Menghancurkan Impian
Meskipun area wahana ski ini tidak berada di daerah salju yang asli dengan view pegunungan, alam terbuka. Tetap saja sensasinya cukup membahagiakan siapa saja yang datang ke mari. Tapi Liora tidak ingin memperlihatkan jika dirinya sangat menikmati bermain di wahana ini. Ia memilih menjauh dari Christopher, berusaha tidak dalam jangkauannya untuk bermain.
Perlengkapan di tubuhnya sudah sempurna dan perempuan itu telah menikmati kesendiriannya selama dua menit di antara pengunjung lainnya yang tidak hanya di dominasi anak kecil.
“Kau memilih menjauh sambil mengingat kenangan kita?”
Liora terkesiap. Ia menghentikan gerakannya yang bersiap akan meluncur, memajukan langkah di atas kaki yang sudah berbalut papan dan kedua tongkat dengan setia berada di tangan kanan dan kirinya.
Ia menoleh, mendapati Christopher dengan penampilan sama, memakai helm meminimalisir pada cedera yang dialami pengunjung. Tapi lebih ditekankan sebagai pelengkap supaya aman.
Perempuan itu mendengkus mengejek, sedikit mendongakkan dagunya, lalu memberikan tatapan tajam pada Christopher. “Tujuan kita datang ke mari untuk menikmati wahana, bukan? Jadi, kau lebih baik menghibur dirimu sendiri, terlebih aku yang tidak ingin diganggu olehmu,” balasnya dan segera meninggalkan Christopher yang menarik sudut bibirnya.
Ia memerhatikan punggung perempuan berusia dua puluh lima tahun itu yang semakin menjauh. Tidak memedulikan Christopher yang ditinggal sendirian.
“Baiklah. Kau bisa menikmati wahana di sini atau berbelanja apa pun untuk membahagiakan dirimu, Liora. Karena mulai besok, kau akan bahagia dalam sangkar emasku. Tidak akan pernah aku biarkan kau pergi dari jangkauanku untuk kali kedua,” ungkapnya mengikuti Liora dari belakang, ikut bermain ski dengan tetap menjaga jarak supaya perempuan itu tidak menyadarinya.
Setidaknya suasana hati Liora malam ini cukup baik. Ia menikmati wahana di sini, mendapati anak-anak di sekitarnya pun tampak berseri. Meskipun bermain sendiri, tapi melihat sekitarnya dengan luapan kebahagiaan, ia pun ikut merasakan atmosfer tersebut.
Setengah jam lebih ia bermain tanpa gangguan Christopher. Selama itu pula ia merasakan kebebasan yang sangat ingin dihirupnya lebih banyak sejak awal bertemu Christopher.
“Waktumu sudah habis, Nona Zucca.”
Liora menoleh, mendapati Christopher telah meninggalkan papan ski dan juga tongkatnya. Ia masih berbalut lengkap pakaian khusus tersebut, meskipun telah menanggalkan helmnya.
Sejenak perempuan itu mengerjap, melihat rambut coklat itu sedikit berantakan. Kemudian ia dengan segera berdeham, berusaha meredakan pandangannya yang menganggap hal tersebut cukup memesona.
“Lalu?” tanyanya angkuh.
“Kau harus ikut aku,” balasnya membuat perempuan itu mengedik.
“Biarkan aku di sini. Jika perlu, bebaskan aku sekarang juga meskipun tidak mendapatkan uang darimu untuk kembali ke negaraku,” jelasnya dan indera pendengarannya menangkap Christopher yang mendengkus pelan.
“Kau selalu tau jawabanku untuk setiap pertanyaanmu ini,” balasnya memilih berlalu meninggalkan perempuan bermanik hijau yang memandang punggung itu dengan bibir terbuka.
“Sial!”
“Sepertinya aku harus bersabar untuk semua hal ini,” cetusnya karena sudah mendapati anak buah Christopher datang, menyusul dengan posisi berjaga di tempat yang bisa menjadi peluang Liora kabur.
Ia lupa tentang penjagaan ketat dari pria-pria berjas hitam dengan kepala pelontos serta kacamata hitamnya. Tubuh besar itu akan selalu mendengarkan instruksi Tuan mereka.
**
Liora memandang dirinya yang berdiri di depan cermin panjang dan sedikit lebar. Tubuh semampai perempuan berambut coklat itu berbalut gaun seksi. Tali tipis menggantung di kedua bahu putihnya. Gaun tanpa lengan dan memperlihatkan tungkai atasnya yang menggoda mata pria mana pun yang akan dengan senang hati meliriknya.
