Bab 9
Claudia Sari adalah nenek sihir yang terkenal di kelas IPS. Claudia juga adalah sepupu dari direktur pendidikan SMA 4. Saat siswa di baris pertama mengumpulkan kertas ulangan, Carla nyaris melubangi kolom nama di kertasnya.
Setelah kertas ulangan dikumpul, Carla bertanya dengan ragu pada teman sebangku, "Namanya nggak kelihatan, 'kan?"
Karmel menelan ludah. "Kamu berdoa saja."
Carla pun tidak fokus dalam beberapa sesi pelajaran berikutnya. Sebelumnya, Carla sudah dipanggil ke ruang BK untuk ditegur karena dicurigai pacaran dengan Irvan.
Waktu berlalu dengan cepat. Pada sesi pelajaran terakhir, pelajaran BK, Carla dipanggil lagi ke kantor guru dan diberi teguran keras.
Carla bersyukur dia dipanggil di jam pelajaran sehingga tidak ada guru lain di kantor.
Plak! Terdengar suara nyaring ketika kertas ulangan ditepuk di meja.
Carla menundukkan kepala dan menyusutkan bahu, tidak berani berbicara. "Carla, kamu sebenarnya datang ke sekolah untuk belajar atau pacaran? Kamu tahu nggak, kamu bisa jadi peringkat belakang di kelas kalau nilaimu turun lagi?"
"Baru umur berapa kamu? Sudah sibuk pikirkan mau pacaran? Apa kamu nggak punya rasa malu?"
Claudia mendorong kacamatanya dari batang hidung. Ekspresi Claudia penuh amarah. "Kamu lihat, lihat sendiri namanya. Kamu pikir aku nggak bisa lihat karena sudah kamu coret?"
Carla menggigit bibir dan tidak berani berbicara.
"Panggil walimu besok."
Mendengar itu, Carla makin menundukkan kepala. "Ibu Guru, kakakku sudah pulang ke rumah dan sudah lama nggak telepon aku. Terakhir kali sudah lebih dari tiga bulan yang lalu. Dia akan tunangan sebentar lagi .... Aku nggak ingin mengganggunya."
"Bu Claudia, maaf!" Carla membungkuk 90 derajat. "Maaf sudah membuat masalah untuk kelas kita. Mohon beri aku satu kesempatan terakhir. Aku janji hal seperti ini nggak akan terulang lagi. Ke depannya, aku pasti akan belajar dengan giat."
Kemarahan Claudia pada Carla berkurang sedikit, malah bersimpati pada Carla. Hanya Claudia yang tahu tentang kondisi Carla. Orang tua Carla tewas dalam kecelakaan ketika Carla masih kecil. Lalu, Carla dibesarkan di panti asuhan bersama seorang kakak laki-laki yang tidak punya ikatan darah. Kakak Carla pasti sudah kembali ke rumahnya sendiri dan meninggalkan Carla yang menjadi beban, tidak lagi mengurus Carla.
Sebagai guru, Claudia bukanlah orang yang berhati dingin.
Claudia berkata, "Jangan katakan ini padaku. Kamu sudah berjanji padaku waktu itu, tapi lihat bagaimana kondisimu sekarang!"
"Coba kamu katakan, apa yang bisa lakukan padamu?"
"Kamu baru 16 tahun. Kalau dikeluarkan dari sekolah, kamu bisa kerja jadi apa?"
Carla buru-buru berkata, "Bu, aku bisa tulis surat jaminan dan membuktikannya dengan nilaiku. Aku janji aku pasti akan masuk peringkat sepuluh besar dalam ujian percobaan kali ini."
Melihat Carla berlinang air mata, Claudia mengambilkan tisu untuk Carla. "Lap air matamu dulu, lalu buat surat introspeksi diri. Kalau kamu nggak bisa tepati janji, hal ini akan dilaporkan ke BK dan kamu akan mendapat hukuman! Kamu sudah mendapat hukuman pemantauan sebelumnya. Kalau dapat hukuman lagi, kamu pasti akan dikeluarkan dari sekolah. Paham?"
Sambil berlinang air mata, Carla mengangguk. "Terima kasih, Bu, aku paham."
Mengundang rasa iba menggunakan air mata lebih baik daripada Jason dipanggil ke sekolah. Jika Jason datang ke sekolah, itu akan menimbulkan kehebohan. Hal yang paling Carla takuti adalah Irvan terkena imbas karena perbuatannya.
