Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Pelabuhan TerakhirPelabuhan Terakhir
Oleh: Webfic

Bab 19

Berjalan di koridor yang berbelok-belok membuat Shania merasa ketakutan, dia terus menoleh ke belakang. Hotel ini sangat sepi. Sepanjang jalan, dia tidak bertemu dengan satu orang pun. Sepi ... Membuat orang menjadi ketakutan. Setelah berjalan cukup jauh dan memastikan tidak ada yang mengikutinya, barulah dia sedikit merasa lega. Shania mengira dirinya yang terlalu berpikiran buruk. Jika Wina memang ingin melakukan hal licik, dia sudah melakukannya sejak dulu, tidak perlu menunggu sampai momen Shania akan bercerai dengan putranya. Wina pasti sedih dengan jumlah kompensasi yang harus dia bayarkan, tetapi Shania tahu bahwa nominal itu kecil bagi Keluarga Senjaya. Wina tidak mungkin melakukan tindakan bodoh. Shania terus berjalan ke depan. Tinggal sedikit lagi, dia sampai di lobi. Shania mengeluarkan ponsel dan melihat jam. Pukul 19.40. Tidak ada salahnya menghubungi Pak Leo. Shania mengirimkan pesan, [Aku sudah sampai di ... ] Sebelum selesai mengetik pesan, tepatnya di tikungan, ada seorang pelayan wanita yang mengenakan seragam hitam tiba-tiba muncul dan menabraknya. Pelayan itu langsung berkata, "Maaf, maafkan saya." Sambil meminta maaf, pelayan itu memapah Shania. "Nggak apa-apa. Aku baik-baik saja, nggak perlu ... " Shania belum selesai bicara, dia merasakan rasa sakit di bagian leher, jantungnya berdebar kencang. Shania mendorong pelayan itu, tetapi pandangannya mulai kabur. Pelayan itu tersenyum aneh ke arah Shania. Pelayan itu memapah Shania lebih erat sambil berkata, "Nona, kamu baik-baik saja? Kamu tinggal di kamar apa? Oh, kamu tinggal di kamar itu, baiklah, aku antar ke sana, ya." Setelah bertanya jawab sendiri, pelayan itu membawa paksa Shania ke koridor yang lebih sepi. "Tolong ... " Shania merasa panik. Tubuh Shania lemas tidak berdaya, bahkan dia tidak punya tenaga untuk berteriak. Shania dibawa makin jauh, jiwanya seolah terjatuh ke dalam lubang yang sangat dalam ... Siapa yang bisa menyelamatkannya ... Saat kejadian tabrakan, Shania memasukkan ponselnya ke saku dengan cepat. Pesan yang belum terkirim masih tersimpan di ponselnya. Dengan sisa tenaga yang dia miliki, dia berusaha memasukkan tangannya ke dalam saku. Tanpa melihat, Shania mengetik pelan-pelan dan mengirimkan pesan itu. ... Di sisi lain. Setelah selesai bertemu dengan klien, Xander duduk dengan mata terpejam di halaman hotel. Dia minum anggur dan agak mabuk. Embusan angin malam mengangkat rambut Xander, lalu jatuh kembali di alisnya yang tegas. "Ting, Ting!" Di tengah suasana hening, terdengar suara notifikasi pesan masuk. Leo yang berdiri di samping mengeluarkan ponselnya untuk melihat. Saat ini, dia memang sedang menunggu pesan dari Shania. Ketika melihat pengirim pesannya adalah Shania, Leo tersenyum. Namun, setelah membaca isi pesannya, alisnya berkerut. "Pak Xander." "Ada apa?" Xander menjawab dengan lembut, lalu membuka matanya. Leo membungkuk dan menyerahkan ponsel kepada Xander sambil berkata, "Saya sudah janji untuk bertemu dengan Nona Shania pukul 8 malam. Dia bilang sudah sampai di hotel, tapi... kata-kata terakhirnya terdengar aneh. Pak Xander, tolong Anda baca, mungkin Anda bisa mengerti maksudnya." Xander terdiam. Xander menatap Leo, menyalahkannya karena bertindak tanpa seizinnya. Setelah itu, Xander membaca pesan. [Aku sudah sampai. Tolo.] "Tolo?" pikir Xander. Alisnya sedikit berkerut, pria itu merenungkan sebentar, tiba-tiba dia menyadari sesuatu. Xander menekan tombol panggilan video. Leo terkejut. "Pak Xander, Anda ... " Xander memberi isyarat diam ke arah Leo. Leo terlihat kebingungan, sementara panggilan video tersambung. Dari layar ponsel, tampak suasana yang buram dengan warna oranye kelabu yang redup. Jika didengarkan dengan saksama, ada suara langkah kaki, suara sepatu yang terseret di lantai, dan napas yang terengah-engah. "Tolong ... Tolong ... " Suara yang dikeluarkan dengan segenap tenaga itu berubah menjadi suara "Uh". Shania dalam bahaya! Xander mematikan panggilan video, kemudian berkata dengan tegas, "Tolong tanyakan pihak hotel untuk memastikan apa benar Shania sudah sampai di Hotel Aria?" Leo langsung menghubungi pihak hotel, kemudian melaporkan, "Pihak resepsionis mengatakan sekitar pukul tujuh, ada seorang wanita cantik yang datang, katanya dia ada janji dengan seseorang dan menitipkan