Bab 6
Setelah keluar dari rumah sakit, Julia memanggil taksi dan memberikan alamat.
Setengah jam kemudian, mobil berhenti di depan sebuah gang kecil.
Gang itu gelap dan suram, masih tercium bau yang tidak sedap.
Mendekati pintu rumah seseorang, Julia mengetuk pintu dengan lembut.
"Siapa itu, tunggu."
Pintu terbuka, Belva yang kurus kerempeng muncul di depan mata.
Melihat Julia, dia terkejut, "Julia, kamu datang? Ayo, masuklah."
Kamar hanya sekitar dua puluh meter persegi. Penuh dengan barang-barang, tetapi tersusun dengan rapi.
Meskipun siang hari, lampu harus dinyalakan karena tidak ada jendela.
Di atas meja kecil terdapat mie yang baru saja dihidangkan, polos tanpa sayuran hijau.
Mata Julia memerah, air mata mengalir deras. Dia berkata sambil terisak, "Bu, bukankah Ibu bilang kakek sudah bayar biaya pengobatanmu. Kenapa Ibu bohongi aku?"
Belva sangat sedih, lalu mengusap air mata Julia. "Julia, manusia nggak boleh serakah. Pak Harris nggak keberatan dengan kemiskinan keluarga Gunawan, sudah cukup baik hati untuk penuhi janji perjodohan."
"Aku temui Herman sekarang juga!"
"Coba saja kalau berani!"
Belva menegur dengan tegas, "Untuk apa temui Herman? Agar dia bayar biaya pengobatanku, lalu terus menyiksamu. Memaksamu menikah dengan pria tua yang berusia lebih dari setengah abad?"
Julia tidak bersuara, dia hanya mengusap air mata dengan kasar.
"Lebih baik aku mati daripada hancurkan masa depan putriku," ujar Belva sambil tersenyum pahit. "Pakai uang musuh untuk pengobatan. Julia, kamu pikir ibu mau diobati?"
"Apa kamu benar-benar rela meninggalkanku? Melihat putrimu dijahati, nggak ada yang peduli dan mencintainya?"
Hati Belva seperti teriris, tetapi wajahnya tetap tersenyum. "Ibu nggak bilang nggak mau berobat. Ibu sedang menunggu di rumah, menunggu Julia menghasilkan uang dan membawaku berobat."
Julia memaksakan senyuman, tetapi tidak bisa tersenyum.
Dia tidak punya uang sedikit pun, sedangkan ibunya membutuhkan ratusan juta.
Meskipun gajinya dua puluh juta, tanpa makan dan minum pun dia masih perlu menabung dua atau tiga tahun.
Apakah ibu bisa menunggu sampai saat itu?
"Bu, aku akan menginap di sini malam ini untuk menemanimu, boleh?"
Belva tertawa,"Nggak. Setelah menikah jangan sampai nggak pulang. Dengarkan kata ibu, cepatlah pulang."
Pukul delapan malam. Setelah diingatkan berkali-kali oleh Belva, Julia akhirnya pergi dengan enggan.
Kembali ke rumah keluarga Septian, sudah pukul sepuluh malam.
Kamar gelap gulita, Hans belum pulang.
Mungkin dia masih menemani Anita di rumah keluarga Sianto.
Namun, Julia tidak peduli dan tidak merasa sedih.
Meskipun dia dan Hans adalah suami istri, pernikahan ini hanya transaksi.
Sambil berbaring di sofa, Julia tidak merasa mengantuk sedikit pun. Penyakit ibunya seperti batu yang menekan di dadanya, membuatnya sulit bernapas.
Di benaknya, tidak sengaja teringat kartu hitam yang diberikan Hans kepada Anita.
Tidak disangka, suatu hari dirinya akan iri dan cemburu pada Anita.
Julia tersenyum getir.
Dia memusatkan pikiran, lalu menelepon sahabatnya, Agnes Lukito.
"Apa ada lowongan pekerjaan? Apa pun pekerjaannya, asalkan bisa segera mulai bekerja. Pekerjaan paruh waktu juga boleh."
Agnes menguap. "Aku baru lihat iklan lowongan pekerjaan di Instagram. Bar Blanca di ibu kota sedang cari petugas kebersihan, dari jam delapan malam hingga jam enam pagi. Apa kamu mau coba?"
Bar?
Julia mengernyit.
Mengingat situasinya sekarang, dia tetap menerima. "Kirimkan alamatnya padaku."
Dua hari kemudian, Julia sudah terbiasa dengan pekerjaannya.
Hari ini, setelah dia selesai membersihkan toilet dan duduk, Pak Chandra datang. "Ganti pakaianmu dan antar minuman ke ruang 408."
Julia tidak mau. "Aku hanya seorang petugas kebersihan, antar minuman bukanlah pekerjaanku."
Pak Chandra kesal. "Sekarang sedang kurang orang."
Julia berdiri diam.
"Bisa atau nggak, kalau nggak bisa, pergi dari sini!" Pak Chandra hilang kesabaran.