Perempuan itu menatap lurus, penuh tatapan tajam pada Christopher yang ternyata memaksanya untuk datang dan membeli gaun mahal. Pria itu juga telah mengganti pakaiannya dengan setelan jas mahal.
Tubuh tingginya kini berdiri di belakang punggung Liora, ikut memandangnya dari pantulan cermin. Dua manik berbeda itu saling bersitatap. Liora tahu jika manik biru itu tampak berkabut memandang gaun dengan bagian dadanya yang rendah, memperlihatkan belahan yang sudah diketahui Christopher kelembutan dan ukurannya saat ia berhasil menanggalkan helaian terakhir gaun berwarna marun ini.
Liora menggigit bibir bawah, meredam gelenyar dalam tubuhnya saat kedua telapak tangan itu sudah mengenggam lembut kedua lengan atasnya. Christopher mendekat, menumpukan dagunya di atas bahu yang terekspos sempurna.
Ia mendaratkan kecupan manis di sana, lalu beralih memberikan kecupan panas di leher jenjang Liora. Pria itu berbisik lirih, menghadirkan sensasi yang selalu menganggu kedekatan Liora bersama Christopher. “Kau sangat cantik, Liora,” ucapnya menurunkan telapak tangan kanannya, menyusup dari belakang untuk meraih perut Liora di depan.
Christopher menatap perempuan yang kini tampak memejamkan mata, melihatnya dari pantulan cermin dan semakin berani untuk sedikit menurunkan tangannya, mengusap tungkai atas itu. “Cantik dan seksi,” tambahnya mneggigit sensual cuping telinga Liora.
“Hen-ti-kan, C-Chris,” cicitnya, nyaris berupa bisikan.
“Untuk malam ini aku membebaskanmu dari hasrat yang aku timbulkan di dalam dirimu, Sayang,” bisiknya dan memandang cermin saat Liora berhasil menatap dirinya juga dari sana.
Senyum miring Christopher terpatri di sana sebelum akhirnya ia memundurkan sedikit tubuhnya, meraih saku celana.
Liora mengerjap saat pria itu mengeluarkan kotak beludru panjang, menampilkan kalung berlian yang begitu indah.
“Ini akan melengkapi kecantikanmu malam ini.”
“Kau akan makan malam bersamaku sebelum kita memutuskan untuk pulang.”
**
Liora mengerang. Merasakan kepalanya sedikit berdenyut, sadar akan suara ringisannya dalam kesadarannya. Perempuan itu mengerjap, menatap sekitar dengan pandangan menyipit.
Perlahan kening itu mengernyit bersama gerakan tangannya yang memegang sisi kepala terhenti. Perempuan itu diam sesaat sebelum akhirnya menoleh bingung ke arah sekitar.
“Ini ... Bukan kamar yang pernah aku tempati?” gumamnya kaget, lalu detik selanjutnya Liora menegakkan tubuhnya.
Perempuan itu benar-benar mendapati interior kamar ini sangat berbeda. Ia mencoba mengingat, tersadar jika semalam ia mengingat jelas Christopher mengajaknya bermain ski, memberikannya sedikit kebebasan sebelum akhirnya makan malam romantis yang menjijikkan itu dilakukan pria keturunan Italia – Prancis.
Ketukan pelan di pintu kamarnya dan perlahan menampilkan seorang wanita dewasa, sekitar tiga puluh lima tahun itu tersenyum manis pada Liora.
“Buongiorno signorina.”
Manik hijau Liora membeliak sempurna. Tubuhnya kaku sesaat, lidahnya kelu hanya untuk membalas sapaan pagi itu.
“A-pa ya-ng ka-kau katakan, Nyonya?”
Liora turun dari atas ranjang dengan kaki gemetar. Ini jelas bukan aksen yang digunakan orang-orang dengan bahasa Arab atau bahasa Inggrisnya. Melainkan sosok di hadapan Liora sangat pantas diucapkan untuk aksen yang sama. Bahasa Italia itu membuatnya menelan saliva susah payah.
Senyum manis masih terpatri di sana. “Dua jam lagi pernikahanmu akan berlangsung, Nona.”
“Pernikahan?!”
“Ya. Kau akan menjadi istri dari Tuan Harcourt.”
