Cinta dari Kekasih Liora
“Apa yang dipikirkan putriku sampai dia memilih mempermalukan diri sendiri dan keluarganya?!”
Suara frustrasi dan kemarahannya pada anak semata wayang, pergi tanpa tahu akan menimbulkan masalah besar yang akan semakin melebar. Ia harus mempertebal wajahnya ketika banyak wartawan mulai mengendus ada yang salah dan gosip murahan itu dengan cepat tersebar.
Liora Felice Zucca tidak kembali ke negaranya setelah pesta lajang itu berakhir. Bahkan, surat ini sudah menjadi bukti di saat ia telah cukup bersahabat dan menganggap keluarga baik pihak Keluarga Isaac.
“Sayang ... Felice akan pulang, kau tau putri kita sangat mencintai Ivander, bukan?”
“Ck! Apa kau tidak melihat jika putri kita kabur sebelum pesta pernikahannya?! Kau tidak melihat jika calon suaminya pun tampak kebingungan tidak tau di mana putri kita berada? Dia ingin mempermalukan keluarga kita dan keluarga calon suaminya!”
“Apa semua rasa sayang dan cintanya yang dia tunjukkan pada Ivander hanya kebohongan belaka?”
Tuan Zucca menatap tajam istrinya yang bungkam, menerbitkan raut bersedih dan mengenggam gemetar lengan suaminya yang berdiri dengan rahang mengetat. Pandangan Nyonya Zucca teralihkan pada Ivander Isaac; tunangan sekaligus calon suami Liora.
Ia terduduk lemah di ruang tengah, ikut merasa bingung tentang kepergian Liora yang bahkan terakhir kali mereka masih berkomunikasi dengan mesra.
‘Apa kau merindukanku sampai menghubungi setelah satu jam sebelumnya kita saling mengabari satu sama lain, Sayang?’
Ivander merasakan perih sekaligus rindu yang membumbung tinggi mengingat bagaimana suara itu masuk ke dalam indera pendengarannya. Pria berkewarganegaraan Amerika itu terlalu sulit jika menganggap Felice-nya kabur. Ia terus menepis jika cinta dan kasih sayang yang diberikan Liora padanya begitu tulus.
Bahkan, Ivander yang mencintai Liora membalas perlakuan manis itu dengan lebih mesra dan tidak ingin membuat kekasih hatinya merasa tertekan. Ia selalu membebaskan Liora untuk setiap hal yang ingin dilakukannya. Terlebih saat ternyata Liora memahami batasannya sebagai tunangan Ivander untuk tidak bermain api atau menerima pria lain di hidupnya setelah terikat pada dirinya.
Ia paham betul bagaimana kisah percintaannya bersama Liora hingga beberapa minggu lalu mereka masih bertemu.
‘Ya. Setiap kita tidak saling berhubungan melalui panggilan telepon atau video, ingatanku terarah pada malam yang panjang kita lalui. Aku selalu teringat akan kehangatan yang kau berikan di saat kita dalam satu unit apartemen yang sama.’
Suara tawa itu kembali menghadirkan getaran dalam tubuh Ivander. Ia tanpa sadar tersenyum tipis, selalu menyukai senyum dan tawa dari perempuan cantiknya.
‘Baiklah. Sepertinya kau sangat merindukan ranjang kita yang berderit, ya? Tenang saja. Setelah aku pulang dari Dubai, aku akan memuaskanmu kembali sampai di mana kita belum bisa bertemu dalam waktu dekat lagi karena harus berjarak sementara waktu, menunggu sampai pernikahan kita terlaksanakan.”
“Felice ... Kau di mana, Sayang? Apa seluruh ucapanmu hanya kesan manis yang ingin kau tinggalkan? Aku mencintaimu dan sangat tulus akan hubungan kita. Aku masih sulit percaya kau pergi dari rumah, meninggalkanku bersama orangtuamu. Aku tau kau pun menginginkan pernikahan kita,” gumamnya menunduk sedih.
Kedua jemari tangan pria bermanik coklat itu saling tertaut. Ia duduk lemah, sangat merindukan kekasih hatinya yang tidak bisa dihubungi sejak kemarin. Meskipun anak buahnya sudah lebih dulu ia turunkan untuk mencari Liora, tetap saja ia merasakan gusar karena belum mendapatkan kabar pasti tentang keberadaan calon istrinya.
“Dia sudah sangat mempermalukan kita,” cetus Tuan Zucca menatap istrinya.
Wanita itu menggeleng lemah, tampak sedih dengan kekacauan yang dilakukan putrinya. “Kau tau dia sangat menyayangi kita dan tidak pernah memalukan kita, bukan?”
“Lalu, apa kau tidak merasa jika semuanya telah terjadi sejak kemarin?” pertanyaan itu membuat Ivander mendongak, menatap keduanya dengan sendu.
Ia menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan sebelum pria dengan tinggi 185 senti itu ingin menengahi semuanya.
“Papa, sebaiknya kita mencari keberadaan Felice lebih cepat. Aku tidak tau apakah ini memang rencana Felice atau memang dia dalam tipu daya seseorang, tapi aku ingin bertemu langsung dengannya.”
“Nak ... Dia sengaja melakukannya. Jika tidak, seharusnya dia bisa pulang bersama teman-temannya sejak kemarin,” tandasnya menatap tidak suka pernyataan Ivander.
Pria itu mengangguk pelan. “Aku tau, Papa. Tapi setidaknya kita harus membicarakan hal ini secara langsung bersama Felice. Perihal dia memang secara sadar pergi dari rumah ini untuk meninggalkan pernikahan kami, aku akan berusaha menerima semuanya meskipun itu tidak akan pernah mudah.”
“Sedari awal aku sangat mencintai putri kalian. Aku tau mengenai perasaanku sendiri yang hari ini sangat terpuruk. Tapi sebelum aku bertemu dengannya dan mendengar langsung penolakannya, aku akan tetap mencarinya.”
Tuan dan Nyonya Zucca tertegun oleh pernyataan anak angkat sahabat mereka. Ivander Isaac adalah anak angkat dari Tuan Isaac, teman sekolah Tuan Zucca saat berada di sekolah menengah atas. Sekarang, anak itu menjadi bagian dari keluarga politik, lalu meneruskan perusahaan Ayahnya.
Ayah Liora tidak mempermasalahkan status masa lalu Ivander. Ia justru bangga ketika bisa mendapatkan calon suami untuk putrinya yang sangat bertanggungjawab dan sangat baik. Sayangnya, anaknya sudah mencampakan pria sebaik Ivander.
“Kau percaya pada putriku kan, Nak?”
Ivander merasakan telapak tangan lembut itu menangkup sisi wajahnya. Nyonya Zucca menatapnya dengan sorot sendu, memancarkan rasa percaya yang sama atas Liora.
Ia mengangguk pelan. “Aku akan selalu percaya pada Felice sampai aku bertemu langsung dan mendengar pernyataannya, Ma.”
“Aku sangat mencintai Felice, sekalipun dia akan menyakitiku.”
Tuan dan Nyonya Zucca merasa iba dengan kesetiaan dan cinta yang ditawarkan Ivander pada putri mereka. Dengan menarik napas dan mengembuskannya sedikit kasar, Tuan Zucca mengangguk, ikut menyetujui pilihan ini.
“Baiklah. Kita akan mencari keberadaan putriku dan mendengar langsung penolakannya atas pernikahan yang sudah di depan mata ini,” jelasnya dan setidaknya, Ivander bernapas lega saat lelaki itu mampu meredamkan amarahnya dan percaya jika masih ada hal yang bisa diselesaikan dengan kepala dingin.
**