Aku Tidak Peduli
“Sebenarnya aku cukup menyesali perkenalan kita yang cukup terlambat ini.”
Liora menoleh, mengalihkan tatapannya dari api unggun yang menghangatkan cuaca dingin malam ini. Ia melihat senyum tulus dari Gabriella yang duduk di sampingnya. Keduanya sedang menghangatkan tubuh di area taman luas di belakang Mansion Christopher. Duduk di sofa nyaman dan ditemani langit malam yang begitu indah.
Makan malam kali ini tidak membuat Liora merasakan kebahagiaan. Ia hanya bisa merekam setiap perlakuan manis Christopher pada istrinya. Perempuan itu jelas saja membalas hal serupa. Liora harus menyaksikan di meja makan yang sama.
Napasnya terembus berat.
Detik selanjutnya ia memberikan senyuman manis pada Gabriella.
“Apa kau berharap kita bisa bertemu di awal?” tanya Liora dibalas anggukan dari Gabriella.
Liora tertawa kecil. “Aku terlalu sibuk dengan kuliah dan kehidupan pribadiku sendiri. Jadi, kurasa setiap pertemuan kita memang baru bisa dipertemukan sekarang.”
Ia bisa melihat jika Gabriella menganggap ucapannya sebagai hal yang lumrah. Perempuan itu mengangguk untuk menerima sebuah pernyataan bohong yang dibuat Liora.
“Oh, iya. Apa kau sudah lama menikah dengan Christopher?”
Perempuan bermanik biru itu mengedik pelan. “Tidak terlalu lama. Aku baru menikah sekitar tiga tahun bersamanya.”
Liora tersenyum pedih. Ia tahu hal ini benar dari bagaimana perempuan itu sudah bisa melihat seluruh informasi yang sangat mudah didapatkan dalam laman pencarian.
“Tapi hingga sekarang kami belum mendapatkan seorang keturunan.”
Perempuan berparas cantik itu bisa menangkap raut sedih yang diperlihatkan Gabriella. Manik birunya memandang Liora dalam senyum getir. “Aku bersama Chris belum bisa merasakan suara dari tangis bayi atau kebahagiaan yang terpancar dari kami yang berganti status sebagai orangtua.”
Liora bisa merasakan kepedihan bagi perempuan baik seperti Gabriella. Ia yakin perempuan itu sudah cukup lama menantikan hari baik yang bisa dirasakan oleh perempuan yang ingin memiliki anak tanpa menunda.
Embusan napas Gabriella terasa berat.
Di saat Liora akan memberikan bentuk rasa simpatinya, menenangkan Gabriella. Suara berat itu membuat keduanya menoleh. “Chris,” seru Gabriella mendapati suaminya sudah mendekat.
Ia berdiri, meraih sisi wajah Christopher dan Liora dengan refleks membuang pandangan. Gabriella dengan mesra memagut bibir tipis kemerahan milik Christopher.
Liora merasakan napas yang memburu dan mengingat perlakuan itu sebelum makan malam tiba. Dalam satu malam, kehidupannya berubah. Ia terseret dalam kehidupan pria itu dengan istrinya yang begitu sempurna.
“Kalian berdua sudah terlihat akrab.”
Gabriella tertawa kecil seraya melingkarkan tangannya di lengan Christopher. Keduanya memandang Liora yang memilih duduk santai. Ia ingin sekali bersandar dengan nyaman, tapi begitu hadirnya Christopher di antara ia dan Gabriella.
Liora akan dengan lebih mudah merasakan sakit hati yang akan digoreskan pria itu.
“Adik sepupumu sangat baik dan hanya percakapan singkat saja, aku merasa kita memiliki pemikiran yang sama. Kau terlalu lama membawa Liora ke mari, Sayang.”
Sial.
Perempuan itu kembali menatap lurus, berpura-pura mengambil jus yang ada di meja depannya hanya untuk mengalihkan pandangan dari bagaimana mesranya Gabriella dan Christopher berbagi pagutan.
