Bab 8
Hans bergeming. Wawan mengira Hans ketakutan, wajahnya bangga.
"Ini pria yang bikin kamu kabur dari pernikahan? Selain lebih muda dan lebih tampan, nggak punya uang dan nggak ada kemampuan apa pun. Benar-benar pengecut dan lemah!"
Dia memandang rendah Hans dengan ekspresi penuh penghinaan.
Henry mengorek telinga. "Binatang peliharaan siapa yang lepas? Benar-benar berisik!"
Sontak, Wawan murka.
Dia mengutuk dengan kasar, "Bajingan dari mana ini, beraninya menghinaku! Kalau aku nggak habisi kamu hari ini, aku bukan Wawan Sucipto. Semuanya, hajar dia sampai mati!"
Beberapa pengawal menyerang ke arah Hans.
Namun, begitu mendekat, mereka langsung ditendang jatuh oleh Henry.
"Sialan! Dasar nggak berguna!"
Wawan mengutuk sambil menelepon, lalu menatap ketiga orang itu. "Hari ini, kalian jangan pikir bisa pergi dari sini!"
"Ya, nggak akan pergi." Henry berbaring di sofa dengan santai. "Kami tunggu kamu bawa bantuan."
"Bajingan, sombong sekali! Tunggu saja, sebaiknya kepalamu tetap keras seperti sekarang!"
Selesai berkata, sekelompok orang masuk dengan gagah berani.
Melihat bantuan datang, Wawan segera maju menyambut. "Pak Sofyan, akhirnya kamu datang! Kamu harus bantu aku hari ini, hajar beberapa bajingan ini!"
Sofyan Cahyono menaikkan alisnya. "Tenang saja, nggak ada yang bisa mengganggumu di wilayahku. Aku akan membelamu hari ini dan hajar bajingan-bajingan ini!"
Wawan tersenyum dan menunjuk ke arah Hans yang duduk di sudut sofa. "Pak Sofyan, dia orangnya!"
"Aku lihat, siapa yang berani ... "
Belum selesai mengumpat kata-kata kotor, ucapannya terhenti ketika melihat wajah pria itu.
Wajah Sofyan pucat, punggungnya basah kuyup oleh keringat dingin.
Dengan kaki yang lemas dan gemetar, dia berjalan bungkuk ke depan kedua orang itu. "Pak Hans, Pak Henry ... "
Wawan belum mengerti situasinya, dia mengingatkan di belakang dengan cemas, "Pak Sofyan, jangan lepaskan mereka, hajar mereka sampai mati! Berani menghinaku, benar-benar bosan hidup. Biar mereka lihat kehebatan Pak Sofyan ... "
Belum sempat selesai bicara, Sofyan langsung menendang Wawan hingga tersungkur.
Wawan berteriak kesakitan, "Pak Sofyan, "Kenapa kamu menendangku?"
"Merekalah yang harus dihajar!"
"Diam!"
Sofyan menggertakkan gigi, ingin menendang Wawan sampai mati. "Kamu tahu siapa yang ada di depanmu? Ini adalah Pak Hans! Berani hina Pak Hans, aku rasa kamu sudah bosan hidup!"
Pak Hans?
Hans Septian?
Telinga Wawan berdengung, dia tercengang!
Jari-jari Hans memegang rokok yang sedang menyala, lalu menatap Wawan. "Tadi kamu berteriak, sekarang bisu?"
Wawan ketakutan dan terkulai ke lantai, lalu menampar dirinya sendiri.
"Pak Hans, aku nggak tahu diri! Tapi, aku juga nggak bersalah. Dia yang menggodaku, menarikku ke kamar! Aku nggak menyentuhnya! Nggak terjadi apa-apa, aku jamin!"
Julia tersentak dan tubuhnya kaku.
Kata-kata Wawan seperti pisau yang menggantung di atas kepalanya.
Dibandingkan dengan Wawan, dia lebih takut membuat Hans marah. Bagaimanapun juga, pria ini lebih kejam.
Hans mengernyit, wajahnya yang awalnya acuh tak acuh menjadi makin suram. "Pergi dari sini!"
"Terima kasih, Pak Hans. Aku akan pergi sekarang juga ... "
Wawan panik dan bangkit, lalu berlari keluar.
Hans mematikan puntung rokok.
