Bab 14
"Kak Jevan, kamu sedang melihat apa?"
Saat melihat Jevan melamun, Qiara menarik bajunya.
Pandangan Jevan terhalang oleh pohon-pohon di tepi jalan, tidak bisa melihat situasi di sana dengan jelas. Akhirnya, Jevan mengalihkan pandangan ke tempat lain sambil berkata, "Nggak ada."
Jevan melihat jalan di depan, pikirannya dipenuhi kebingungan.
Shania masih mengikuti Xander.
Xander terlihat sedang berdiri di samping pohon sambil menelepon, sedangkan wanita di belakang masih mengikutinya. Xander menoleh dan melihatnya.
Saat melihat Xander sedang telepon, Shania menghentikan langkahnya dan mundur ke sebuah paviliun berbentuk jamur di belakang.
Shania mengusap dahi, dia terlihat seperti orang bodoh.
Setelah Xander selesai telepon, Shania mendekatinya lagi. Dengan nada bercanda, Shania berkata, "Pak Xander memang benar. Saya nggak bisa membaca situasi, saya memang nggak cocok jadi sekretaris. Maaf mengganggu Anda."
"Kamu mengejarku ke sini hanya untuk membuktikan kamu nggak cocok? Kenapa kamu berkata seperti itu kepadaku?"
" ... "
Shania tidak bisa menjawabnya.
Shania tertawa canggung, lagi pula sudah tidak ada harapan untuk mendapatkan pekerjaan, jadi dia tidak berpura-pura lagi dan berkata, "Saya mengikuti Anda ke sini untuk mendapatkan kesempatan direkrut sebagai sekretaris Anda, tapi kesan pertama yang saya berikan saat kita pertama kali bertemu kurang baik. Ditambah lagi, hari ini saya banyak melakukan kesalahan, jadi memang nggak cocok untuk menjadi sekretaris Anda. Saya hanya ingin memberi penjelasan dan nggak ingin membuat Anda marah."
Xander menjawab dengan tatapan dingin, "Kamu pikir, itu alasan aku menolakmu?"
Shania bertanya, "Lalu?"
"Kamu datang melamar pekerjaan sebagai sekretarisku dengan penampilan seperti itu. Kalau aku menerimamu, aku akan dikira hanya mencari sekretaris yang cantik." Sambil berbicara, Xander membungkuk dan berkata dengan suara pelan, "Meskipun aku tertarik dengan wanita cantik, aku nggak mau menunjukkannya secara terang-terangan."
" ... "
Wajah Shania langsung merona merah.
Dari pipi hingga telinga, semuanya merona merah.
Xander sedang menyindirnya dan memperingatkan Shania untuk tidak mengandalkan kecantikan demi mendapatkan jabatan.
Shania tidak membela diri, dia juga malu berada di sini berlama-lama, jadi dia buru-buru berpamitan. "Saya mengerti, saya pergi dulu."
Tanpa menunggu jawaban Xander, Shania bergegas keluar dari hutan.
Wulan dan Aldo kembali dan merasa heran ketika melihat Xander hanya seorang diri.
"Di mana Shania?"
"Dia sudah pulang duluan."
"Hah?" Wulan terkejut. Dia yakin pasti Shania gagal melamar kerja, tapi apa alasannya? Jelas-jelas tadi dia sangat bahagia. Akhirnya, Wulan bertanya, "Pak Xander, Shania adalah orang yang berbakat ... "
Xander menyela, "Sepertinya, dia nggak kelihatan seperti itu."
Wulan adalah wanita cerdas, dia langsung mengetahui inti permasalahan.
Wulan banyak bertemu dengan pria genit, dia pun mengira Xander juga tipe pria seperti itu, ternyata dugaannya salah.
"Aduh, kamu salah paham." Wulan segera membela sahabatnya, "Ini semua salahku. Awalnya, pakaian Shania nggak seseksi itu, aku yang menyuruhnya memakai pakaian seksi ... jadi aku meminjamkan pakaianku kepadanya."
" ... "
Xander terdiam.
Shania pulang ke rumah dan langsung mengganti pakaiannya.
Dia duduk di meja rias dengan putus asa.
Dia sudah berhenti dari Grup Mahesa, dia sudah bercerai dengan Jevan, apakah sekarang dia bukan siapa-siapa?
Setelah menenangkan diri, Shania mengeluarkan ponselnya untuk meminta maaf kepada Wulan. Agar tidak mengganggu saat melamar pekerjaan, dia mengatur ponselnya ke mode senyap.
Saat mode senyap dimatikan, ada beberapa notifikasi panggilan tidak terjawab masuk.
Ada panggilan tidak terjawab dari Jevan.
Ada panggilan tidak terjawab dari Wulan.
Shania tidak memedulikan Jevan dan langsung menghubungi Wulan. "Maafkan aku. Aku sedang nggak enak badan, rasanya tekanan darahku turun, jadi aku pulang duluan. Maaf, tadi aku pulang tanpa pamit."