Detik itupula Liora merasakan hantaman kuat dalam dirinya. Ia membeliak dengan gemuruh dalam dadanya. Perempuan itu tidak menanggapi ucapan wanita tersebut, melangkah lebar nyaris berlari hanya untuk menyibak gorden yang masih tertutup sempurna.
Kakinya lemas. Liora menutup mulutnya tidak percaya ia telah berada di hunian gedung bertingkat dengan pemandangan kota yang dirinya sangat kenali.
Ini negara Italia!
Liora sudah berada di Roma!
“Aku tidak ingin menikah dengan pria berengsek itu!” Liora berbalik, memekik histeris dan berusaha menerobos wanita itu.
“Nona ... Kau tidak bisa pergi. Tuan sudah memintaku untuk menyiapkan gaun pengantinmu!”
Liora menghentikan langkahnya yang sudah beranjak dua meter. Ia kembali menatap wanita itu di ambang pintu, memberikan tatapan tajamnya. “Aku tidak ingin menikah dan terikat seumur hidupku bersama pria berengsek itu!” pekiknya ridak ingin mimpi buruk itu datang dan menjadi kenyataan.
“Apa kau ingin aku memintamu secara paksa, Liora?”
Tubuh Liora menegang. Ia berbalik, arah yang seharusnya sudah membawa perempuan itu bisa membuka handle pintu unit apartemen baru ini. Tidak terlalu mewah dan terkesan simple, tapi cukup membuatnya bisa memperkirakan jika unit ini pun cukup mahal.
Ia mendapati Christopher yang sudah memakai kemeja putih dengan dasi kupu-kupunya dan celana berwarna putih senada.
Liora tertegun, menatap lekat Christopher tanpa bisa berkutik.
Pria itu memberikan instruksi untuk wanita tersebut pergi. Ia dengan patuh mengangguk, lalu bergegas meninggalkan keduanya dan menutup pintu.
Perempuan bermanik hijau itu menatap tajam manik biru yang masih berdiri tidak jauh dari Liora, membelakangi pintu. Ia mendekat, memberikan tatapan angkuh dan penuh kebencian. “Apa maksudmu membawaku ke mari, Chris? Bukankah semalam aku masih berada di Dubai?”
Suara tajam dan penuh penekanan itu tetap membuat Christopher menatapnya santai. “Benar.”
“Tapi sejak kau menikmati makan malam itu, aku sudah memberikan obat tidur padamu, Sayang.”
“Bajingan!”
Liora berniat menampar pipi putih itu, tapi kalah cepat di saat ayunannya hanya mengudara, mendapatkan cekalan dari tangan Christopher yang lebih dulu mengenggam erat pergelangan tangannya.
“Kau sangat berengsek!” teriaknya frustrasi.
“Berhenti menjadikanku sebagai istrimu, bodoh!”
“Aku tidak mau! Kau bahkan telah memiliki seorang istri! Hentikan kegilaanmu ini, Christopher Harcourt!”
Ledakan amarah dan kebencian Liora kian menguat. Sekeras apa pun ia berusaha menarik tangannya dan ingin melayangkan kembali tamparannya, Christopher kian menguatkan cekalannya, tidak memedulikan Liora yang meringis sakit.
“Dia memang istriku. Tapi dia tidak akan bisa memuaskan hasratku, melebihi dari apa yang aku dapatkan darimu.”
“BERENGSEK!”
“KAU SANGAT GILA, CHRIS! AKU TIDAK MENGENALI SOSOK YANG DULU DALAM DIRIMU! HUBUNGAN KITA TELAH LAMA BERAKHIR DAN KITA MEMILIKI KEHIDUPAN MASING-MASING!”
“Jangan menghancurkan masa depanku! Mimpi yang sudah aku bangun bersama Ivander!”
Liora memekik.
Ia terhempas, di dorong kasar Christopher saat pria itu sudah menjatuhkannya ke sofa lebar, tepat di samping mereka. Liora meringis, menjatuhkan bulir air mata saat pria itu berhasil menyakiti punggungnya.
Dengan manik biru yang berkilat itu, Christopher menunduk, meraih kuat rahang Liora supaya perempuan itu menatapnya lekat. Isak tangis itu tidak dipedulikannya.
“Jika aku sudah menginginkanmu menjadi istriku. Maka tidak ada satupun orang yang bisa menggagalkannya, termasuk hanya sekadar impian bodohmu itu, Liora,” desisnya membuat perasaan Liora hancur bersama bulir air mata yang membasahi kedua pipinya.
**