Bab 14
Danu tertegun sejenak. Kemudian, dengan wajah angkuh dia memarahi prajurit itu, "Kalian mau apa?"
"Anda Danu Gumilar, bukan?"
"Benar."
"Kamu dilarang masuk." Prajurit yang bertugas memeriksa undangan itu berkata dengan raut datar.
Benar-benar memalukan.
Detik sebelumnya, Danu masih diperlakukan dengan begitu istimewa. Detik berikutnya dia sudah dilarang masuk.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini?
Danu menoleh ke arah Rina. Dengan wajah malu, dia berkata, "Jangan khawatir, Rina. Aku akan mengurus masalah ini."
Kemudian, Danu menatap prajurit yang memeriksa undangan itu, menghardiknya, "Aku kenal atasan kalian. Percaya atau nggak, begitu aku menelepon dia, kalian nggak akan lagi punya tempat di Kota Senggigi!"
Krek!
Prajurit yang memeriksa undangan itu mengangkat laras senjatanya dan langsung menempelkannya ke dahi Danu. "Aku sudah bilang kalau kamu dilarang masuk. Tidak mengerti bahasa manusia?"
Dengan moncong senjata yang berwarna hitam pekat menempel di dahinya, tiba-tiba saja Danu merasa ketakutan hingga keringat dingin bercucuran.
Namun, sekarang Rina berada di belakangnya. Jika Danu mundur setengah langkah saja, harga dirinya akan langsung hancur.
Takut harga dirinya tercoreng, Danu pun mengumpulkan keberaniannya. "Kamu berani menembakku?"
"Dorr!"
Detik berikutnya, prajurit yang memeriksa undangan itu menendang Danu dan melepaskan tembakan di bawah selangkangan Danu.
"Ah!"
Danu langsung mengompol di celana karena ketakutan.
Setelah membuat Danu ketakutan, prajurit yang memeriksa undangan itu langsung memberi hormat pada Rina dan dua anggota keluarga Yulianto lainnya. "Pak Yoga, Pak Zakir, dan Nona Rina, kalian adalah tamu kehormatan di perjamuan makan malam ini."
"Silakan masuk."
Para prajurit yang berbaris di kedua sisi karpet merah serempak memberi hormat.
Pada saat ini.
Semua orang akhirnya mengerti.
Perlakuan istimewa barusan bukan ditujukan kepada keluarga Gumilar, melainkan kepada keluarga Yulianto.
Dengan demikian, Rina dan dua orang lainnya memasuki Vila Angsa Putih dengan perasaan seperti sedang bermimpi.
"Ini ... apa yang sebenarnya terjadi?"
Rina melihat sekeliling dengan tatapan bingung. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
Yoga dan Zakir sendiri juga tidak mengerti.
Zakir berkata, "Kita lupakan dulu masalah ini. Yang terpenting sekarang adalah bertemu dengan Pak Dhika."
"Malam ini ada banyak tamu penting. Semoga kita bisa bertemu Pak Dhika."
Yoga menghela napas.
Meskipun punya posisi yang cukup tinggi dalam bisnis, masih ada kesenjangan yang cukup besar antara Yoga dan Walikota.
Pada saat ini, ada pesan yang masuk ke ponsel Rina.
Rina langsung girang begitu membacanya. "Kakek, Ayah, Bagian Humas Pemerintah sudah mengeluarkan pemberitahuan. Proyek Menara Jayandara diberikan pada kita!"
"Apa?"
Yoga dan Zakir yang awalnya terkejut, seketika ikut gembira.
Ah, Proyek Menara Jayandara!
Mereka sudah berusaha keras untuk waktu yang lama, tetapi kerja keras mereka belum juga membuahkan hasil.
Malam ini, akhirnya mereka berhasil mendapatkannya.
Benar-benar berita yang sangat menggembirakan.
Setelah berpikir sebentar, Rina berkata dengan penuh keyakinan, "Kakek, Ayah, menurutku pasti ada seseorang yang membantu kita. Perilaku istimewa yang kita dapatkan malam ini, pasti ada hubungannya dengan orang ini!"
"Benar."
Yoga menarik napas dalam-dalam. "Orang ini sangat berjasa bagi keluarga kita. Kita harus mencari tahu siapa dia sebenarnya."
Lantaran penasaran, Yoga pun menemui kepala kantor untuk menanyakan seluk-beluk masalah tersebut.
Kepala kantor ikut terkesima. "Pak Yoga, tampaknya keluarga Yulianto sudah bertemu dengan orang yang sangat penting."
"Maksudmu?" tanya Yoga penasaran.
"Orang penting yang dijumpai keluargamu, juga merupakan orang penting bagi Pak Dhika. Lantaran orang penting inilah, Pak Dhika sendiri yang memerintahkan untuk memberikan proyek Menara Jayandara ini pada keluarga Yulianto."
Mendengar kata-kata kepala kantor tersebut, Yoga merasa sangat gembira.
Zakir bertanya, "Bisakah Anda memperkenalkan kami, sehingga kami bisa bertemu dengan orang penting itu dan berterima kasih kepadanya secara langsung?"
