Begituan Sama Valerie
"Aku bukan Kevin, aku calon suamimu," tandas Ken membuat Val seketika mematikan sambungan telponnya karna merasa malu.
Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan lalu menggerak-gerakkan kedua kakinya yang ada di dalam selimut.
Belum hilang rasa malunya, tiba-tiba ponsel miliknya berdering lagi. Nama Kevin berkedip-kedip di layarnya. Tapi Val tidak yakin bahwa yang menelpon itu adalah kekasihnya. Pasti Keanu, cowok sok ganteng itu! Gerutu Val dalam hati.
"Halo!" seru Val dengan suara keras.
"Kenapa di tutup? Aku belum selesai bicara."
"Tapi aku udah," tandas Val, tidak ada sopan-sopannya. "Lagian ngapain kamu pegang hapenya Kevin? Bikin orang salah paham aja."
"Kamu?"
"Iya, kamu."
"Bisa nggak, kamu manggil orang yang lebih tua dengan panggilan yang lebih sopan?" sindir Ken yang sejak tadi merasa kesal dengan ucapan Val padanya.
"Maksudnya? Kamu minta kupanggil Om? Begitu?"
Ken terdengar menghela napas kasar. Dia benar-benar tidak yakin akan menikahi bocah ingusan ini. Tensinya bisa naik hanya dengan bicara dengannya setiap hari.
"Val, aku ini calon suamimu. Hargai sedikit dong, panggil apa kek. Kakak atau Mas, panggilan yang lebih sopan."
"Kakak? Astaga, aku bukan adekmu," Val tertawa geli seraya memutar bola matanya. "Denger ya, Om Keanu. Kamu memang calon suamiku, tapi cuma pura-pura doang, kan? Lagian aku juga nggak kenal sama kamu, dan jujur saja dari awal kamu tuh udah bikin aku ilfeel. Jadi, jangan harap aku bisa bersikap manis sama kamu," jelas Val panjang lebar.
Dasar makhluk nggak ada akhlak! Umpat Ken dalam hati. Kok bisa sih Kevin jatuh cinta sama bocah tengil ini?!
"Oke, whatever you want," sahut Ken merasa capek sendiri menghadapai gadis satu ini. Mungkin, mulai sekarang dia harus membiasakan diri untuk mendengar ocehan Val, karna sebentar lagi mereka akan tinggal bersama.
Ken benar-benar tak bisa membayangkan, bagaimana nanti kalau mereka benar-benar menikah dan tinggal bersama di dalam satu rumah.
"Apa benar nanti kita akan tinggal bersama setelah menikah?"
"Papamu maunya seperti itu, dan aku nggak punya hak untuk menolak. Karna dari awal aku sudah janji akan bertanggung jawab dengan semua ini."
Seketika Val tersenyum-senyum. Setidaknya dia merasa senang dengan adanya pernikahan ini, karna Val bisa meninggalkan rumah orang tuanya dan terbebas dari segala aturan yang selama ini membuatnya merasa bagai di dalam penjara.
"Sama Kevin juga, kan?" tanya Val bersemangat.
"Kenapa Kevin?"
"Tinggal bersama kita," ujar Val. Gadis itu sudah membayangkan akan bertemu dengan Kevin setiap hari, pasti sangat menyenangkan.
"Nggak mungkinlah."
"Ha? Kok nggak mungkin," senyum Val seketika memudar.
"Denger ya, Valerie. Setelah kita menikah, aku akan kirim Kevin ke luar negeri untuk kuliah di sana."
"Ke luar negeri?"
"Iya, biar kalian terpisah dan nggak berbuat macam-macam lagi."
"Tega ya kamu, Om. Misahin ayah dan anaknya."
"Om? Jangan panggil aku Om!" geram Ken.
"Habis apa dong? Katanya suruh manggil dengan sopan. Gimana sih, dasar cowok plin plan," balas Val yang membuat Ken semakin kesal.
"Capek ya ngomong sama kamu."
"Siapa suruh nelpon," sahut Val. "Om, tolong kasih hapenya ke Kevin dong. Aku pengen ngomong sebentar aja."
"Jangan panggil aku Om, punya telinga nggak, sih?!" Ken benar-benar merasa kesal.
"Iya-iya. Duh, marah-marah mulu, cepet tua lho."
"Emang aku udah tua!" sahut Ken dengan nada marah. Namun bukannya takut, Val malah tertawa berbahak-bahak. Entah mengapa tanpa sadar sudut-sudut bibir Ken ikut tertarik ke atas membentuk senyum samar, saat mendengar suara gelak tawa Val yang terdengar merdu di telinganya.
***
"Lo sakit apaan, sih? Gaje banget ngilang sampai dua hari. Hape lo mana? Gue telpon sampai capek nggak di angkat juga," omel Edo, teman sekolah Kevin yang sore itu main ke rumah.
"Adalah," sahut Kevin yang masih rebahan di ranjangnya. "Hape gue rusak. Belum dibeliin lagi sama Mas Ken."
"Masa sih? Apa nggak bete lo idup tanpa hape?" Edo menyusul Ken di atas tempat tidurnya, dan ikut berbaring di sana. "Eh, lo tau nggak? Cewek lo juga ngilang dua hari ini. Gue nggak pernah lihat Val di sekolah. Sakit juga?"
Seketika Kevin menoleh. "Ngapain lo nanyain cewek gue?"
"Yaelaaah. Nanya doang!" semburnya. "Eh, lo jadi ambil kuliah di Bandung kan habis ini?"
Kevin terdiam, teringat pesan kakaknya yang akan mengirim dia ke luar negeri setelah pengumuman lulus sekolah.
"Gue juga rencananya mau ke Bandung, sih. Kebetulan ada sodara bokap gue di sana. Nanti kalau jadi, kita tinggal satu kos. Gimana?" Edo menyenggol pundak Kevin, namun sepertinya Kevin sama sekali tidak tertarik.
"Nggak tau, Ed."
"Kok nggak tau?"
"Kayaknya Mas Ken mau ngirim gue ke luar negeri. Gue di suruh sekolah di sana."
"Ha? Yang bener? LDR dong sama Val? Emang lo tahan jauh-jauhan sama cewek lo yang bodynya aduhai itu."
"Apaan sih," kedua mata Kevin memicing saat Edo mengomentari bentuk tubuh Valerie.
"Alaaah, nggak usah muna deh lo," ujar Edo. "Lo pernah main kan sama dia," bisiknya sambil menaik-naikkan alis.
"Main apaan?"
"Sok lugu lo!"
Kening Kevin mengernyit.
"Kev, jujur sama gue. Lo pernah begituan kan sama Val? Hayoo ngaku ...," desak Edo.
"Apaan sih," Kevin terus menghindar. "Pikiran lo nglantur kemana-mana!"
Edo mencebik. "Gimana? Enak nggak, gituan sama Valerie?"
Seketika Kevin menoleh dan mencengkeram kerah baju Edo. Dia sudah tak bisa lagi mentolerir ucapan temannya itu.
"Maksud lo apa?!" hardiknya.
"Kev ... Lepasin. Apaan sih lo, gitu aja marah. Kalau lo merasa nggak pernah ngelakuin ya udah, nggak usah sewot," Edo berusaha melepaskan cengkeram tangan Kevin di kerah bajunya, namun gagal.
"Awas ya, sekali lagi lo ngomong macem-macem soal Valerie, gue bikin lo nyesel seumur hidup!" ancamnya sebelum melepaskan cengkeramannya di leher Edo karna temannya itu mulai batuk-batuk dan terlihat kesakitan.
***