Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

"Mulai hari ini, aku akan menjalani kehidupan yang baru!" Ketika sedang menunggu hasil pemeriksaan di rumah sakit, aku melihat Avery Scarlett, cinta pertama suamiku, mengunggah foto akta cerai di Instagram beserta pernyataan tentang keinginannya untuk memulai kehidupan yang baru. Saat aku masih berusaha untuk mencerna kabar tersebut, aku mendengar dokter di sampingku berkata dengan riang, "Nona Emily, selamat atas kehamilanmu!" Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar! Wajahku terlihat sangat terkejut dan hatiku pun langsung dipenuhi kebahagiaan yang luar biasa. Setelah setahun menanti, akhirnya aku hamil anak Ethan! Aku menunduk dan membelai perutku dengan lembut. Rasa senang dan haru bercampur aduk di dalam hatiku. Aku tidak pernah membayangkan bahwa kabar kehamilanku akan datang bersamaan dengan kabar perceraian cinta pertama suamiku. "Nona Emily, selamat ya!" ujar perawat yang sudah akrab denganku dengan senyum penuh kebahagiaan. "Cepat kabari suami Anda! Pasti dia akan senang sekali!" Aku mengangguk penuh semangat sambil terus mengelus perutku. "Ya, dia sudah lama menantikan anak ini." "Mulai sekarang, suami Anda harus ikut menemani Anda saat sedang periksa kandungan. Sesibuk apa pun pekerjaannya, dia harus meluangkan waktu untuk menemani Anda. Bagaimanapun, kesehatan Anda dan si kecil-lah yang paling penting!" kata perawat itu membela diriku dengan tegas. Selama setahun terakhir, aku selalu datang sendiri untuk memeriksakan kandunganku. Padahal, sebenarnya aku sehat-sehat saja. Sebelumnya, dokter menduga masalahnya mungkin ada pada suamiku, Ethan. Dia curiga Ethan memiliki gangguan motalitas sperma dan menyarankan agar suamiku juga diperiksa. Namun, karena mempertimbangkan harga diri Ethan, aku terus meminta dokter untuk memberiku obat perangsang ovulasi. Sayangnya, semua usaha itu tidak berhasil. Itulah sebabnya aku sangat terkejut dan senang ketika tahu akhirnya aku hamil! Dengan penuh semangat, aku pamit pada dokter dan perawat, lalu bergegas keluar membawa hasil tes kehamilanku. Aku ingin segera memberitahukan kabar gembira ini pada Ethan yang sedang ada di kantor. Namun, saat baru saja sampai di mobil, telepon di sakuku tiba-tiba berdering. Ternyata ibuku yang menelepon. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat telepon tersebut dengan nada ceria. "Halo, Bu ... " "Emily, apa hari ini kamu dan Ethan jadi berkunjung ke rumah sakit? Kapan kalian akan sampai? Ibu akan minta kakakmu untuk menjemput kalian di pintu masuk," ucap Ibu dengan suara lemah, tetapi penuh dengan kasih sayang. Sejak didiagnosis menderita kanker hati stadium akhir, Ibu selalu berharap aku bisa segera melangsungkan pesta pernikahan dengan Ethan. Keinginannya semata-mata karena rasa khawatirnya kepadaku. Meskipun aku dan Ethan sudah mendaftarkan pernikahan kami, tetapi upacara pernikahan belum bisa terlaksana mengingat kondisi kesehatan Pak Galih yang makin memburuk. Aku sudah menjelaskan pada Ibu bahwa akta nikah itu secara hukum jauh lebih penting daripada upacara pernikahan. Namun, bagi Ibu, pesta pernikahanlah yang lebih berarti. Pasalnya, selain acara keluarga Matthew, Ethan jarang