Bab 4 Membeli Alat Tes Kehamilan
"Berpisah dengan baik? Menurutku, kamu sedang bertingkah gila lagi. Apa ini karena aku nggak memenuhi kebutuhanmu beberapa hari ini, jadi kamu merasa kesepian?"
"Bukankah kamu membuat keributan seperti ini hanya karena ingin aku lebih mencintaimu?"
"Baiklah, aku akan memuaskanmu sekarang. Tapi jangan salahkan aku kalau besok kamu nggak bisa bangun dari tempat tidur."
Setelah mengatakan itu, Kelvin mulai merobek pakaianku. Ciumannya yang panas menghujani tubuhku.
Aku berusaha melawan dengan sekuat tenaga, tetapi Kelvin menekan tubuhku dengan lebih kuat lagi, tangannya mulai menarik celanaku.
Aku merasa dia akan memaksaku, membuat rasa panik langsung melandaku. Dalam kekacauan itu, aku berhasil membebaskan satu tangan.
Aku menamparnya dengan keras tanpa ragu. Saat dia terkejut hingga terpaku, aku segera mendorongnya, melarikan diri ke sudut tempat tidur dengan selimut yang melilit tubuhku.
Mataku memerah karena amarah. Aku mengancam dengan suara bergetar, "Dalam pernikahan juga ada hukum yang melarang pemerkosaan. Kalau kamu memaksaku lagi, aku akan melaporkanmu!"
"Kalau kamu nggak ingin nama baikmu hancur, tanda tangani surat cerai itu sekarang juga!"
Kelvin menatapku dengan tatapan tajam. Matanya seperti serigala yang ganas, seolah ingin menelanku hidup-hidup.
Dia tertawa sinis karena marah. "Baiklah. Camelia, kamu sendiri yang mengatakan ini. Jangan menyesalinya!"
Setelah berkata demikian, dia bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa, lalu membanting pintu saat keluar.
Aku tetap meringkuk di sudut tempat tidur, tubuhku gemetaran tak terkendali. Mengingat dia menciumku tadi, aku merasa mual, ingin muntah.
Perutku terasa bergejolak, wajahku pucat. Aku segera menutup mulut, lalu berlari ke kamar mandi. Aku memuntahkan segalanya di toilet.
Namun, kenyataannya hanya sedikit yang keluar, hampir tidak ada.
Ketika Bu Erna, pelayan rumah, mendengar keributan kami, dia segera datang dan melihat aku yang muntah-muntah.
Dia menuangkan segelas air untukku sambil mendesah, menanyakan kenapa kami bertengkar lagi. Dia menunjukkan perhatiannya padaku, lalu tak dapat menahan diri untuk bertanya, "Nyonya, apa mungkin kamu sedang hamil?"
Aku sedang berkumur saat mendengar kata-katanya itu. Tubuhku langsung membeku di tempat.
Aku langsung mengingat kehidupan sebelumnya. Sebulan setelah ulang tahunku, aku mengetahui bahwa aku sudah hamil lebih dari dua minggu.
Namun, pada akhirnya aku kehilangan anak itu. Mungkin anak itu memang bukan takdirku.
Jika dihitung, anak itu seharusnya belum hadir saat ini.
Namun, hatiku tetap dipenuhi dengan kecemasan, takut jika aku benar-benar sedang hamil.
Aku memberikan alasan bahwa aku hanya sedang mengalami gangguan pencernaan untuk menenangkan Bu Erna. Kemudian, aku kembali ke tempat tidur. Malam itu, aku tidak bisa tidur.
Keesokan harinya, aku langsung membeli alat tes kehamilan untuk memeriksanya.
Setelah menunggu dengan cemas, hasilnya menunjukkan satu garis.
Aku menghela napas lega. Untungnya aku tidak hamil. Jika aku hamil, situasinya pasti akan makin rumit.
Tidak bisa seperti ini terus, aku harus segera bercerai. Tidak memiliki anak dengan Kelvin adalah hal yang baik.
Anak itu tidak akan bahagia jika lahir di keluarga seperti ini. Lagi pula, aku juga tidak ingin memiliki anak dari Kelvin.
Saat aku tenggelam dalam pikiranku, pintu kamar tiba-tiba terbuka, lalu Sherly melangkah masuk. Matanya langsung tertuju pada alat tes kehamilan di tanganku.
Aku yang tersadar, langsung membuang alat tes kehamilan itu ke tempat sampah, lalu mencuci tanganku.
Sherly menatapku dengan wajah terkejut. "Kak, apa kamu hamil? Apa Kelvin sudah tahu?"
Aku menyembunyikan emosi di mataku, hanya menjawab dengan acuh tak acuh, "Ini masih terlalu awal untuk dibicarakan, nggak perlu terburu-buru."
Setelah mendengar itu, ekspresi Sherly tampak sedikit berubah. Perubahannya ini tidak luput dari perhatianku.
Aku keluar dari kamar, meminta Bu Erna untuk membuatkan jus, lalu duduk bersama Sherly di ruang tamu.
Aku merasa mati rasa ketika memikirkan wajah memuakkan yang tersembunyi di balik wajah lembut serta menyenangkan Sherly.
Sherly membuka pembicaraan dengan nada lembut, tetapi setiap katanya sungguh menusuk.
"Kak, kamu harus segera memberi tahu Kelvin tentang anak ini. Jangan menunda terlalu lama."
"Sebelumnya dia pernah mengatakan kalau dia masih terlalu muda, belum ingin punya anak. Kalau sekarang anak itu masih kecil, kalian bisa berdiskusi apakah ingin melahirkannya atau nggak. Kalau dia sudah besar, akan sulit untuk memutuskannya."
"Kalau anak yang nggak diharapkan dilahirkan, dia hanya akan menderita."