Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 8 Gairah di Pemandian Air Panas

"Kak Stella, penjahat yang tadi malam suruhan orang itu?" Kali ini Stella yang mengemudi. Hans duduk di sebelahnya. Mengingat kata-kata Stella tadi, dia berani menebak bahwa penjahat tadi malam ada hubungannya dengan Pak Toby. "Pintar sekali." Stella menambahkan sambil terkekeh. "Tapi dia cuma orang kecil aja." "Terus, kenapa ... dia sampai pengin membunuhmu?" Hans bertanya-tanya. "Urusan bisnis." Stella menjelaskan sambil menepi ke pinggir jalan, kemudian melirik kaca spion. "Tadinya aku mau ajak kamu jalan-jalan. Berendam di pemandian air panas, mendaki gunung atau semacamnya. Tapi aku nggak bisa hari ini. Aku harus beresin beberapa urusan dulu. Tunggu aku besok pagi-pagi di rumahmu." "Oh." Hans menggaruk kepalanya. Stella ingin dia turun dari mobil. Namun, saat salah satu kakinya terjulur keluar dari mobil, Hans tiba-tiba terpikirkan sesuatu dan menariknya kembali. Dia tidak jadi keluar dan pintunya ditutup lagi. Stella mengerutkan kening, lalu berkata dengan lembut, "Aku sibuk banget hari ini, kamu pulang naik taksi nggak apa, 'kan? Ini kubayari." Stella merogoh dompet untuk mencari uang pecahan kecil. "Kak Stella, aku punya uang buat naik taksi." Hans memandang Stella dan menjelaskan. "Kak, kamu lagi dalam masalah? Ada yang mengikutimu, 'kan?" Hans memperhatikan Stella terus memandang ke belakang melalui kaca spion. Ketika dia menoleh ke belakang dari sudut ini, memang ada sebuah mobil yang juga menepi di pinggir jalan. Kaca mobil itu hitam, jadi tidak terlihat siapa dan berapa orang di dalamnya. Stella seketika merasa geli. "Kamu juga sadar?" "Mobil itu sudah mengikuti kita sejak keluar dari hotel." Hans mengangguk. "Mereka orang-orang putus asa. Kamu ... kamu mau tetap tinggal dan membantuku?" Stella berpikir bahwa Hans tidak mau pergi karena ingin membantunya. Matanya berbinar-binar. Hans mengangguk dengan sangat mantap. Stella tersenyum tipis, ekspresinya agak terharu. Dia berhenti bicara, lalu segera memindahkan gigi dan menginjak pedal gas. "Oke kalau gitu, kencangkan sabuk pengaman." Mobil off-road itu mulai melaju kencang. Hans tidak minta Stella menjelaskan dan Stella juga fokus mengemudi. Beberapa saat kemudian, mobil itu keluar dari kawasan perkotaan dan masuk ke jalan tol lingkar luar. Mobil di belakang tidak terkecoh dan masih membuntuti. Mobil belakang jelas sadar bahwa mereka telah ketahuan. Meski begitu, mereka tidak menyerah untuk mengikuti. Setelah 20 menit di jalan tol lingkar luar, mobil keluar dari jalan tol dan masuk ke jalan raya, lalu terus melaju lurus memasuki jalan pegunungan. Sekitar 15 menit kemudian pukul sembilan pagi, mereka tiba di tempat yang disebut Resor Air Panas Jiwanta. Stella memarkir mobil dan melihat melalui kaca spion, tetapi tidak melihat tanda-tanda mobil hitam. Namun, pada saat ini, belasan pelayan yang mengenakan rompi berlari keluar dari pemandian, dipimpin oleh pria botak berjas. "Kak Stella." Pria botak itu menyapa Stella. "Di belakang ada mobil yang mengikutiku. Entah siapa pun itu, tangkap mereka semua. Nomor platnya BXXX," pinta Stella. "Bawa mobilku." "Baik." Lelaki botak itu segera memasuki mobil, lalu berseru, "Leo, Ivan, Erwin, Dion, kalian berempat masuk ke mobil. Lainnya lindungi Kak Stella di dalam." "Baik!" Para pelayan terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mengikuti pria botak ke dalam mobil dan pergi melaju kencang. Beberapa pelayan lainnya mengantar Stella dan Hans masuk ke pemandian air panas. Pemandian air panas kelihatannya belum buka karena tidak ada pelanggan sama-sekali. Hans penasaran, apa Resor Air Panas Jiwanta ini milik Kak Stella? Sesampainya di lobi, Stella mengganti sepatunya dan meminta pada salah satu pelayan. "Ariel, tolong antar Hans ke ruang ganti dan beri dia jubah mandi baru. Lalu, ajak ke Paviliun Merak." "Baik, Kak Stella. Pak Hans, mari ikuti saya." Para pelayan tidak mengetahui