sekali mengajakku pergi ke acara lain. Selain itu, Ibu juga sadar bahwa umurnya tidak akan panjang lagi. Jadi, beliau ingin melihatku menggelar pesta pernikahan dengan Ethan sebelum meninggal. Karena ingin membuatnya pergi dengan tenang, aku pun terpaksa memohon pada Ethan. Untungnya, Ethan setuju dan beberapa hari ini dia sedang sibuk mempersiapkan pesta pernikahan. "Bu, nggak usah repot-repot minta Kakak bolak-balik hanya untuk menjemput kami. Nanti kalau kami sudah sampai, kami akan menelepon Kakak saja." "Ya sudah, hati-hati di jalan ya. Kalau Ethan sedang sibuk, nggak usah dipaksakan. Kamu datang sendiri juga nggak apa-apa kok," kata Ibu dengan nada penuh kekhawatiran. "Bu, jangan khawatir. Ethan sudah janji akan menemaniku ke rumah sakit untuk menjenguk Ibu. Dia pasti akan datang." "Ya sudah, kalau begitu ... " Setelah mengakhiri panggilan telepon tersebut, aku segera membuka pintu mobil. Sopir pun sudah siap sejak tadi. "Ke kantor ya, Pak," ujarku. Namun, sopir itu terlihat ragu-ragu dan berkata, "Bu Emily, bukannya Pak Ethan nggak suka kalau Anda pergi ke kantor?" Aku tersenyum lembut sambil mengelus perutku, lalu berkata, "Ada urusan penting yang harus aku bicarakan dengannya." "Tapi ... " Henry Jenkins terlihat khawatir. "Bagaimana kalau Bu Emily telepon Pak Ethan dulu?" Senyum di wajahku agak memudar, tetapi aku juga mengerti kekhawatiran Henry. Bagaimanapun, yang membayar gaji Henry adalah Ethan, bukan aku. Selain itu, Ethan memang tidak suka jika aku sering pergi ke kantor dan mengganggu pekerjaannya. Tepat ketika aku sedang ragu apakah harus menelepon Ethan dulu atau langsung saja ke kantor dan memberikan kejutan, teleponku tiba-tiba berdering. Ternyata dari Ethan. Gelombang kebahagiaan menyeruak di hatiku dan aku pun segera mengangkat telepon tersebut. "Sayang, aku ... " Namun, sebelum menyelesaikan kalimatku, suara suamiku yang tenang terdengar. "Emily, hari ini aku lembur dan pulang agak malam. Kamu makan malam dulu saja dan nggak perlu menungguku." "Oke, Sayang, tapi ... " Namun, sebelum aku melanjutkan, aku mendengar suara lirih seorang wanita dari ujung telepon. "Sekarang aku lagi sibuk. Aku tutup dulu, ya." Setelah itu, Ethan mematikan panggilan telepon tersebut tanpa menunggu jawabanku. Jantungku tiba-tiba berdebar kencang dan dadaku terasa sesak seperti tertimpa beban berat. Aku langsung panik dan kesulitan bernapas. Unggahan Avery di Instagram tadi pagi tentang kehidupan barunya setelah bercerai dengan sang suami langsung terlintas di pikiranku. Tanpa sadar, aku segera membuka akun Instagram Avery dan menemukan unggahan terbarunya yang berisi kata-kata singkat. "Lagi berkunjung ke lokasi syuting ... " Dalam unggahan tersebut terdapat foto seorang pria yang sedang menelepon di depan jendela besar. Meskipun hanya terlihat punggungnya saja, aku langsung mengenali sosok itu. Pria itu adalah suamiku, Ethan. Ternyata, saat ini dia sedang bersama Avery. Kantor Grup Matthew terletak di kawasan bisnis paling ramai di Emberton. Saat tiba di gedung Grup Matthew, wajah cantik Avery terpampang besar di layar LED. Avery adalah seorang aktris yang sangat terkenal. Dialah cinta pertama suamiku dan juga mantan kekasih yang sangat dikagumi