"Maaf, aku juga tidak tahu siapa orang penting itu."
"Tapi, walikota akan memintanya naik ke atas panggung. Kalian tunggu saja nanti." Kepala kantor menimpali.
"Terima kasih banyak kalau begitu."
Setelah berbasa-basi sebentar dengan kepala kantor. Rina dan keluarganya langsung mencari tempat duduk dan menunggu dimulainya acara pesta ulang tahun.
Sementara itu, di sebuah ruangan pribadi di dalam Vila Angsa Putih, Dhika menuangkan secangkir teh untuk Teguh. "Raja Serigala, saya punya satu pertanyaan. Apa saya boleh menanyakannya?"
"Tanyakan saja." Teguh menyesap tehnya.
"Kamu adalah Raja Serigala dari pasukan serigala hebat yang jumlahnya jutaan. Kamu juga memegang kekuasaan besar, tapi kenapa mau melakukan kencan buta dengan Rina, anggota keluarga Yulianto itu?"
Dhika berbisik, "Selain itu, aku sudah mengecek di kantor urusan pernikahan. Kamu dan Rina belum resmi menikah."
"Guruku berutang budi pada Pak Yoga. Dia menyuruhku menikahi Rina untuk membalas budi." Teguh menutupi dahinya dengan satu tangan. Wajahnya tampak tidak berdaya.
"Oh, begitu rupanya."
Dhika tiba-tiba menyadari.
Tidak heran, Raja Serigala yang hebat ini harus merendahkan diri untuk datang ke Kota Senggigi, demi kencan buta.
Setelah berpikir sejenak, Dhika melanjutkan, "Raja Serigala, aku masih punya satu permintaan yang mungkin kurang pantas."
"Katakan."
"Acara makan malam akan segera dimulai. Aku ingin memintamu untuk naik ke atas panggung dan tampil sebentar."
"Mungkin bisa dianggap … "
Awalnya, Teguh ingin menolak.
Namun, melihat tatapan penuh harap di mata Dhika, Teguh terpaksa mengangguk. "Baiklah."
"Terima kasih banyak atas kesediaan Anda, Raja Serigala. Aku akan segera mengaturnya."
Dhika langsung memberikan perintah.
Acara makan malam resmi dimulai.
Seluruh ruangan tiba-tiba menjadi gelap. Hanya lampu di atas panggung saja yang menyala makin terang.
Saat Dhika berjalan ke atas panggung dengan penuh percaya diri, seluruh ruangan langsung riuh dengan tepuk tangan yang meriah.
Dhika mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua orang diam. Lalu, dia berkata ke arah mikrofon, "Terima kasih atas kehadiran kalian semua di pesta ulang tahunku yang ke-50 ini. Aku sudah menyiapkan sedikit makanan dan anggur. Silakan dinikmati."
"Mumpung kita semua berkumpul di sini. Aku ingin memperkenalkan seseorang yang luar biasa kepada kalian semua."
"Orang ini sangat penting bagi Dhika Zhafiro."
"Kalau tidak ada dia, tidak akan ada aku hari ini."
"Mari kita sambut dia ke atas panggung dengan tepuk tangan yang paling meriah!"
Pada saat ini, lampu yang tidak terhitung banyaknya menyoroti lorong di sebelah kiri.
Tepuk tangan yang riuh rendah terdengar tanpa henti.
Sesosok anak muda muncul di tengah-tengah tatapan kagum semua orang. Dia menginjakkan kaki di atas karpet merah yang melambangkan kekuasaan dan kekayaan.
Wanita-wanita muda yang hadir di tempat itu langsung berseru, "Wah, orang yang dihormati oleh Pak Dhika ternyata masih begitu muda!"
"Masih muda tapi sudah menjadi tamu kehormatan Pak Dhika, orang ini pasti menyandang status tinggi."
"Lihatlah. Pakaiannya saja polos sederhana, Kaya, tapi nggak sombong. Mulia, tapi nggak suka pamer. Orang seperti dia pasti dia sangat rendah hati."
"Kalau aku bisa menikah sama pria kayak gitu, seumur hidup aku pasti merasa bahagia."
Semua orang kasak-kusuk.
Mendengarkan pembicaraan para wanita itu, hati Rina juga ikut tergerak.
Melihat pemuda itu berjalan naik ke atas panggung selangkah demi selangkah, Rina pun mengepalkan tinjunya erat-erat dan berbisik dalam hati, "Seperti itulah seharusnya lelaki Rina Yulianto. Naik ke atas panggung dan dihormati oleh ribuan orang. Bukan orang yang biasa-biasa saja seperti Teguh!"
Pada saat itu, sosok pemuda tersebut sudah sampai di samping Dhika. Dengan tenang, dia berbalik dan menghadap ke arah tamu undangan yang hadir.
Setelah melihat sosok pemuda itu dengan jelas, ketiga anggota keluarga Yulianto terkesiap.
Yoga tercengang.
Zakir tertegun.
Rina juga ikut terpana.
"Hah ... bagaimana ini mungkin?"
Bagaimana mungkin orang yang dihormati oleh Pak Dhika, bangsawan yang membantu keluarga Yulianto … adalah Teguh?