Perasaan yang Terlihat
“Kenapa kau membawaku ke mari?”
Liora berjalan santai di samping Christopher saat pria itu membawanya berjalan ke lobi Harcourt Corp. Seluruh pegawai yang melewati keduanya memberikan hormat, termasuk menyapa Liora yang memang berjalan berdampingan dengan Christopher.
Pria itu menatap lurus kedepan, membiarkan asisten pribadinya mengikuti dari belakang. Pria yang satu tahun lebih tua dari mereka sudah menyambut kedatangan Atasannya yang baru tiba dengan sedan mewahnya.
“Kau ingin keluar dari Mansion, bukan? Jadi aku membawamu saja ke mari.”
Liora mendengkus sebal. “Jika kau perhatian padaku sebagai Adik sepupumu, seharusnya kau membiarkanku berjalan keliling kota di sini. Terlebih saat kau memberikanku uang lebih untuk berbelanja di sini.”
Perempuan itu masih mengingat jika mereka berjalan bertiga. Ia tidak mungkin melupakan status yang ditutupi oleh pria berengsek ini mengenai dirinya yang dianggap sebagai sepupu.
“Hari pertamamu di Roma, kau harus mengunjungi beberapa tempat yang selalu didatangi oleh suamimu ini.”
Deg!
Napas Liora tercekat dan tubuhnya menegang ketika mereka bertiga sudah masuk ke dalam lift. Ia menoleh kaku pada Christopher yang menatapnya dari samping, menerbitkan senyum miring ketika Liora terlalu sempurna menutupi statusnya tanpa ada keberanian ia mengungkapkannya pada siapa pun.
Seolah mengerti, Christopher hanya melirik sekilas Fazio—Asisten Pribadi—Christopher yang hanya diam, memberikan ruang bebas di antara mereka tanpa berusaha ikut campur.
“Kau terlalu berlebihan menutupi jika dirimu adalah istri keduaku, Sayang,” bisiknya dan saat itupula Liora menegang.
Christopher sudah merengkuh pinggangnya dari samping, menarik kuat hingga dada mereka bertabrakan. Sangat erat untuk mencecap lebih liar pagutan di antara mereka, tepat di hadapan Fazio.
Ia berusaha menarik diri, malu dan sangat marah dengan sikap Christopher yang secara tidak langsung sudah membuatnya menjadi pembohong di hadapan pria yang terlihat baik-baik itu. Pria itu bahkan sempat menyambutnya dengan senyum kecil dan menghormatinya.
Liora memaki Christopher dalam hatinya.
“Sekarang, kau tidak perlu menutupi hubungan kita dari asisten pribadiku. Dia cukup tau diri untuk menempati dirinya yang mengetahui hubungan kita,” bisik Christopher yang sangat diyakini Liora jika Fazio mendengar apa yang mereka bicarakan.
Napasnya tersengal, cukup menggebu pagutan yang sempat dilakukan pria berengsek itu. Ia menyeringai kecil, melepas rangkulan tersebut saat lift sudah membawa mereka ke lantai di mana ruang kerja Christopher berada.
Seorang sekretaris muda menyambut keduanya dengan hormat dan sedikit meminta izin berbicara pada Christopher. Liora tidak sanggup menoleh ke belakang dan melihat jika pria itu sudah tahu segalanya.
Jika saja perempuan itu tahu ataupun bersikap berani, Liora tidak akan memberikan kesan buruk dan berbohong pada orang baru di sekitarnya.
Kenapa dengan Gabriella, Christopher sangat memaksanya untuk merahasiakan semuanya?
Cih! Pria itu sangat mencintai istrinya yang sangat baik. Tapi terlalu buruk Gabriella mendapatkan pria berengsek seperti Christopher Harcourt.
Liora menghempaskan tubuhnya di sofa ruangan Christopher setelah pria itu mempersilakannya masuk. Ia mengamati keseluruhan ruangan yang cukup sederhana. Ia menyeringai kecil, melihat ada satu bingkai foto di atas meja kerjanya. Pasti foto pernikahan pria itu bersama Gabriella.
Perempuan itu membiarkan Christopher mulai berkutat dengan pekerjaannya yang tadi dirinya dengar sang sekretaris memberitahu ada email penting dari relasinya yang memberikan kabar.
Ia mengusap pelan jemari lentiknya di jendela kaca besar yang memperlihatkan keindahan Roma di pagi hari ini. Tanpa sadar kedua sudut bibir Liora tertarik. Ia sudah lama tidak ke mari, memutuskan untuk tinggal atau sekadar singgah di sini.
Terlalu sulit untuknya kembali yang hanya akan membawa rasa sesak di dalam hatinya. Sayangnya, orang yang sangat dibenci Liora adalah pria yang sebenarnya telah memaksa dirinya kembali. Pria itu menjadi orang satu-satunya yang membuat Liora meninggalkan kota dan terlebih negara ini.
“Apa kau lebih suka memandang keindahan kota penuh kenangan kita di bandingkan duduk di pangkuanku?”
