Bab 14
Dokter memberikan laporan dan menjelaskan, "Ini adalah hasil tes darah, hormon korion gonadotropin manusia dalam darah pasien adalah 36U/L. Biasanya kalau lebih dari 25U/L berarti sedang hamil."
Mendengar kata-kata itu, wajahnya menjadi merajuk.
Tidak disangka-sangka perut Julia begitu tangguh, hanya dalam satu malam, dia hamil.
Saat membuka mata, Julia tepat mendengar ucapan dokter tersebut.
Dia terkejut dengan merasa ledakan keras di kepalanya.
Dia ternyata hamil.
Dokter melanjutkan, "Flu yang dia derita cukup parah. Pengobatan mungkin akan memakan waktu lama untuk sembuh dan juga akan berdampak pada janin. Saran saya adalah dengan memberikan cairan infus. Jadi, apa pendapatmu?"
"Minum obat."
"Infus."
Dua suara terdengar dengan berbarengan.
Julia melihat dokter dengan lemah dan berkata, "Saya mau disuntik infus."
"Baik, saya akan segera mengambil obat."
Setelah dokter pergi, Anita dengan sinis berkata, "Oh, sudah bangun. Apa kamu mau gugurkan anak haram ini?"
Julia merasa bingung. "Nggak ada hubungannya denganmu."
"Seorang ibu yang sakit parah, ditambah dengan seorang anak haram yang nggak tahu siapa ayahnya. Kamu begitu miskin, apa kamu bisa menghidupinya?" Anita mengejek, "Gugurkan saja. Dia cuma akan jadi beban. Kalau keluarga Septian tahu lagi, apa yang kamu pikirkan akan terjadi?"
Julia baru akan membalas perkataannya, Hans justru membuka pintu dan masuk. "Apa yang kamu pegang di tangan?"
Tiba-tiba Anita merasa panik dan bingung.
Ekspresi wajah Julia berubah dan jantungnya hampir melompat keluar. Dia menenangkan diri dan menjawab, "Bukan apa-apa, ini adalah resep obat dari dokter."
Setelah tersadar, Anita dengan panik menyelipkan lembaran laporan ke dalam tasnya.
Dia tidak boleh membuat Hans mengetahuinya.
Jika dia tahu bahwa anak yang dikandung Julia adalah anaknya, pasti akan terungkap bahwa dia menggantikan Julia. Pada saat itu, posisi sebagai istri Hans pasti tidak akan ada lagi.
Melihat wajah tampan pria itu, Julia dengan ekspresi kaku bertanya, "Bagaimana kamu bisa ada di sini?"
Hans bertanya balik, "Menurutmu?"
Julia melihatnya sekilas, lalu melirik Anita. "Dia sengaja membawanya ke rumah sakit, membuatku berlutut untuk minta maaf?"
Dia tidak berpikir bahwa Anita akan mengantarnya ke rumah sakit.
Hans tidak akan berbaik hati.
Wajah Hans memucat, apa-apaan dia ini?
Perasaan Julia tak menentu dan pikirannya penuh dengan masalah kehamilannya. Dia sama sekali tidak peduli dengan perkataan Hans.
Wajahnya terlihat lesu, dia berkata dengan putus asa. "Aku bisa meminta maaf dan mengundurkan diri. Aku nggak mau pekerjaan ini lagi, tapi apa kamu bisa buat Bu Layla tetap bekerja? Toh ini menyangkut dengan nyawa seseorang."
Hans mendongak dan melihat ke arahnya.
Wajah kecil itu terlihat lelah dan pucat, tanpa ada kehidupan. Berbeda sekali dengan kemarin yang cerah dan bersih.
Hanya pilek biasa, tidak ada demam sama sekali.
Wanita ini benar-benar lemah tubuhnya.
Dia menggerakkan bibir tipisnya dan dengan baik hati mengatakan, "Kamu diberi cuti selama dua hari. Setelah cuti berakhir, kamu bisa kembali kerja di kantor."
Pikiran Julia kosong, seluruhnya terfokus pada kehamilannya. Dia sama sekali tidak mendengarkan perkataan Hans.
Anita tidak rela. "Pak Hans, kenapa kamu masih membiarkannya kerja di kantor?"
"Hanya petugas kebersihan, nggak masalah baginya."
Anita juga berpikir begitu, lalu dia berkata lagi, "Tapi, dia akan menindasku."
Hans memperingatkan, "Tapi ingat, jangan lagi mengganggu Anita."
Julia mengangkat kepala dengan kebingungan. "Aku nggak mengganggunya, dia yang menggangguku."
"Dia sama sekali bukan lawanmu, dia hanya tampak sombong dan arogan di permukaan. Sedangkan kamu terlihat polos, baik hati, dan nggak berbahaya. Tapi, sebenarnya licik dan penuh tipu muslihat ... " Hans mengerutkan keningnya. "Meskipun dia mengganggumu, kamu harus menahannya. Karena ini harga yang harus kamu bayar untuk merebut posisinya."
Julia tersenyum. "Heh ... "
Dengan senang Anita tersenyum dan memeluk lengan Hans. "Hans, tolong antarkan aku pulang malam ini."
"Hmm."