Wulan terdiam sejenak, kemudian berkata, "Justru aku yang harus meminta maaf padamu."
Orang pintar tidak perlu banyak bicara.
"Nggak apa-apa, aku juga hanya asal mencoba. Kamu sudah membantuku banyak, aku pasti balas kebaikanmu."
"Nggak perlu, buat apa membalas kebaikanku. Kuberi tahu, aku sudah menjelaskan kepada Pak Xander tentang pakaianmu, tapi dia nggak berkomentar apa-apa. Aku sudah meminta nomor telepon Pak Xander dari Pak Aldo, apa kamu mau mencoba lagi?"
Setelah berpikir sejenak, Shania tetap menolak, "Sudahlah, sepertinya aku belum berjodoh dengan Grup Junakara."
Wulan juga tidak memaksanya.
Setelah menutup telepon, Shania pergi tidur. Ketika suasana hatinya sedang buruk, tubuhnya terasa lelah.
Dalam kondisi linglung, dia mendengar seseorang membuka pintu kamarnya.
"Hm ... " Shania berbalik. Dia melihat Jevan berdiri di samping tempat tidur dengan ekspresi dingin.
Shania malas berbicara dengannya, jadi Shania berbalik dan bersembunyi dalam selimut.
"Kamu tidur seharian di rumah? Nggak keluar rumah sama sekali?" Jevan duduk di samping tempat tidur sambil menginterogasinya.
Shania tidak menjawab.
"Hari ini, aku melihat ada seorang wanita yang mirip denganmu di lapangan golf."
" ... "
Shania tiba-tiba membuka matanya.
"Jevan juga ada di lapangan golf?" pikir Shania.
Lucunya, Jevan sekarang seperti memberi Shania informasi bahwa dia pergi ke lapangan golf bersama Qiara. Namun, Jevan masih berani menanyakan keberadaan Shania hari ini.
Shania ingin menjawab jujur. Namun, dia memilih diam karena tidak mau melibatkan Wulan dalam masalah ini.
Jevan mengangkat selimut dan memperhatikan leher Shania yang putih. Setelah memastikan tidak ada tanda-tanda mencurigakan, ekspresinya melembut.
Namun, Jevan masih khawatir. Dia harus mendengar dari mulut Shania sendiri. "Hari ini, kamu di rumah seharian?"
"Ya, di rumah. Aku seharian membersihkan halaman. Aku mau tidur, jangan ganggu aku." Shania muak dekat-dekat dengan Jevan, jadi dia menutup kepalanya dengan selimut.
Jevan merasa Shania tidak bohong, jadi dia membiarkan Shania tidur.
Malam harinya.
Xander sedang makan malam di apartemen lantai atas.
Leo sedang berdiri di samping, menuangkan anggur merah yang baru dibuka ke dalam gelas. Dia adalah pelayan yang mengurus kehidupan pribadi Xander, seperti menjadi sopir, koki, bahkan pengasuh. Terkadang, dia juga bekerja sama dengan Jeffry untuk menangani pekerjaan kantor.
"Apa sudah ada kabar dari biro tenaga kerja?" tanya Xander sambil menyesap anggur merah.
"Jeffry tadi mengirimkan beberapa kandidat, katanya menunggu Pak Xander memilihnya.
Leo menjawab. Di tengah pembicaraan, dia teringat sesuatu yang menarik. "Tadi saya sudah sempat melihatnya, Nona Shania juga termasuk salah satu kandidatnya."
"Oh."
Xander menaruh gelasnya. "Ambilkan tablet."
Leo sudah melayani Xander selama 20 tahun lebih. Meskipun nada suara Xander santai, dia tahu bahwa Xander tertarik mendengar nama Shania.
Leo pergi ke ruang kerja untuk mengambil tablet, lalu kembali dan memberikannya kepada Xander.
Xander membuka daftar kandidat.
Sebelumnya, telah banyak kandidat yang dia tolak.
Yang dia cari adalah seorang sekretaris utama yang mengerti manajemen, memiliki kemampuan pengendalian yang baik, berpenampilan menarik, memiliki kemampuan bersosialisasi yang kuat, dapat mewakilinya di berbagai departemen perusahaan dan mitra kerja, serta menangani berbagai urusan besar dan kecil.
"Pak Xander, meskipun Nona Shania masih muda, bakatnya sangat luar biasa. Selama empat tahun bekerja di Grup Mahesa, dia memulai kariernya sebagai staf di departemen proyek dan berhasil menjadi manajer departemen proyek. Berkat kontribusinya, Grup Mahesa menjadi perusahaan yang berkembang. Banyak orang yang iri dan ingin menjatuhkannya, tetapi tidak berhasil karena Presdir Grup Mahesa, Jevan Senjaya, adalah pacarnya. Namun, kabarnya Jevan akan menikah dengan putri keempat Keluarga Gustama. Karena marah, Nona Shania mengundurkan diri dari Grup Mahesa. Ah, naif sekali gadis itu ... "