oleh Ethan. Selain itu, dia adalah duta produk-produk Grup Matthew. Saat keluar dari mobil, aku tidak bisa menyembunyikan rasa kurang nyamanku melihat foto wanita itu terpampang di seluruh penjuru kantor. Ethan tidak suka jika aku sering mengunjungi perusahaan dan mengganggu pekerjaannya. Jadi, aku jarang pergi ke sini meskipun sudah menikah dengannya selama dua tahun. Aku pun juga tidak tahu bahwa Avery dijadikan duta produk-produk ini. Aku tidak tahu alasannya dan sepertinya tidak ada yang mau memberitahuku. Mungkin ... Mungkin tidak akan ada yang mau memberitahuku. "Bu Emily, ada perlu apa Anda ke sini?" Begitu aku naik ke atas, Ben Lexanne yang merupakan asisten Ethan menyambutku dengan raut wajah yang agak panik. "Pak Ethan sedang rapat. Apa Anda mau saya antar ke ruang tunggu?" "Nggak usah, aku akan menunggu di kantornya saja." Namun, ketika aku membuka pintu kantor Ethan, aku melihat sosok cantik yang tadi terpampang di layar LED. Ternyata, Avery memang ada di sini! "Ka ... kamu ... " Avery menatapku dengan raut wajah penuh keterkejutan. Sepertinya wanita itu langsung datang ke sini setelah menyelesaikan jadwal pekerjaannya. Wajahnya masih penuh dengan riasan, sementara gaun elegan buatan desainer kelas atas yang dia kenakan terlihat menonjolkan tubuhnya dengan sempurna. Aku pun melihat sekitar untuk mencari Ethan, tetapi pria itu tidak ada di sana. "Kamu Emily, 'kan?" Avery akhirnya mengenaliku. Dia tersenyum ramah dan bertingkah bak tuan rumah saat berkata, "Kamu cari Ethan, 'kan? Dia sedang rapat." Aku mengabaikannya dan menoleh ke arah Ben yang berdiri di dekat pintu. "Kapan Ethan selesai rapat?" Ben tampak sangat terkejut melihat ketenanganku, tetapi dia tetap menjawab, "Sekitar jam 10. Jadi masih sekitar setengah jam lagi." Aku mengangguk dan langsung berjalan ke meja kerja Ethan. "Kalau begitu, aku akan menunggunya di sini." Avery sepertinya terkejut saat melihat sikap acuh tak acuhku. Namun, dia tetap duduk di sofa dengan kaki disilangkan sambil bermain gim dengan santai. Setelah beberapa saat, pintu kantor terbuka dan Ethan yang baru saja menyelesaikan rapat pun masuk. Dia memakai setelan abu-abu yang dibuat khusus untuknya, sehingga membuatnya terlihat gagah dan tampan. Namun, begitu melihatku, alisnya sedikit mengernyit. "Kenapa kamu datang ke sini?" Aku berusaha untuk tetap tenang agar tidak kehilangan muka di depan Avery. Kemudian, aku pun berjalan ke arah Ethan dan menggandeng lengannya dengan mesra. "Aku rindu padamu, makanya aku datang ke sini." Ethan melirik tanganku, tetapi tidak berkomentar apa-apa. Aku pun tanpa sadar melirik ke arah Avery dan melihatnya sedang menatap tangan kami dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Aku segera membuang muka, menarik napas dalam-dalam, dan kembali tersenyum. Aku ingin menunjukkan pada wanita itu bahwa Ethan adalah milikku dan aku juga ingin memberitahunya kabar gembira tentang kehamilanku. "Sayang, aku ... " Namun, sebelum aku sempat mengatakan bahwa aku hamil, Avery tiba-tiba terkejut dan menjatuhkan gelas yang ada di genggamannya. "Maaf, aku nggak sengaja ... " ujar Avery sambil membungkuk untuk mengambil pecahan kaca yang ada di lantai. Ketika melihat tindakan