Bab 5 Wenny Parker
Sejak pertengkaran mereka hari itu, Jessica tidak melihat Zack untuk beberapa waktu.
Dia pergi dua kali ke Grup Sumner, tetapi ruang CEO kosong. Darren, asisten Zack, hanya tersenyum sambil berkata bahwa Zack sedang sangat sibuk.
Dia tidak memberi tahu Jessica ke mana pria itu pergi.
Di rumah sakit, Carly yang belum mendengar kabar tentang pernikahan, merasa marah hingga tidak bisa makan.
Dia melotot ke arah Jessica, lalu memarahinya, "Dasar nggak berguna! Bahkan seorang pria pun nggak bisa kamu pertahankan!"
Setelah puas memarahi, Carly mulai menangis. "Kalau tahu kamu nggak berguna seperti ini, aku seharusnya hanya membesarkan adikmu saja."
Jessica sudah kebal mendengar perkataan seperti itu. Dengan nada datar, dia menjawab, "Bu, bagaimanapun juga, dia sudah lama meninggal."
Adiknya memang tidak berumur panjang. Dia dibawa masuk ke rumah Keluarga Sumner bersama Carly, tetapi meninggal secara tragis pada usia sepuluh tahun.
Saat Jessica tiba, Carly sedang memeluk jenazah adiknya sambil menangis meraung-raung, seolah-olah ingin Jessica menggantikan adiknya untuk mati.
Ketika mengingat masa lalu, hati Jessica terasa berat. Bersamaan dengan caci maki yang tiada henti di telinganya, dia hanya tersenyum simpul tanpa emosi, lalu berkata, "Lupakan saja. Kalau mengandalkan Adik, kamu nggak akan bisa menikmati kehidupan mewah seperti sekarang."
Semua ini dia dapatkan dengan menjual putrinya.
Pernyataannya itu sungguh menusuk, membuat Carly sangat marah hingga melemparkan sesuatu ke arah Jessica. "Dasar nggak tahu diuntung! Kamu pikir Ibu melakukan semua ini untuk siapa?"
Dipukul sudah menjadi kebiasaan bagi Jessica.
Dia tidak menghindar, hanya meringis karena kesakitan. Darah hangat mengalir di dahinya. Saat dia menyekanya, darah itu sudah memenuhi ujung jarinya.
Tanpa berkata apa-apa, dia hanya menatap tajam ke arah Carly yang tampak tidak peduli. Dia bangkit berdiri, mengambil tasnya, lalu keluar dari ruang perawatan.
Dia menerima semuanya dalam diam dengan pasrah.
Di toilet, Jessica membersihkan lukanya. Bagian dahinya tergores cukup parah. Setelah dibersihkan, masih terlihat memar kemerahan di dahinya.
Tampak mencolok.
Dia menatap bayangan dirinya di cermin. Wajahnya tampak lelah tanpa semangat, lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan bahwa dia kurang tidur selama beberapa hari.
Benar, dia sudah tidak muda lagi.
Tahun ini menandai sepuluh tahun hubungannya dengan Zack. Namun, yang dia dapatkan hanya sikap dingin, serta kemungkinan bahwa pertunangan mereka akan dibatalkan.
Jessica menundukkan kepala. Rasanya seperti ada lubang di hatinya, membuat angin dingin berembus, menimbulkan rasa sakit yang sulit dijelaskan.
Saat dia sedang melamun memikirkan semuanya, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Zack muncul di layar.
Dia merasa gugup. Setelah mengangkat telepon, sebelum sempat menyapa, suara Zack yang terdengar tegas langsung menjelaskan, "Ada jamuan makan keluarga di rumah tua. Kakek memintaku membawamu pulang."
Setelah jeda sejenak, pria itu menambahkan, "Aku baru saja minum, jadi nggak bisa menyetir. Nanti kamu jemput aku."
Setelah mengatakan ini, Zack langsung menutup telepon tanpa menunggu persetujuannya, lalu mengirimkan alamatnya.
Jessica tahu bahwa ini adalah salah satu taktik Zack.
