedang berada di kantor Ethan dan tidak akan ada yang berani menguping pembicaraan bos perusahaan ini.
"Emily, apa maksudmu?" Alis Ethan mengernyit dan sepertinya dia merasa bingung dengan sikapku. "Bercanda itu ada batasnya. Aku sudah bilang berkali-kali kalau aku dan Avery gak ada apa-apa. Jangan terlalu curiga, oke?"