Avery, ekspresi Ethan langsung berubah. Dia segera melepaskan tanganku dan berkata, "Nggak usah dibersihkan!" "Aww ... " Tiba-tiba, Avery yang sedang memungut pecahan kaca menjerit kesakitan karena jarinya tergores dan berdarah. "Sudah kubilang nggak usah dibersihkan!" Ethan menegur Avery, tetapi dia juga langsung mengulurkan tangan untuk membantu wanita itu. "Kenapa kamu ceroboh sekali sampai gelasnya pecah seperti ini?" "Huh! Kenapa kamu marah padaku?" tanya Avery sambil tersenyum. "Aku sudah bilang kalau aku nggak sengaja." Sementara itu, tanganku masih terangkat di udara dan kehangatan bekas genggaman tangan Ethan pun masih terasa. Namun, sekarang pria itu malah memegang tangan wanita lain! Aku terdiam saat menyaksikan mereka berdua bersikap seolah-olah tidak ada orang lain di sana. Rasanya aku hanya menjadi pengganggu di sini. Selama sepuluh tahun, cintaku pada Ethan selalu bertepuk sebelah tangan. Setelah dua tahun menikah dengannya, aku berpikir bahwa pria itu adalah sosok yang dingin dan cuek. Namun, aku berpikir bahwa sekeras apa pun hatinya, pasti akan ada waktu di mana hatinya akan melunak. Ironisnya, aku tidak pernah menyangka bahwa dia bisa terlihat begitu khawatir dan cemas seperti sekarang. Ternyata, sikapnya pada orang yang dicintainya terlihat sangat berbeda. "Sayang, apa kita harus bawa Nona Avery ke rumah sakit? Kalau kelamaan, lukanya bisa infeksi," ujarku dengan nada sarkasme yang cukup kentara. Ethan sepertinya sadar bahwa tindakannya barusan agak berlebihan. Dia pun mengerutkan kening sambil melirikku sebelum akhirnya melepaskan tangan Avery. "Kamu sudah sebesar ini, tapi masih saja ceroboh ... " Avery terkekeh dan meliriknya dengan sinis. "Kenapa sih kamu selalu heboh setiap kali aku terluka? Lihat, Emily bahkan sampai cemburu ... " Saat mengucapkan kata-kata tersebut, Avery berjalan ke arahku sambil tersenyum ceria, tetapi ada sedikit kesan kekanak-kanakan. "Emily, jangan salahkan Ethan. Sejak kecil dia memang selalu khawatir kalau terjadi apa-apa padaku. Kamu sudah menikah dengannya cukup lama, jadi kamu pasti tahu kalau dia suka lebai ... " Aku berusaha tersenyum, tetapi sebenarnya hatiku terasa sangat sakit. Rasanya seperti ada lubang besar di dalam hatiku yang terus menerus terasa dingin dan kosong. Aku tidak tahu! Ethan yang aku kenal tidak pernah bersikap seperti itu. Saat melihat perhatian Ethan pada Avery tadi, hatiku terasa sakit sekali! "Oke, aku punya acara lain, jadi aku akan pergi dulu. Aku nggak mau mengganggu kemesraan kalian," kata Avery sambil mengambil tasnya dan keluar tanpa menoleh lagi. Ben yang menjaga pintu pun langsung mengantarnya keluar dan menutup pintu kantor. Saat ini, hanya tinggal kami berdua yang ada di dalam di ruangan. Namun, ruangan luas itu terasa sempit bagiku. Dadaku terasa sesak dan perutku terasa mual. "Kenapa? Apa kamu cemburu?" Pada saat itu, Ethan tiba-tiba mendekat. Aku pun tanpa sadar langsung menoleh dan mencium aroma parfum samar-samar dari tubuhnya. Seketika itu juga, perutku langsung mual dan aku bergegas lari ke kamar mandi untuk muntah. "Emily ... " Ethan menatapku dengan bingung. "Apa ... apa kamu hamil?"
Bab Sebelumnya
1/100Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.