sebuah setelan jas. Berdasarkan penjelasannya, sepertinya itu adalah Nona Shania. Setelah itu, Nona Shania menghilang ... " Xander berdiri. Xander mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Dengan tenang dan ekspresi dingin, dia pergi ke suatu arah dengan langkah cepat. Di dalam kamar. Cahaya redup. Shania dilempar ke atas kasur. Di sekelilingnya, berdiri beberapa pria yang hanya mengenakan handuk. Para pria itu memiliki tatapan cabul dan ekspresi yang menjijikkan. Di ujung tempat tidur terdapat berbagai "mainan" yang menakutkan, termasuk jarum suntik yang berisi narkoba. "Ja ... Jangan ... " Shania merasakan ketakutan yang luar biasa sampai tubuhnya gemetar. Setelah bangun dengan menyanggah satu lengan, tubuhnya terjatuh lagi. Melihat para pria itu mendekat, dia hanya bisa menatap dengan putus asa, mencoba mundur walaupun kakinya sudah lemas. "Wanita ini cantik sekali." "Wajahnya, tubuhnya, benar-benar indah." "Suaminya kejam sekali. Dia membayar kita untuk memerkosa istrinya sendiri. Tega sekali dia membuang istri secantik ini!" Wanita yang menyamar sebagai pelayan hotel itu mengambil surat perjanjian dari tas Shania, lalu menaruhnya di tepi tempat tidur. Wanita itu meraih tangan Shania dan memaksa Shania tanda tangan surat itu sambil berkata, "Karena suaminya nggak mau wanita ini mendapatkan uang setelah perceraian. Suaminya nggak hanya ingin istrinya diperkosa, tapi juga menyuruhku untuk merekamnya." ... Shania terkejut sekali. Shania berpikir, "Apa benar ... Jevan yang melakukannya?" "Nggak, nggak mungkin!" Shania tidak percaya. Shania terus-menerus meraba ponselnya, beberapa kali terjatuh karena tidak bisa dipegang, dia merangkak dengan susah payah untuk mengambil ponselnya, lalu menghubungi Jevan. Shania ingin tanya sendiri kepada Jevan ... Ketika Shania mengambil ponsel, ada seseorang yang ingin merebut ponselnya. Namun, wanita yang mengambil surat perjanjian itu menghentikannya dan berkata, "Biarkan dia telepon." Telepon terhubung, tetapi Jevan menutup telepon. Shania menghubungi kedua kalinya, Jevan menutup teleponnya lagi. Saat menghubungi ketiga kalinya, telepon tersambung, tetapi yang terdengar bukan suara Jevan, melainkan suara Qiara. "Kak Jevan nggak mau angkat teleponmu." Sambil tersenyum, Qiara berkata, "Omong-omong, apa kamu suka dengan pria kekar yang kami berikan? Kuberi tahu sebuah rahasia, mereka nggak hanya punya gaya seks yang menyimpang, tapi salah satu dari mereka mengidap penyakit HIV." "Nanti aku berikan suntikan perangsang lagi." "Video tindakan asusilamu ini akan diunggah di internet besok. Pada saat itu, orang tuamu, semua sahabatmu, dan semua orang tahu bahwa kamu adalah wanita murahan." "Oh, satu lagi, aku dan Kak Jevan akan mengumumkan pertunangan kami di acara perjamuan besok malam. Selain nggak dapat uang, kamu juga akan diolok-olok. Percuma juga lapor ke kantor polisi di Kota Awani. Di Kota Awani, keluarga kami bisa menyingkirkanmu dengan mudah, kamu nggak bisa melawan kami." "Bagaimana rasanya? Aku sudah merebut pacarmu, pekerjaanmu, bahkan memberimu obat perangsang untuk merusak reputasimu. Bagaimana nasibmu ke depannya? Padahal aku akan hidup bahagia dan bersama Kak Jevan sampai tua." "Sementara kamu, akan hidup menderita dan mati perlahan, hahaha ... " Qiara tertawa dengan angkuh. Ponsel Shania jatuh. Amarah dan kebencian yang membara seperti api yang membakar seluruh tubuhnya. Namun, Shania tidak merasa sakit, dia juga tidak mau menangis, dia hanya ingin bangkit. Meskipun harus mati dan menjadi hantu, dia tetap akan membunuh mereka! "Ayo, mulai serang dia. Bermainlah sampai puas, jangan kasih ampun." Seorang wanita berdiri di ujung tempat tidur sambil merekam dengan kamera. Delapan pria aneh itu mulai mengelilingi Shania. "Pergi ... kalian ... " Dengan diliputi rasa putus asa, Shania meraih bantal, tetapi dia tidak punya kekuatan mengangkat dan melempar bantal itu. Kedua tangannya diikat di atas kepala, kakinya juga ditahan. Kemudian, para pria itu mulai merobek pakaian Shania. Seorang pria gemuk dan jelek merangkak ke atas tempat tidur, memegang jarum suntik dengan ekspresi penuh semangat dan menyeramkan. Saat pria itu mengangkat jarum suntik dan bersiap untuk menusuk paha Shania, Shania memejamkan mata sambil menggigit lidahnya sendiri dengan sekuat tenaga ... Di pintu. Terdengar suara pintu dibuka.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.