Meskipun Gabriella yang terlihat agresif, Christopher dengan senang hati menyambutnya. “Kau tidak lupa jika kita sudah menambahkan anggota keluarga, bukan?”
“Maaf. Aku lupa, Chris,” balas Gabriella bersemu dan kembali menatap Liora.
“Sepertinya aku masuk lebih dulu. Kalian bisa menikmati kebersamaan ini,” ucap Liora beranjak, menatap keduanya dengan senyum kecil yang dipaksakan.
“Kau ingin segera tidur?”
Perempuan itu mengangguk. “Ya. Aku sudah cukup lelah hari ini.”
“Baiklah, Liora. Apa kau ingin aku temani ke dalam?”
“Tidak perlu.”
Liora menatap sekilas Christopher yang masih membiarkan Gabriella merangkul mesra lengannya. “Aku pamit masuk kamar. Selamat malam.”
Perempuan itu bergegas meninggalkan keduanya dan tidak peduli jika Christopher menatap hal aneh dari dirinya yang menjauh. Apa pria itu pikir Liora bisa menerima perlakuan buruk pria itu? Lebih baik Liora mencari cara kembali untuk kabur dari Mansion ini.
Ia tidak tahu jika Christopher yang telah beranjak dewasa adalah sosok pria berengsek. Ia mendengkus pelan, menutup pintu dan tidak lupa menguncinya.
Liora menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, menatap langit kamar dengan pandangan kosong. Ia sedang merutuki nasibnya yang berada di sini.
Kamar ini memang tidak jauh berbeda dari kamar Liora. Semuanya bahkan sudah lengkap. Entahlah, apa Gabriella tahu mengenai walk in closet miliknya di kamar tamu yang cukup membuatnya takjub.
Beberapa gaun, pakaian kasual dan lainnya sudah tersedia di ruangan khusus itu. Di sini ada kulkas dan tidak perlu membuatnya harus turun ke lantai bawah untuk memuaskan dahaga atau ketika dirinya lapar.
“Dia pria licik yang pernah kau cintai, Liora,” desisnya, menutup sejenak kelopak mata.
Ia ingin menepis segala hal yang terjadi hari ini. Tapi kemesraan keduanya sungguh berat ditepis oleh pikiran Liora.
“Christopher Harcourt hanya ingin membunuhmu secara perlahan di Mansion ini.”
“Kau benar-benar berada dalam kesialan dan tidak akan mudah untuk keluar dari kekangan pria itu, Liora Felice Zucca,” lanjutnya.
Perempuan itu memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi. Ia ingin merilekskan tubuhnya dan ingin membuang segala hal yang menjadi pelik dalam pikirannya. Mungkin di saat ia sudah menenangkan pikirannya, maka perempuan itu bisa mendapatkan beberapa rencana yang bisa dilakukannya.
**
“Kenapa tidak mengajakku untuk masuk dan bercinta di dalam?”
Liora terkesiap mendapati Christopher sudah duduk di atas ranjangnya dalam balutan piama. Tatapan tajamnya mengarah pada perempuan yang baru saja keluar dari kamar mandi berbalut handuk pendek. Ia bisa dengan jelas melihat lekuk tubuh Liora, termasuk kaki jenjang dan kedua dadanya yang begitu menggairahkan.
“Untuk apa kau ke mari?”
“Mencari kepuasan denganmu,” balasnya dengan angkuh, menatap Liora yang berjalan mendekat ke arah ranjang.
Ia bisa melihat tidak ada ketakutan dari Liora. Sepertinya perempuan itu ingin mengikuti permainannya, lelah jika harus berontak.
“Apa Gabriella belum bisa memiliki anak karena kau tidak bersungguh-sungguh bercinta dengannya?” tanya Liora sebatas pinggir ranjang.
