Bab 4
Embusan angin malam menerobos masuk melalui jendela mobil dan mengacak-acak rambut Claire.
Sepanjang perjalanan, bayangan Stella yang menempel dengan manja di samping Adrian terus menghantui pikiran Claire.
Karena hatinya sudah sering terluka, kini yang dia rasa bukan lagi rasa sakit, melainkan rasa lelah yang tidak berkesudahan.
Tiga puluh hari masa tenang terasa begitu lama baginya.
Dia mengusap matanya yang pedih dan tidak menyadari sebuah mobil di depannya bergerak mundur dengan tiba-tiba.
Benturan keras pun tak terelakkan. Kakinya terjepit di antara pintu mobil yang ringsek dan darah segar langsung mengalir dengan deras.
Wajahnya langsung pucat pasi dan keringat dingin bercucuran di dahinya.
Meskipun menahan rasa sakit yang luar biasa, dia tetap berusaha untuk tenang dan segera menghubungi layanan darurat 112.
Setelah memasuki ruang gawat darurat, dokter segera melakukan pemeriksaan dan menyimpulkan bahwa luka tersebut tidak terlalu fatal. Namun, mereka tetap harus melakukan operasi kecil pada lukanya. Jadi, Claire diminta untuk menghubungi anggota keluarganya.
Karena orang tua Claire berada jauh di provinsi lain, dia pun mencoba untuk menghubungi Adrian.
Namun, setelah mencobanya berkali-kali, panggilannya tidak kunjung dijawab juga.
Claire menyadari bahwa Adrian mungkin sedang bersenang-senang dengan teman dan koleganya. Apalagi, orang yang dia suka juga berada di sana.
Jadi, mungkin Adrian tidak memiliki waktu untuk menjawab telepon darinya.
Karena melihat Claire tak kunjung berhasil menghubungi seseorang, perawat di sampingnya bertanya dengan lembut.
"Apa suamimu benar-benar nggak bisa datang?"
Claire menggeleng pelan dan menjawab dengan nada suara yang tenang.
"Kami sudah bercerai. Akta cerainya akan keluar sepuluh hari lagi."
Ucapan itu membuat perawat di hadapannya terkejut dan raut wajahnya tampak penuh dengan keprihatinan.
"Tapi, bukankah sekarang kalian masih terikat pernikahan? Nggak masalah meminta dia untuk datang dan menandatangani surat pernyataan ini." Sang perawat mencoba memberikan saran dengan hati-hati.
Menilik kembali tiga tahun pernikahannya, Claire langsung dibanjiri dengan gejolak emosi yang berkecamuk di hatinya.
Dia sudah sering menanti kedatangan suaminya hingga larut malam hanya untuk makan bersama. Namun, Adrian selalu mengiriminya pesan singkat yang mengatakan bahwa dia harus lembur dan tidak akan pulang.
Demi bisa mengobrol dengan suaminya, dia bahkan mencoba untuk mempelajari istilah-istilah hukum. Namun, bahasa hukum yang rumit membuatnya merasa seperti orang bodoh dan kehilangan kepercayaan diri.
Dia juga berharap bisa membuat suaminya senang dengan memberikan kejutan khusus saat ulang tahunnya. Namun, Adrian mengabaikannya dengan mengatakan bahwa dia lelah dan tidak memiliki tenaga untuk merayakan ulang tahunnya.
Dari awal, hanya Claire yang berusaha mati-matian untuk mempertahankan hubungan ini.
Semua kejadian itu menunjukkan bahwa Adrian memang tidak pernah benar-benar mencintainya.
Meskipun terus meneleponnya, Adrian tidak akan pernah datang. Claire sadar akan hal tersebut dan tidak ingin memberi harapan palsu pada dirinya sendiri.
"Bahkan ketika aku kecelakaan seperti ini saja dia nggak mengangkat teleponku. Jadi, dia pasti nggak akan datang."
Mendengar penuturan Claire, perawat itu menghela napas panjang dan matanya penuh dengan rasa iba.
"Kalau begitu, coba hubungi temanmu saja," ujar sang perawat.
Beberapa hari berikutnya, Emily menemani dan merawat Claire di rumah sakit dengan penuh kesabaran.
Beberapa hari setelah kejadian, Adrian baru bergegas ke rumah sakit. Begitu sampai di bangsal, dia terkejut melihat kondisi pergelangan kaki Claire yang terluka.
"Kenapa kamu nggak memberitahuku kalau kamu kecelakaan?"
Claire hendak menjelaskan, tetapi saat bertatapan mata dengannya, bayangan rentetan panggilan teleponnya yang diabaikan Adrian tiba-tiba memenuhi benaknya.
Kata-kata yang sudah di ujung lidah pun dia telan kembali dan digantikan dengan senyuman tipis.
"Aku tahu kamu sedang sibuk. Jadi, aku nggak mau merepotkanmu dengan masalah sepele seperti ini."
Adrian merasa agak bersalah mendengar ucapan Claire, jadi dia memutuskan untuk menjelaskan kejadian beberapa hari lalu.
"Claire, pertemuanku dengan Stella hari itu hanya kebetulan saja, jangan terlalu dipikirkan," kata Adrian.
"Apa proses perceraian Stella sudah selesai?" tanya Claire dengan nada datar.
Adrian terkejut mendengar pertanyaan Claire yang tidak biasa. Namun, dia tetap menjawab dengan jujur.
"Sudah. Mereka sudah resmi bercerai."
Senyum Claire mengembang saat dia berkata, "Kalau begitu selamat."
Kemudian, dia menambahkan dengan suara lirih, "Kuharap prosesku juga bisa semudah itu."
Adrian tidak paham dengan ucapan wanita itu dan hendak bertanya lebih lanjut. Namun, tiba-tiba teleponnya berdering.
Setelah melihat nama si penelepon, Adrian terlihat agak ragu untuk mengangkatnya. Namun, dia segera melangkah ke koridor untuk menjawab panggilan tersebut.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, Adrian kembali dan mendapati pintu bangsal agak terbuka dan suara Claire terdengar sayup-sayup dari dalam.
"Ya, tunggu lima belas hari lagi sampai masa tenang perceraian berakhir. Setelah itu, kita akan benar-benar bebas ... "
Tiba-tiba, ingatan tentang surat pembagian harta melintas di pikiran Adrian.
Kata-kata Claire yang ambigu membuat Adrian gelisah dan jantungnya berdebar kencang. Dia pun segera membuka pintu.
"Masa tenang perceraian? Siapa yang ingin bercerai?" tanyanya dengan tegas.