Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Pelabuhan TerakhirPelabuhan Terakhir
Oleh: Webfic

Bab 18

Karena Shania tidak mengatakan apa-apa, Wina berdeham. "Kalau kamu nggak datang pukul tujuh malam, aku memberimu kompensasi dua triliun sesuai kesepakatan awal." Setelah berkata demikian, Wina langsung menutup telepon. Shania menurunkan ponsel dari samping telinganya, kemudian menatap layar sambil berpikir. Shania teringat dengan pesan Siska sebelumnya ... Apakah mertuanya benar-benar akan membuat masalah dengannya dalam dua hari terakhir ini? Hubungan Wina dan Shania tidak pernah akur. Sejak awal bertemu, Wina merendahkan latar belakang Shania. Saat masih berpacaran dengan Jevan, Wina selalu mengganggu hubungan mereka, bahkan selama empat tahun menikah dengan Jevan, Wina melarang Shania tinggal di rumah Keluarga Senjaya. Setiap ada perayaan atau ada acara makan bersama, Wina selalu menyindir Shania dengan kata-kata pedas dan menyakitkan. Di luar itu, Wina tidak pernah melakukan hal lainnya. Tujuan Wina mengajaknya pergi kali ini mungkin lebih untuk memberi peringatan, memastikan Shania tidak berubah pikiran, dan menyelesaikan perjanjian kompensasi. Awalnya, Shania masih ragu untuk pergi. Namun, satu jam kemudian, Leo mengirimkan pesan lagi. [Nona Shania, apa Anda bisa datang mengantar jas?] " ... " Shania mengatupkan bibir. Shania berpikir, "Kenapa pertanyaan ini masih ditanyakan?" Kalau bukan karena tidak sopan, Shania akan menitipkan jas kepada manajer properti dan menyuruh manajer tersebut yang menyerahkan jas kepada Xander. Lagi pula, pria itu tinggal satu gedung dengan Shania. Setelah dipikir-pikir, tidak membalas pesan juga bukan keputusan tepat. Tidak ada untungnya menyinggung Xander. "Bagaimana kalau memberikan jas sekaligus bertemu dengan Wina?" pikir Shania. Setelah membuat keputusan, Shania mengirim pesan kepada Leo. [Baik, jam berapa kita ketemuan?] Leo segera membalas pesan. [Pukul 8.] ... Shania memakai riasan tipis, lalu ganti baju. Setelah itu, dia pergi ke rumah orang tuanya dulu. Beberapa hari yang lalu, Jevan memblokir jalannya di pintu masuk kompleks perumahan, yang membuat Shania sadar bahwa pria itu mengawasinya. Dalam beberapa hari ini, Shania juga melihat mobil mencurigakan di luar rumah, yang makin menguatkan bahwa dia diawasi. Dia baru saja berangkat, Jevan menghubunginya, "Sedang tidur siang?" "Heh, dia berusaha menjebakku lagi," cibir Shania dalam hati. Shania menjawab sambil mendengus, "Aku sedang menyetir, hari ini aku mau pergi ke rumah orang tuaku." "Pergi mengantar jas?" "Ya." Shania melirik jas yang diletakkan di kursi depan. Setelah Jevan memastikan Shania tidak berbohong, dia menutup telepon. Namun, pada saat yang sama, dia juga menyuruh mata-matanya untuk terus mengikuti dan memantau rumah mertuanya. Shania tiba di rumah orang tuanya. Kedua orang tua Shania merupakan profesor di sebuah universitas, sekarang mereka sudah pensiun dan tinggal di rumah. Ketika Shania datang, kebetulan ayahnya sedang tidak ada di rumah. Sementara ibunya, Karen Burhan, terkejut melihat kedatangan putrinya dan bertanya, "Kamu nggak kerja hari ini?" "Aku cuti karena lagi batuk," jawab Shania sambil memegang tenggorokan dan pura-pura batuk. "Lihatlah, kamu kurang memperhatikan kesehatanmu sendiri, wajahmu sampai tirus begini. Apa Jevan membuatmu menderita?" tanya Karen sambil mengelus wajah putrinya. Koneksi antara ibu dan anak memang tidak bisa dibohongi. Meskipun Shania berusaha menutupi dari ibunya, ibunya tetap bisa merasakan. "Kalau dia jahat, aku akan menceraikannya," kata Shania dengan nada bercanda. Saat mendengar kata-kata putrinya, Karen tidak berkomentar apa-apa. Shania mengalihkan topik pembicaraan dan mulai membicarakan hal lain dengan ibunya. Tentang perceraian, dia berencana memberi tahu mereka setelah semuanya selesai agar mereka tidak merasa sedih. Setelah makan malam di rumah orang tuanya, Shania ganti pakaian dan keluar. Dia memberi tahu orang tuanya bahwa dia mau bertemu dengan teman. Setelah bertemu teman, dia berencana menginap di rumah orang tuanya. Di dalam lift, Shania memakai masker dan topi, kemudian meninggalkan kompleks perumahan orang tuanya yang sedang diawasi mata-mata. ... Sebelum pukul tujuh, Shania sudah tiba di Hotel Aria. Eksterior hotel bergaya klasik, sedangkan interiornya sederhana, tetapi tetap terlihat elegan dan mewah. Shania menitipkan jas di meja resepsionis. Kemudian, Shania menghubungi Wina untuk memberi kabar bahwa dia sudah sampai