Ia menatap Christopher menegakkan punggung dari sandaran kepala ranjang. Pria itu tersenyum penuh arti dan mengedik santai. “Ya, bisa saja itu terjadi karena tidak ada gairah yang lebih mendominasi percintaanku dengannya.”
Liora mendengkus mengejek. “Kau memang pria berengsek yang tidak pantas didapatkan Gabriella. Istrimu sangat baik dan kau ingin bermain api di belakangnya. Itu luar bisa menjijikkan.”
Christopher tertawa kecil. “Itu tidak masalah untukku.”
Baiklah. Memang tidak ada hasilnya jika Liora menghina pria bertubuh tinggi dengan keturunan Italia – Prancis itu. Ia hanya akan menerima perlakuan itu dengan senang hati. Tapi akan berbanding terbalik dengan Liora yang mulai kehilangan kesabarannya.
Senyum miringnya terpatri di sana.
Kaki jenjangnya mulai mendekati Christopher yang masih duduk di ranjang, menatap perempuan itu tanpa mengalihkan pandangannya. “Kau bersedia melakukan apa pun untuk membahagiakanku dalam sangkar emasmu, bukan?”
“Kau sedang merayuku untuk membuatku percaya jika kau sudah menuruti kemauanku, bukan?”
Pertanyaan balik itu membuat Liora tertawa meremehkan. Ia mengedik santai dan berucap, “Jika kau tidak membutuhkan tubuhku, aku tidak mempermasalahkannya. Karena malam ini aku menginginkan kau bisa menghangatkan ranjangku.”
“Percuma berlari jika aku masih dalam jangkauanmu, Sayang,” bisiknya tepat di telinga Christopher dan memberikan kecupan seringan bulu saat bibir ranum itu mendarat di ceruk lehernya.
Rahang Christopher mengetat saat belahan dada itu menjadi pemandangan paling dekat dengan wajahnya. Gairahnya terpantik sangat mudah, terutama saat usapan lembut dan sensual itu singgah di bahu tegapnya.
“Aku bisa memuaskanmu lebih dari apa yang kau dapatkan dari istrimu itu,” lanjutnya dan mulai berani duduk di pangkuan Christopher.
“Kau tidak ingin menyentuhku?”
Liora membawa tangan kiri Christopher mendarat di tungkai atasnya yang terbuka. Tatapannya lekat, mendapati sorot manik biru itu berkabut, penuh gairah yang dirinya tahan. “Jadi, bolehkah malam ini aku yang memuaskanmu, Sayang?”
Belaian lembut itu singgah di sisi wajah Christopher. Ia menatap tajam Liora yang memberikan senyum menggodanya.
“Kau ingin mendapatkan sesuatu. Mungkin, kabur dari Mansion ini adalah hal yang sangat kau inginkan di saat aku lengah.”
Ucapan datar dan penuh penekanan itu nyatanya kembali membuat Liora tertawa. “Aku sedang lelah dan di saat aku telanjur menyerahkan tubuhku padamu, kenapa aku tidak bisa melakukan hal serupa? Kau sudah menawarkan kehangatan padaku.”
“Itu sebabnya aku menginginkan perlakuan yang sama,” lanjutnya dan segera memagut mesra bibir tipis kemerahan Christopher.
Pria itu menggeram, merasakan tekstur lembut dari bibir ranum Liora dan bagaimana tangan perempuan itu menumpu di atas punggung tangannya, kembali menggerakkan tangannya. Ia memberikan isyarat jika usapan di tungkainya harus diteruskan oleh telapak tangan Christopher.
“Kau tidak akan pergi ke mana pun tanpa persetujuanku, Liora,” desisnya dan sudah membalas pagutan Liora sama menggebunya.
Senyum miring itu terpatri di sela ciumannya. “Aku tidak peduli,” tekannya dengan sorot menantang dan detik selanjutnya, Christopher mengumpat pelan saat handuk itu sudah terlepas.
**