Tidak peduli seberapa buruk hubungan mereka, selama Kakek yang meminta, dia akan mengesampingkan segalanya, menyerah lebih dulu.
Trik Zack ini selalu berhasil.
Karena seluruh Keluarga Sumner memperlakukannya dan Carly seperti bahan lelucon. Hanya Arlo, sang Kakek, yang menganggap mereka sebagai bagian dari keluarga.
Jessica pulang untuk berganti pakaian.
Dia menghitung waktunya. Baru saja membuka pintu ruang VIP, dia langsung berpapasan dengan seorang wanita.
Wanita itu memiliki kulit sehalus porselen, pinggang ramping, serta tahi lalat kecil di bawah sudut mata kirinya. Ketika menatap orang, mata wanita itu tampak bersinar cerah. Rambut panjang ikalnya berwarna cokelat, dengan aroma samar yang menggoda.
Dia memiliki kecantikan alami.
Saat keduanya bertemu pandang, Jessica merasa hatinya bergetar. Entah kenapa dia menjadi sedikit gugup. "Kak Wenny, kamu sudah kembali."
Wenny tersenyum. Melihat Jessica yang tampak canggung, dia mengangkat alisnya sedikit, lalu berkata dengan suara yang lembut, "Kamu datang mencari Zacky, 'kan?"
Nama panggilan Zack adalah Zacky. Ini adalah panggilan mesra yang diciptakan khusus oleh Wenny.
Sebuah kedekatan yang unik.
Meskipun Wenny berkata demikian, tetapi dia tidak bergerak dari pintu. Mungkin karena orang-orang di dalam ruangan melihatnya berdiri di sana, beberapa dari mereka mulai menggoda.
Seseorang berteriak, "Bu Wenny, bosmu baru saja pergi sebentar, tapi kamu sudah menjadi penjaga pintu, ya?"
Suara itu cukup keras, sulit bagi Jessica untuk tidak mendengarnya.
Jessica tertegun sejenak. "Bu Wenny?"
Wenny tampak terkejut sesaat, lalu senyumnya tampak makin dalam.
Dia menjawab dengan nada yang aneh, "Jangan terlalu dipikirkan. Zacky masih keluar sebentar untuk membelikanku obat penawar mabuk, dia akan segera kembali."
Jessica tidak berkata apa-apa.
Dia telah bersama Zack selama bertahun-tahun, menghabiskan banyak waktu bersama, tetapi tidak pernah sekali pun pria itu mau melakukan hal kecil untuknya.
Betapa mencoloknya perbedaan ini.
Hati Jessica terasa tidak nyaman. Dia ingin pergi, tetapi suara Zack terdengar dari belakangnya, "Kenapa kamu keluar?"
Hati Jessica berdetak kencang, menoleh tanpa sadar. Tatapannya mengikuti Zack yang menatap wajah Wenny dengan santai.
Nada suaranya lembut dan penuh perhatian, "Di sini anginnya kencang, jangan sampai kamu masuk angin."
Wenny tersenyum malu-malu, wajahnya sedikit tersipu saat menerima obat dari Zack. Dia menjawab sambil tersenyum manis, "Aku nggak selemah itu."
Keduanya saling memandang dengan penuh kasih, sementara Jessica hanya memandang mereka. Jika seseorang yang tidak mengetahui melihat ini, mereka akan mengira Jessica adalah pihak ketiga yang membuat masalah.
Melihat Jessica berdiri kaku di sana, Wenny menepuk lengan Zack sambil berkata, "Zacky, Jessica sedang menunggumu."
Kata-kata ini seolah menjadi pengingat. Baru pada saat itulah Zack memperhatikan Jessica. Dengan nada datar, dia bertanya, "Sudah siap menyetir?"
Jessica hanya menjawab dengan gumaman singkat.
Zack mengangguk, lalu berkata tanpa emosi, "Baiklah. Ini sudah larut, kita antar Wenny pulang dulu."
Mendengar itu, wajah Jessica berubah menjadi kaku.