Bab 6
Naomi dirawat di rumah sakit selama tiga hari.
Tommy dan Atta sering datang mengunjunginya, tetapi mereka selalu hanya menemaninya selama beberapa menit sebelum langsung pergi.
Mereka berdua memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi Naomi tahu mereka berdua pergi untuk menjaga Pauline.
Karena setiap kali kedua pria itu datang, Pauline akan mengirimkan pesan-pesan yang menantang.
[Kak Tommy masak sendiri sup ikan buatku. Aku bilang aku nggak bisa menghabiskannya, jadi aku memintanya untuk memberikan sisanya padamu. Kamu harusnya dapat sisa supnya, 'kan?]
[Kakakku dan Kak Tommy pergi menemuimu waktu aku tertidur selama sepuluh menit, 'kan? Tapi, begitu aku bangun, mereka langsung ingin mengobrol denganku supaya aku nggak bosan. Mana mungkin mereka memikirkanmu?]
Sorot tatapan Naomi pun menjadi nanar. Dia jadi teringat saat dirawat di rumah sakit karena radang usus buntu. Waktu itu, Tommy dan Atta juga selalu menemaninya yang masih berusia 16 tahun itu di dalam kamar rawat.
Setiap kali Naomi menyesap sup, kedua pria itu akan rebutan untuk mendinginkannya. Setiap kali kondisi Naomi diperiksa, mereka berdua malah lebih gugup daripada Naomi. Mereka takut Naomi kenapa-kenapa.
Sekarang, semua itu tidak akan kembali lagi.
Naomi juga tidak lagi membutuhkan kakak laki-laki dan pacar yang seperti itu.
Naomi sendiri yang mengurus dokumen keluarnya dari rumah sakit.
Begitu tiba di pintu, dia langsung melihat Tommy, Atta dan Pauline.
Pauline menarik tangan Naomi sambil tersenyum dengan ramah.
"Kak, pekerjaan Kak Tommy dan Kak Atta jadi menumpuk karena belakangan ini sibuk menemaniku. Bagaimana kalau kita pulang bersama?"
Naomi sontak bergidik melihat ekspresi Pauline, dia langsung berujar menolak, "Aku naik taksi saja."
"Kamu belum pulih benar, kenapa naik taksi?" protes Atta dan Tommy, ekspresi mereka terlihat agak tidak senang. "Biar kusuruh sopir untuk mengantar kalian berdua pulang."
Setelah itu, Atta dan Tommy mendorong Naomi ke kursi penumpang di samping sopir dan menutup pintu mobil.
Pauline sendiri duduk di kursi belakang dengan santai. Mesin mobil pun segera dinyalakan.
Kelopak mata Naomi terus berkedut, firasatnya mengatakan akan ada sesuatu yang terjadi.
Sesampainya di pinggiran kota, Pauline yang sedari tadi diam saja mendadak meminta si sopir untuk menepi.
Setelah mengantar si sopir pergi, Pauline pun duduk kursi sopir dan menoleh menatap Naomi.
"Tenang saja, aku sudah lebih jago daripada lima tahun yang lalu. Kujamin nggak akan ada yang mati lagi."
Naomi sontak berkeringat dingin, dia pun berbalik hendak turun dari mobil.
Namun, Pauline langsung mengunci pintu mobil dan menginjak pedal gas dalam-dalam. Mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi.
Kedua tangan Naomi langsung berpegangan pada kursi dengan erat, jantungnya mulai berdetak dengan kencang.
Pauline hanya terkekeh melihat Naomi yang ketakutan, lalu berujar.
"Kenapa juga kamu takut? 'Kan bukan kamu yang melakukan tabrak lari itu. Ah, kamu jadi teringat memori buruk, ya? Yah, menghabiskan sekian tahun itu di penjara pasti meninggalkan kesan mendalam padamu, 'kan?"
Setelah itu, Pauline menekan tombol TV mobil. Sebuah rekaman dari kamera pengawas muncul pada layar itu.
Naomi sontak terbelalak saat melihat dirinya yang dikerumuni dan dihajar oleh sekelompok orang di dalam toilet.
Jeritannya yang melengking memenuhi bilik sempit itu.
Naomi seketika merasa seperti ada tangan yang mencengkeramnya dan menyeretnya kembali ke masa-masa kelamnya di penjara.
Hajaran-hajaran keras dan ayunan tongkat yang mengenainya terus terngiang dalam benaknya.
Angin dingin yang berembus di luar jendela membuat Naomi berulang kali merasa dia seperti sedang terkunci lagi di dalam ruang penyimpanan dingin.
Naomi memandangi rekaman itu, rasa sakit samar-samar terasa lagi dari lukanya yang sudah sembuh.
Naomi yang trauma itu pun memukul-mukul pintu mobil dengan sekuat tenaga, seolah-olah ingin kabur.
Pauline mematikan video, lalu membuka sabuk pengaman Naomi dan menyalakan kamera dasbor.
Detik berikutnya, kamera dasbor merekam Naomi yang berteriak meminta untuk keluar dari mobil.
Naomi mencengkeram tangan Pauline hingga berdarah.
Pauline segera berpura-pura kesakitan, lalu membanting setir.
Mobil itu pun menabrak pagar pembatas di sebelah kanan dengan kencang.
Tubuh Naomi langsung terbanting ke jendela mobil.
Darahnya mengalir menuruni kaca yang retak. Pandangannya menggelap dan kesadarannya perlahan memudar ....
Bunyi sirine pun terdengar dan setelah itu Naomi samar-samar mendengar bunyi berisik.
Dia mengerahkan segenap tenaganya untuk membuka kelopak matanya, lalu melihat Tommy dan Atta.
Kedua pria itu sedang mengerumuni tempat tidur Pauline sambil menginterogasi dokter.
"Kenapa belum dioperasi juga? Bagaimana kalau Pauline sampai kenapa-kenapa?"
"Tenanglah dulu, Pak Atta, Pak Tommy. Saat ini stok darah di rumah sakit sedang kurang, jadi kami cuma bisa melakukan satu operasi. Luka Nona Pauline tergolong ringan, jadi saya sarankan untuk menyelamatkan Nona Naomi lebih dulu. Kalau nggak, nyawanya bisa dalam bahaya."
Tommy dan Atta saling berpandangan dengan ragu.
Di tengah suasana yang hening itu, salah seorang perawat bergegas masuk dan mengatakan bahwa ruang operasi sudah siap. Perawat itu bertanya pasien mana yang akan dioperasi terlebih dahulu.
Tommy dan Atta refleks menyebutkan nama yang sama.
"Pauline!"
Rasanya semua tenaga Naomi hilang tidak bersisa.
Dia memejamkan matanya yang terasa berat dan membiarkan dirinya terjatuh ke dalam jurang kegelapan.