Bab 1
Setelah pacaran dengan Haris selama tiga tahun, dia masih belum ada keinginan melamarku.
Lalu, dia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan adik tiriku dan mulai mengejarnya secara terang-terangan.
Kali ini, aku tidak menangis dan tidak diam-diam menunggu dia kembali padaku.
Aku membuang semua hadiah pemberiannya dan memotong gaun pengantin yang kubeli secara diam-diam.
Pada hari ulang tahun Haris, aku meninggalkan Kota Santera.
Sebelum naik pesawat, Haris tiba-tiba mengirimkan pesan melalui WhatsApp kepadaku.
[Kenapa kamu belum datang? Semua sudah menunggumu.]
Aku hanya tertawa dan tidak membalas pesannya, sebaliknya aku memblokir semua kontaknya.
Tanpa sepengetahuannya, sekitar dua minggu lalu.
Aku menerima lamaran kakak seniorku di universitas, namanya Johan Kusuma.
Setelah tiba di kota baru, kami akan segera menikah.
...
"Kak Johan, aku sudah memutuskan."
Di depan cermin, aku berdiri sambil memandangi diriku yang pucat dan kurus.
Membuat keputusan penting dalam hidup, ternyata tidaklah sesulit yang dibayangkan.
"Chelsea ... kamu mau terima lamaranku?"
Di telepon, terdengar suara Johan yang berat.
Tiba-tiba, aku merasa hatiku sakit.
Saat air mataku jatuh, aku berkata sambil mengangguk, "Aku mau."
"Chelsea, tahukah kamu? Sejak masih kuliah, aku selalu menantikan momen ini."
Aku menatap bayanganku di cermin. Entah sejak kapan, senyuman kembali menghiasi wajahku.
"Beri aku waktu dua minggu. Aku mau menyelesaikan urusanku di sini."
"Baiklah. Chelsea, aku akan selalu menunggumu."
Telepon baru saja ditutup, pintu kamarku tiba-tiba dibuka dengan keras.
"Chelsea," kata Ayah dengan canggung sambil berdeham pelan.
"Adikmu sedang nggak enak badan. Pencahayaan di kamarmu bagus, bagaimana kalau kalian tukar kamar selama beberapa hari?"
Aku tetap diam. Pandanganku tertuju ke arah ibu tiri dan adik tiriku, Elsa Mukti, yang berdiri di belakang ayah.
Ibu tiri segera berkata, "Benny, jangan merepotkan Nona Chelsea."
Elsa memasang wajah sedih. "Benar, Ayah. Nggak perlu tukar kamar, nanti Kak Chelsea marah."
"Nggak perlu sungkan, kamu juga adalah putriku."
Setelah itu, sambil menatapku, ayah berkata dengan serius, "Chelsea, sebagai Kakak, kamu harus mengalah."
Aku tertegun menatap ayah yang berdiri di depanku.
Aku pikir akan sedih dan menangis.
Mengetahui fakta bahwa ayah kandungku lebih sayang kepada anak tirinya daripada anak kandungnya sendiri.
Namun, aku tidak meneteskan air mata sama sekali.
Sebaliknya, aku tersenyum kepada mereka dan mengangguk.
"Oke, aku mau tukar kamar dengannya."
Dua minggu lagi, aku akan meninggalkan kota ini selamanya.
Tinggal di kamar mana pun, sudah tidak penting lagi bagiku.