Anita dengan bangga berujar, "Pak Hans akan pulang sangat larut hari ini. Jadi, Kakak nggak perlu menunggu."
Setelah selesai bicara, kedua orang itu pergi.
Julia larut dalam pikirannya sendiri, tanpa ada reaksi apa pun.
Saat dokter menusuk jarum infus, dia pun bertanya, "Sudah berapa lama kehamilanku?"
Dokter menjawab, "Tes darah hanya bisa mengetahui apa ada kehamilan atau tidak, untuk hal lainnya perlu dilakukan USG."
"Terima kasih."
Setelah pemasangan infus selesai, Julia mencari dokter untuk mendapatkan resep USG.
Kemudian, dia pergi ke ruangan dokter dengan membawa lembaran laporan.
Dokter berkata, "Kehamilan memasuki empat minggu."
Dada Julia berdebar-debar dalam keheningan.
"Kamu nggak ingin mempertahankannya?"
"Aku ... "
Julia tidak tahu bagaimana harus menjawabnya, dia memang tidak ingin.
Meskipun Anita sangat jahat, dia hanya mengatakan fakta.
Sekarang dia bahkan tidak bisa membiayai dirinya sendiri dan ibunya, apalagi memiliki anak.
Jika Hans mengetahuinya lagi, konsekuensinya pasti tidak bisa dibayangkan.
Dokter memandangnya sejenak. "Kalau kamu nggak ingin mempertahankannya, kamu harus melindungi diri dengan baik. Ada satu hal lagi yang harus aku beri tahu."
"Posisi tubuhmu condong ke belakang membuatmu sulit untuk hamil. Kalau kali ini kamu gugurkan kandungan, kamu akan sulit untuk hamil lagi ke depannya."
Mendengar kata-kata itu, Julia meremas jari-jarinya dengan ragu.
Melihat dia bimbang, dokter menyarankan, "Biasanya dalam 49 hari, kamu bisa memilih aborsi medis. Jadi, masih ada banyak waktu. Kamu bisa pulang dan berpikir dengan baik. Datang kembali ke rumah sakit setelah memutuskannya. Kamu cantik sekali, bayi yang kamu lahirkan pasti juga cantik."
Keluar dari rumah sakit, Julia makin merasa bingung.
Tetap pertahankan atau tidak?
Jika tetap dipertahankan, tetapi dia bahkan tidak tahu siapa ayah anaknya.
Jika digugurkan, mungkin nanti dia tidak akan pernah memiliki anak lagi.
Makin dia berpikir, dia makin merasa kacau. Kepalanya yang awalnya sudah terasa pusing makin terasa berat dan menusuk, seperti jarum menusuk hingga membuatnya sulit bernapas.
Pada saat ini, dia merindukan ibunya tanpa alasan yang jelas.
Jadi, dia menelepon Belva dan memberitahunya bahwa dia akan tiba sekitar satu jam kemudian.
Baru turun dari bus, dia melihat sosok yang dia kenal sedang berdiri di pinggir jalan.
Mata Julia mulai terasa berair.
Selama dia pulang, ibu akan selalu menunggu di persimpangan jalan.
Dia berlari ke arah ibunya. "Ibu sudah menunggu di sini berapa lama?"
"Belum lama." Belva tertawa, lalu berkata, "Kenapa beli begitu banyak, boros sekali."
Meskipun mengomel, dia masih dengan penuh kasih menerima barang yang ada di tangan Julia.
"Nggak banyak. Hanya susu, telur, daging, dan sedikit suplemen nutrisi untuk memperbaiki tubuh Ibu."
Sambil berbicara, keduanya kembali ke dalam rumah.
Meskipun ruangan di rumahnya terbatas, Julia merasa sangat hangat. "Ibu, malam ini kita tidur bersama, ya."
Belva sedang memilih sayuran. "Bagaimana bisa?"
"Aku sudah menelepon kakek sebelumnya."
Belva tidak mengatakan apa-apa lagi.
Sesaat kemudian, makanan sudah siap.
Mereka mengambil sepotong daging merah yang harum, begitu dimasukkan ke mulut, Julia langsung merasa sangat mual.
Dia segera keluar dan muntah.
Belva merasa sangat khawatir dan bertanya, "Apa kamu sakit?"
Julia menunduk seraya menyahut, "Nggak, aku hanya pilek. Makan-makanan berminyak membuat perutku nggak nyaman."
"Jaga tubuhmu dengan baik."
"Hmm." Julia memikirkan sejenak, lalu bertanya, "Bagaimana perasaan Ibu waktu tahu kalau kamu sedang hamil?"
Tangan Belva mengelus bahu Julia. "Ibu sangat terkejut, takut, dan senang. Ibu nggak bisa ungkapkan dengan kata-kata. Hamil adalah hal yang sangat menyenangkan, tapi Ibu takut nggak bisa menjadi sosok ibu yang bertanggung jawab. Ibu takut nggak bisa merawat anak Ibu dengan baik. Tapi, merasakan gerakan janin bayi, Ibu merasa sangat bahagia."
Julia memeluknya erat.
Belva penasaran dan sontak bertanya, "Kenapa tiba-tiba kamu tertarik untuk bertanya hal ini? Apa kamu sedang hamil?"