Carla meninggalkan kantor guru. Dia lolos dari bahaya.
Carla kembali ke kelas.
Karmel mendekat dan berbisik, "Nenek sihir itu menghukummu?"
Carla mengangguk. "Nggak apa-apa, hanya suruh aku tulis surat introspeksi diri."
Karmel mengangguk. "Baguslah. Kamu harus lebih hati-hati ke depannya. Kalau kamu pergi, aku nggak akan punya teman sebangku yang manis sepertimu. Kamu nggak tahu berapa banyak orang yang iri padaku."
Setelah sesi belajar mandiri terakhir, sudah pulang sekolah. Kebetulan, giliran Carla piket hari ini. Teman yang satunya izin karena sakit sehingga Carla sendiri yang membersihkan kelas dan mengelap papan tulis.
Tugas pelajaran hari ini tidak terlalu banyak. Carla berdiri di atas bangku sambil memegang ember untuk mengelap papan tulis menggunakan kain basah. Namun, Carla tidak tahu ada seseorang diam-diam muncul di luar pintu sambil menyilangkan tangan di depan dada dan bersandar di pintu. Tatapan matanya yang tegas tertuju pada gadis yang berdiri di atas bangku sembari mengelap papan tulis dengan penuh jerih payah.
"Uhuk uhuk ...." Seorang pemuda bertubuh kekar mengepalkan tangan di depan bibir dan berdeham.
Carla menoleh ke sana dan terkejut. "Kamu ... kenapa kamu ke sini?"
Irvan sangat jangkung. Sekalipun Carla yang memegang kain lap berdiri di atas bangku, Carla baru selurus mata pemuda itu.
"Kamu piket hari ini?" Irvan mengambil kain lap di tangan Carla, lalu menyisingkan lengan baju dan menampakkan kulitnya yang berwarna sawo matang. Urat di lengan Irvan yang berotot memanjang sampai ke jari-jemari yang ramping dan kuat. Tangan kekar itu sedang membilas kain lap di ember, tampak sangat memikat.
Irvan mengeringkan dan melipat kain lap. Mudah sekali bagi Irvan untuk mengelap pinggiran papan tulis yang tidak dapat dicapai oleh Carla.
Carla mengangguk dan menatap Irvan dengan ekspresi mata yang kompleks. "Hhmm, bukannya kamu cuek padaku?"
Irvan yang sedang mengelap papan tulis berhenti sejenak. Lalu ... Irvan mengelap seluruh papan tulis.
Irvan bahkan membantu Carla menyapu dan mengepel seluruh kelas ....
Tugas piket yang seharusnya dikerjakan oleh Carla dikerjakan semua oleh Irvan.
Di bawah pantulan cahaya matahari terbenam, bayangan Irvan memanjang. Tatapan Carla terus mengikuti bayangan itu. Rasanya seperti mimpi bisa bertemu kembali dengan Irvan.
Walau Irvan sudah menjadi CEO perusahaan internet di kehidupan lampau ... Irvan tetap memasak untuk Carla. Meski Carla sangat pemilih, Irvan selalu sabar. Irvan bahkan ... memberikan segala sesuatu yang terbaik di dunia kepada Carla.
Perhiasan yang diberikan oleh Jason kepada Melisa, juga diberikan oleh Irvan kepada Carla. Perhiasan yang Carla dapatkan justru lebih berharga dari yang Melisa dapatkan.
Pada saat itu, entah mengapa Carla tidak memilih Irvan yang begitu baik.
Dia malah memilih seorang pria yang tidak pernah mencintainya!
"Eh, Irvan!" Carla turun dari bangku dan tiba-tiba melihat wali kelas yang berjalan kemari. Carla langsung menarik Irvan untuk bersembunyi di balik pintu kelas. "Jangan bersuara, wali kelasku datang."
Claudia memandang sekeliling kelas. "Kamu piket sendiri hari ini?"
Carla berdiri di depan pintu dan mengangguk. "Ya, Ibu Guru."
Melihat ekspresi Carla yang aneh, Claudia tidak terlalu memikirkan hal itu. Lalu, Claudia menunjuk ke lantai di luar. "Ingat pel lantai di luar juga. Lalu ... jangan lupa, surat introspeksi diri 800 kata."
Carla menjawab, "Aku tahu, Bu Claudia."
Setelah Claudia pergi, Carla menghela napas lega.
Irvan bertanya, "Surat introspeksi diri tentang apa?"