hubungan Hans dengan Stella, jadi mereka bersikap sopan. Hans khawatir akan keselamatan Stella sehingga dia berganti pakaian secepat mungkin di kawasan pria. Setelah mengenakan jubah mandi, dia bergegas menuju Paviliun Merak. Paviliun Merak sebenarnya adalah pemandian air panas yang terpisah. Paviliun Merak tidak dibuka untuk umum karena merupakan pemandian khusus milik Stella, tidak ada orang lain yang boleh menggunakan. Pintunya pun dijaga pengawal. Pelayan bernama Ariel mengantar Hans sampai luar Paviliun Merak, sebelum berbisik, "Kak Stella sudah di dalam. Silakan masuk." "Terima kasih." Hans langsung mencium aroma bunga yang kuat begitu membuka pintu. Tata ruang Paviliun Merak ini bertema hangat. Saat dia mendongak, terlihat langit biru yang terbentang di atas atap kaca. Ada pohon persik yang sedang mekar dan berbagai tanaman hias hijau dalam pot. Di tengah-tengah Paviliun Merak juga terdapat air mancur yang berisi air panas mendidih. Stella sudah masuk pemandian. Wanita itu juga sudah berganti pakaian. Kini dia mengenakan baju renang dengan punggung terbuka berwarna hijau motif bunga-bunga. Tubuh seksi dan menggairahkan Stella membuat api berkobar di perut Hans. Stella bermurah hati dan melambaikan tangan pada Hans. "Masuk, berendamlah sebentar. Baik buat kesehatan." "Nggak usah, aku duduk di sini aja, makan buah-buahan." Hans menolak. Dia tidak punya nyali. Pria dan wanita mandi bersama, terlalu ... terlalu melebihi batas. Stella tertawa ringan. "Aku perempuan aja nggak malu, kenapa kamu malu? Ayo, buruan masuk. Kamu duduk di sana cuma menghalang-halangi." "Menghalangi?" Hans tidak mengerti, tetapi dia berjalan bimbang menuju tepi pemandian dan melepas jubah mandinya. Begitu jubah mandinya dilepas, mata Stella berbinar. Dia melihat kulit yang keemasan dan otot perut yang berbentuk. Tubuh anak ini lumayan juga. Sayangnya, saat Stella hendak menikmati pemandangan bagian bawahnya, Hans sudah buru-buru berbalik dan masuk ke pemandian sambil memunggunginya. Stella tersipu dan berdecak dalam hati. Anak ini malah bereaksi, dasar ... Hans tidak berani berbalik sampai sekujur tubuhnya terendam air. Dia berkata dengan terbata-bata dengan tersipu, "Kak Stella, di luar ... kita ..." Maksudnya, di luar ada bahaya, mengapa malah berendam? Apa tidak masalah? Stella tersenyum. "Apa pun yang bakal datang pasti nanti datang juga." Setelah mengatakan itu, dia langsung bertanya, "Perasaanmu sudah lebih lega sekarang?" Stella juga mengedipkan mata pada Hans. Jantung Hans berdebar. Dia terlalu takut untuk melihat tubuh Stella, jadi dia memalingkan wajah dan menjawab. "Sudah, makasih, Kak Stella." "Kenapa malah berterima kasih? Harusnya aku yang terima kasih. Kalau bukan karena kamu tadi malam, aku mungkin sudah mati." "Nggak masalah. Sesama tetangga sudah sepantasnya saling membantu." Hans terus memalingkan wajah. Kulit Kak Stella yang putih berkilau tepat di hadapannya, membuat mulutnya terasa kering. Gejolak membara dalam perutnya tidak kunjung padam. Justru makin lama makin manas. Hal yang paling membuatnya tidak tahan adalah Stella terus menggerakkan kaki rampingnya di bawah air, sesekali menyentuh kaki Hans. Melihat ekspresi canggung Hans, Stella tertawa bangga, sampai tidak bisa menahan diri. Dia tertawa lepas dengan tangan menutupi mulutnya. Kegelisahan Hans tampaknya membuatnya senang. Hans memaksakan untuk tetap tenang agar tidak mempermalukan diri lagi. Tanpa diduga, Stella tiba-tiba berenang mendekat. Byur! Permukaan air berkelebat saat Stella berenang ke arahnya. Hans secara refleks ingin mundur, tetapi tidak ada ruang di belakangnya. Akhirnya, dia bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Saat itulah Stella berbisik lembut di telinganya. "Kalau ada yang tiba-tiba masuk, sembunyi di belakangku." Embusan napasnya membuat telinga Hans tergelitik. Apa lagi, Hans bahkan merasakan riak yang menekan lengannya ...

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.