Christopher menyeringai nakal saat manik hijau itu menatapnya tajam. “Aku bahkan tidak pernah lagi menginjakkan kakiku di sini setelah kau mencampakanku.”
Pria itu menarik sudut bibirnya, membiarkan ketukan heels itu kian terdengar dekat saat Liora membawa dirinya mendekati meja kerja Christopher. “Jadi, kau sangat membenciku?”
“Pertanyaan bodoh itu harus kujawab?” tanyanya balik, berdiri di sisi meja kerja Christopher dengan melipat kedua tangan di dadanya.
“Aku tidak tau kau ingin menjawabnya atau tidak. Tapi menurutku jika kau menjawabnya, maka kau hanya akan menggoreskan luka di dalam hatimu ketika mengingat hubungan manis di antara kita.”
Rahang Liora mengetat saat Christopher menyandarkan tubuhnya, memandang perempuan itu dengan senyum penuh artinya.
“Aku sudah tidak ingin mengingat hari itu. Tapi kau yang menyeretku ke mari, Tuan Harcourt,” desisnya menatap tajam Christopher yang masih duduk begitu santai.
“Karena aku ingin membahagiakanmu dengan apa yang aku punya,” balasnya dengan aura penuh kekuasaannya dan sikap angkuhnya yang kini terlihat lebih dominan.
Christopher-nya yang dulu hanyalah seseorang dengan sifat dingin dan sikap datar, tapi sangat menyayangi Liora dengan penuh cinta yang terkadang tidak ditunjukkan begitu gamblang oleh perempuan itu. Ia mengetatkan rahangnya, beranjak berbalik tapi tarikan itu sudah lebih dulu membuatnya nyaris memekik.
Perempuan itu jatuh tepat di atas pangkuan Christopher dan tidak mendapatkan kesempatan untuknya lepas dari rengkuhan pria itu.
“Apa kau masih mengingat jelas tentang kota ini? Setelah kau menempuh pendidikan lanjutan di Amerika?” bisiknya.
“Sekalipun aku mengingatnya, itu tidak akan pernah membuatku percaya tentang segala hal yang pernah terjadi di kota ini.”
Christopher tersenyum miring, mengusap salah satu tungkai Liora saat perempuan itu memakai gaun pendeknya, hingga memberikan Christopher tungkai atasnya yang sangat menggoda.
“Tapi di sini kita melakukan banyak hal. Kau akan terlalu sulit mengenyahkan kenangan manis di antara kita,” jelasnya memberikan kecupan seringan bulu di lengan Liora yang terekspos.
Perempuan itu memakai gaun tanpa lengan dan Christopher harus menahan hasratnya saat kedua bahu putih itu tertutup oleh gaunnya. Terlebih ketika hari ini Liora mengurai rambut panjangnya.
Liora tersenyum miring. “Kenangan itu sudah tertutupi oleh kehadiran sosok lainnya,” cetusnya membuat Christopher menaikkan sebelah alisnya.
“Gabriella?”
“Aku tidak perlu menjelaskan pada pria berengsek sepertimu,” balasnya membuat pria itu tertawa kecil.
“Kau sangat menggemaskan di balik sikap liarmu saat bercinta, Sayang.”
Liora tidak bisa menahan saat salah satu dadanya diremas penuh hasrat oleh Christopher. “Be-reng-sek,” cicitnya ketika ia terlalu cepat merespons segala sentuhan Christopher.
“Bagaimana jika kita bercinta di ruang kerjaku?”
“Kau bisa melakukannya bersama Gabriella. Dia istrimu,” tandasnya dengan tatapan tajamnya.
“Ck! Kenapa kau selalu membawa namanya di saat kita sedang berdua? Aku juga ingin memberikan sentuhan yang sama seperti yang aku lakukan pada istri pertamaku. Kau ingin aku bisa adil, kan?”
Rahang Liora mengetat dan merasakan cubitan di dalam hatinya. “Berhentilah menyebutku istrimu di saat kau bahkan tidak memedulikan status ini untuk diumbar. Kau memang pria berengsek yang sangat bodoh aku cintai di masa lalu,” desisnya memberontak untuk lepas dari rengkuhan Christopher.
Tapi sepertinya pria itu tidak memedulikannya.
“Mungkin kau tidak ingin mengakui sesuatu, Liora.”
Perempuan itu diam, tidak berkutik saat suara itu terdengar dingin dan sarat akan makna yang tersirat.
Ia bisa melihat saat pria itu melemparkan senyum penuh artinya. “Kau masih menyimpan perasaan padaku, bukan?”
Tubuhnya menegang.
“Tanpa perlu kau menjelaskannya. Di bandingkan pria bodoh itu, kau jauh memiliki banyak kenangan bersamaku dan dalam manik matamu, kau selalu bisa memberikan sorot yang sama.”
“Kau sangat jelas membiarkanku menatap manik yang selalu memandangku dengan penuh cinta.”
**