Sofyan pandai melihat situasi. Dia segera mengulurkan tangannya untuk menjadi tempat abu rokok.
"Urus sendiri orangmu," sahut Hans dengan nada dingin.
Sambil menyeka keringat dingin di dahinya, Sofyan segera berkata, "Jangan khawatir, Pak Hans. Aku pasti akan tangani dengan baik!"
Akhirnya lolos dari bencana.
Julia menghela napas.
Tiba-tiba ada rasa tekanan yang kuat di atas kepala.
Dia mendongak.
Hans menyipitkan mata, lalu berkata dengan nada dingin, "Pulang sana, jangan bikin malu di sini!"
Mendengar kata-kata ini, sekujur tubuh Julia gemetar.
Tak peduli Hans salah paham atau tidak, Julia segera keluar dari kamar.
Namun, dia tidak langsung pergi, karena dia tidak boleh kehilangan pekerjaan ini!
Meskipun takut dan sedih, dia harus tetap bertahan. Dia benar-benar sangat kekurangan uang!
Hans begitu sibuk, pasti tidak akan sebosan itu untuk melakukan pemeriksaan.
Setelah mencuci wajahnya, Julia menenangkan diri dan kembali bekerja.
Keesokan harinya di pukul enam pagi, dia kembali ke rumah keluarga Septian dengan tubuh yang lelah.
Baru saja masuk ke ruang depan, dia langsung bertemu dengan Harris. "Kamu pergi sepagi ini?"
Mata Julia berkedip-kedip, dia hanya bisa berbohong, "Aku pergi berolahraga pagi, berlari dua putaran."
"Kebiasaan yang baik, anak muda harus penuh semangat."
Harris tersenyum lebar dan berkata, "Waktu itu aku dengar dari ibumu, kamu baru lulus dari universitas pada bulan Juni. Kamu belum menemukan pekerjaan?"
Julia menundukkan kepalanya dengan getir dan mengangguk.
"Ada lowongan di perusahaan. Setelah sarapan, mintalah Pak Carya untuk bawa kamu lakukan proses perekrutan."
Mendengar kata-kata ini, Julia hampir tidak percaya.
Setelah sadar kembali, dia sangat senang. "Terima kasih, kakek."
Pukul sembilan.
Mobil hitam berhenti di bawah gedung Grup Septian.
Gedung menjulang tinggi, sungguh menakjubkan.
Julia ikut Pak Carya masuk ke perusahaan, lift berhenti di lantai dua puluh delapan.
Keluar dari lift, terlihat Hamid Ghazali berjalan ke arah mereka. Pak Carya melambaikan tangan. "Pak Hamid, tolong bawa Bu Julia urus prosedur masuk kerja?"
"Baik, mohon Bu Julia ikuti aku."
Mendengar panggilan ini, Julia merasa sedikit canggung.
"Panggil saja aku Julia, atau bisa juga panggil Nona Julia."
Setelah menyelesaikan prosedur pendaftaran, Hamid membawanya ke tempat kerja. Dia menjelaskan tentang pekerjaan Julia, lalu memasukkannya ke dalam grup Whatsapp perusahaan.
Selesai merapikan dokumen, telepon di meja berdering. Julia mengangkat telepon.
"Halo?"
"Antarkan dua gelas kopi tanpa gula ke ruang istirahat."
Selesai berbicara, orang itu langsung menutup telepon.
Julia menyiapkan kopi, lalu segera menuju ruang istirahat.
Kedua tangannya membawa kopi, sehingga harus memiringkan tubuhnya dan mencoba membuka pintu dengan bahu.
Tidak disangka, pintu tiba-tiba ditarik dari dalam.
Tubuhnya terjatuh, Julia langsung menabrak seorang pria. Julia seketika meringis kesakitan.
Belum sempat bereaksi, terdengar suara dingin pria dari atas kepala, "Kenapa kamu di sini?"
Suara ini, terdengar begitu akrab ...
Ternyata dia!
Hans!
Julia mendongak, wajah dingin dan tegas Hans muncul di depan mata.
Julia terdiam sejenak, bersiap-siap untuk menjelaskan, "Aku ... "
"Kamu sibuk sekali hari ini. Semalam asyik bergaul di tempat begitu. Pagi-pagi buta sudah datang ke sini untuk menyanjung?" Ucapan Hans yang nyelekit menyela penjelasannya.