di Hotel Aria. Tidak lama kemudian, ada seseorang yang menjemputnya. Shania mengikuti orang itu melewati beberapa belokan, dan akhirnya sampai di depan sebuah ruangan. Orang itu membuka pintu dan mempersilakan Shania masuk. Shania masuk ke dalam. Di dalam ruangan itu, ada sebuah ruang teh, dinyalakan dupa, seluruh ruangan dipenuhi dengan aroma teh dan bunga melati yang saling berpadu. Wina mengenakan gaun batik berbahan sutra dengan warna gradasi hijau tua. Dia duduk anggun di dalam ruangan itu. "Duduklah," kata Wina sambil mengangkat wajahnya. "Katanya, mau tanda tangan surat perjanjian kompensasi? Di mana suratnya?" Shania tidak mau berpura-pura dan langsung membahas pokok permasalahan. "Jangan buru-buru. Mari kita minum teh dulu." Shania mengangkat alis dengan curiga. Shania melirik ke arah cangkir teh di depannya. Sambil mengangkat cangkir itu, Shania mengamati dengan saksama. "Kamu nggak berencana meracuniku, 'kan?" Wina menyindir, "Kalau takut ada racun di dalam minuman itu, jangan diminum." Shania menaruh cangkir dan mendorongnya agak jauh. "Memang sebaiknya nggak kuminum." " ... " Wina tertawa canggung karena tidak tahu harus berkata apa. Sekali lagi, Wina mengejek, "Dasar miskin ... " "Cukup. Nggak bosan terus mengucapkan kata-kata yang sama berulang kali? Lebih baik selesaikan urusan penting kita, jangan mengatakan sesuatu yang nggak berguna," ucap Shania menyela ucapan Wina tanpa sungkan. Wajah Wina terlihat geram. Wina mengeluarkan surat perjanjian, kemudian menaruh di depan Shania sambil berkata, "Tanda tangan." Shania mengambil surat perjanjian itu, kemudian membacanya halaman per halaman. Ini hanya soal uang kompensasi, satu halaman sudah cukup, tetapi dibuat sampai sepuluh halaman lebih, isinya cuma omong kosong. Mungkin dia takut Shania memeriksa isinya dengan teliti. Setelah selesai membaca semua isinya, Shania meletakkan surat itu dengan sikap tenang, kemudian berkata, "Surat perjanjian ini akan diperiksa pengacaraku dulu. Besok siang baru kuserahkan padamu, bagaimana menurutmu?" "Kalau ada poin yang kamu nggak setuju, katakan langsung, akan kuperbaiki sekarang." "Aku boleh mengubahnya? Bagaimana kalau aku juga menyusun ulang surat perjanjiannya?" "Nggak boleh. Harus sesuai persyaratanku," ucap Wina dengan ekspresi dingin. Shania bersandar di belakang sambil berkata, "Bukankah barusan kamu bilang mau memperbaikinya kalau ada yang nggak kusetujui? Kenapa sekarang bilang harus sesuai persyaratanmu? Apa maksudnya?" Wina berkata, "Maksudku adalah kamu harus tanda tangan surat perjanjian ini hari ini juga." Shania tidak marah. Shania pura-pura berpikir sejenak, "Kalau begitu, aku keluar sebentar untuk menghubungi pengacara. Kalau pengacaraku memastikan nggak ada masalah, aku langsung tanda tangan." Shania berdiri, lalu keluar sambil membawa surat perjanjian itu. Setelah keluar, dia langsung pergi dengan cepat tanpa menoleh ke belakang. Shania merasakan firasat buruk. Saat membaca pasal-pasal yang dalam sepuluh halaman lebih itu, Shania merasa panik. Salah satu contoh pasalnya adalah, [Kalau terlibat perselingkuhan dengan lawan jenis lain sebelum perceraian, maka perjanjian ini akan otomatis batal.] Sekilas tampak biasa saja, tetapi jika dipikir lebih dalam, sangat menakutkan ... Meskipun Shania tidak berselingkuh, bisa saja dia dijebak. Dia terlalu meremehkan Wina. Di dalam ruang teh. Wina mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang, katanya, "Dia sudah keluar dan membawa surat perjanjian itu. Qiara, apa benar kamu bisa bantu Tante agar nggak perlu mengeluarkan uang kompensasi?" "Tante, tenang saja. Aku sudah mengatur semuanya. Aku jamin Keluarga Senjaya nggak akan rugi sedikit pun, dia juga nggak akan berani memerasmu lagi." "Bagus! Qiara, kamu hebat. Selanjutnya, Tante serahkan padamu." "Nggak masalah, Tante, serahkan padaku." Mereka berdua mengakhiri pembicaraan di telepon. Wina meneguk teh dengan perasaan lega. Wina merasa senang saat membayangkan dia bisa dengan percaya diri mengumumkan berita pernikahan antara Jevan dan Qiara di acara amal yang dia selenggarakan besok malam tanpa mengkhawatirkan hal lain. Wina berpikir, "Mengenai nasib Shania, si gadis menyebalkan itu ... Huh! Meskipun aku nggak tahu trik apa yang akan digunakan Qiara, Shania memang pantas dapat pelajaran!" Sementara itu, Qiara masih menggenggam ponselnya dengan tatapan penuh kebencian. Qiara berkata dalam hati, "Shania, tamatlah riwayatmu malam ini!"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.