Julia ragu selama dua detik, akhirnya tetap kompromi.
Dia sekarang butuh uang.
Setelah mengganti pakaian, Julia membawa minuman pergi ke ruang 408.
Di dalam ruangan, bau asap rokok menusuk hidung.
Rasa mual yang tidak enak muncul, Julia menahan niatnya untuk muntah. "Ini minuman yang kalian pesan."
Mendengar suaranya, pria yang duduk di pojok tiba-tiba mendongak.
" ... "
Julia sangat terkejut dan mundur beberapa langkah.
Pria itu adalah Wawan!
"Kamu mempermalukanku di hari pernikahan. Aku belum sempat cari perhitungan denganmu, hari ini kamu datang sendiri ke hadapanku!"
Julia panik, hendak berbalik dan pergi.
Siapa sangka, Wawan lebih cepat bertindak darinya. Dia seketika merangkul bahu Julia dan membawanya keluar.
Wajah Julia pucat, berontak dengan keras.
Namun, wanita memang bukan lawannya pria.
Dia ditarik keluar dari ruangan dengan paksa.
Sementara itu, di tikungan, tepat ada dua sosok yang lewat.
"Eh, itu bukannya kakak ipar?"
Henry mengedipkan matanya dan segera mengubah panggilan. "Istrimu? Mengapa berselingkuh?"
Hans mengernyit, matanya melihat ke arah sana.
Terlihat, wanita itu mengenakan terusan hitam yang ketat.
Terusannya hanya bisa menutupi pantat, kaki rampingnya putih halus.
Hans memancarkan cahaya dingin yang penuh dengan kebencian di matanya.
Henry memicingkan mata genitnya.
Dia selalu suka melihat keramaian. Dia pun bersandar di dinding dengan santai, sambil mengambil sejumput kuaci dari saku dan menikmatinya.
Di sisi lain.
Julia diam-diam melangkah cepat, ingin meninggalkan Wawan.
Wawan adalah orang yang cerdas, dia segera mengetahui niat Julia dan menekan tubuhnya ke dinding.
Sambil meraba-raba, dia memerintahkan bawahannya, "Ayolah, sudah datang ke sini juga. Kepung!"
Sekelompok pria berpakaian jas datang dan mengelilingi dua orang di tengah.
Dada Julia berdebar-debar, tubuhku tegang. "Jangan mendekat, pergi!"
Wawan mencibir, "Pergi? Sekarang, aku akan laksanakan malam pertama itu!"
Selesai berkata, dia segera menarik rok Julia.
Julia terus-menerus mengingatkan dirinya sendiri di dalam hati, 'Jangan panik, jangan kacau, tetap tenang!'
Sekarang, hanya bisa menyelamatkan diri!
Di sudut.
"Mulai lepas celana ... " Tangan Henry gemetar sambil menunjuk ke depan. "Perselingkuhan di depan mata ... "
Belum selesai bicara, tiba-tiba dia merasakan aura dingin menyerang tubuhnya.
Henry pun gemetar kedinginan.
Dia berdeham dua kali, meredakan kemarahan pria itu. "Napoleon pernah berkata, diselingkuhi nggak akan pengaruhi kehebatan seseorang."
Hans mengatupkan bibir tipisnya, menatapnya dengan muram.
Henry tertawa canggung. "Sebenarnya, menurutku, dia mungkin dipaksa! Bayangkan saja. Kalau mau menggoda pria, pasti dia akan goda kamu. Toh, kamu punya uang dan wajah tampan, perut six-pack. Lihatlah pria itu, perutnya lebih besar dari ibu hamil delapan bulan. Dia nggak buta dan nggak gila, 'kan? Kalau begitu, mari kita ke sana."
"Ya."
Hans menahan keinginan membunuh yang meluap di hatinya.
Meskipun hanya pernikahan kontrak, ada batasan bagi seorang pria.
Kakinya yang panjang dan menawan melangkah maju.
Henry mengikutinya di belakang.
Dia ini selalu suka menyelamatkan wanita cantik!
Siapa tahu, hanya beberapa langkah saja, terdengar suara perempuan yang manja, "Aku malu lakukan hal ini di lorong, mari kita ke kamar. Oke?"
"Baiklah, sayang, aku turuti kemauanmu."
Sekujur tubuh Wawan menjadi lemas.
Dia memeluk Julia dan pergi ke kamar tanpa menoleh.
Suhu tiba-tiba turun ke titik beku.
Tubuh Hans berhenti, kakinya tepat menginjak anak tangga terakhir.
Di belakang, Henry tidak menghentikan langkah dan langsung menabrak punggung lelaki yang tegap dan lebar.
Dia mengusap hidungnya yang sakit karena benturan, lalu bertanya, "Kenapa nggak lanjut jalan?"
Mata Hans memancarkan cahaya dingin dan rasa jijik. "Jangan merusak kebahagiaan orang lain."
Kemudian, pergi tanpa menoleh.
Makin jauh, akhirnya menghilang tak terlihat.