Bab 12
Layla jatuh terkulai. "Aku nggak takut miskin, nggak takut susah, tapi memang nggak ada jalan keluar ... "
Melihat dia sudah mulai menyerah, Julia menghela napas lega.
Tanpa sengaja, Yana melihat Hans, dia seperti menemukan seorang penyelamat. "Pak Hans, Bu Layla telah bekerja untuk Grup Septian selama lima tahun dengan hati-hati dan tekun. Kalau dia nggak melakukan kesalahan, dia tidak boleh dipecat."
"Pemecatan adalah keputusan atasan terhadap bawahan, tentu ada alasan di baliknya."
Suara Hans terdengar dingin. "Pemecatan karyawan adalah proses yang normal. Kalau dipecat dan mengancam untuk bunuh diri, apa perusahaan masih akan beroperasi?"
Julia terkejut dan tatapan matanya tampak redup.
Meskipun pernah mengalami kekejamannya, ketidakacuhannya, dan kemarahannya, saat ini dia masih saja merasa terkejut.
Dia merasa sedih dan hampa.
Di mata orang kaya, nyawa manusia begitu tidak berharga.
"Apa Pak Hans memintaku untuk berlutut dan meminta maaf besok? Aku berjanji kepadamu, besok aku akan menulis surat pernyataan yang baik, berlutut, dan meminta maaf di depan umum. Tapi, apa kamu bisa tetap mempekerjakan Bu Layla?"
Julia menundukkan kepalanya dan dengan susah payah berbicara.
Melihat wajahnya yang pucat, tetapi penuh dengan permohonan membuat pandangan Hans makin intens dan misterius.
Sejenak kemudian, dia menyeringai. "Aku tunggu."
Julia merasa sangat bersemangat dan merasa gembira di dalam hati yang sulit diungkapkan.
Dia berbalik. "Bu Layla, kemarilah. Pak Hans sudah setuju untuk nggak memecatmu. Cepatlah, kita turun."
Suara lembut dan halus seperti menghibur anak kecil yang membuat Hans tak bisa menahan diri untuk melihatnya lebih lama.
Kemarahan dan kekesalan Layla juga hilang begitu saja.
Dengan genangan air yang ada di lantai, dia bangun dengan sedikit tergesa-gesa. Hal itu membuat kakinya tergelincir dan tubuhnya jatuh ke belakang.
Semua orang di ruangan itu langsung terpaku.
Julia mendekat dan tidak sempat banyak berpikir. Dia secara refleks menggenggam tangan Layla.
Tubuhnya terlalu kurus. Meskipun dia menahan, dia juga ditarik ke depan.
Jaraknya sekitar lima puluh hingga enam puluh lantai, jatuh dari sana pasti akan mati.
Julia terlalu takut untuk membuka matanya.
Situasinya benar-benar sangat kritis.
Tiba-tiba, lengannya dipegang oleh seseorang.
Julia menolehkan kepalanya.
Hans berdiri di atas dan menatapnya dari atas, tangannya yang besar menariknya ke atas dengan sangat kuat.
Julia terkejut, dia tiba-tiba menolong.
Di belakang, Anita mengentakkan kakinya dengan marah.
Hanya sedikit lagi, orang kecil ini akan mati terjatuh.
Pada saat ini, orang-orang di sekitar juga sadar dan berbondong-bondong datang membantu.
Akhirnya, kedua orang itu ditarik ke atas.
Julia terduduk lemas. Dia baru merasakan rasa takut yang muncul di lubuk hatinya.
Melihat wajahnya yang penuh dengan air hujan dan duduk diam, Hans mengerutkan keningnya. "Bangun."
Julia menjawab, "Kaki ... kakiku lemas, nggak bisa bangun ... "
Hans memicingkan matanya dan diam-diam memandangnya.
Melihat situasi ini, Julia hanya bisa memaksakan diri untuk bertahan.
Baru saja berdiri, kaki yang lemas hingga membuatnya terjatuh lagi.
Hans mengangkatnya tanpa ekspresi. Dia menggendong Julia di dalam pelukannya. "Sadarlah."
Julia terkejut hingga matanya melotot
Anita yang berdiri di sampingnya juga sangat terkejut.
Dia sangat marah dan ingin sekali melompat untuk menerjang Julia, lalu mengoyaknya menjadi serpihan.
Setelah tersadar, wajah Julia tiba-tiba memerah. Dia pun berontak. "Lepaskan aku, aku bisa berjalan sendiri."
Anita berkata dengan gigi terkatup, "Hans, aku bisa membantu kakakku berjalan. Bajumu basah semua, kamu bisa kedinginan."
Hans mengernyitkan keningnya. "Masih waktu kerja kenapa masih di sini?"
Anita terkejut.
Dia selalu merasa bahwa ekspresi wajah Hans tidak terlihat menyenangkan dan sikapnya terhadap dirinya juga agak aneh.
Namun, dia tidak berani bertanya, takut membuat Hans marah.
Jadi, dia hanya bisa berkata, "Hans, aku akan kembali bekerja."
Setelah selesai bicara, dia menatap Julia dengan marah sebelum pergi dengan enggan.
...
Julia berpikir dia akan ditinggalkan di ruang istirahat, tetapi tidak disangka, Hans membawanya pergi dan kembali ke rumah keluarga Septian.
Kakek sedang makan malam.
Melihat dua orang masuk, dia tersenyum dan berkata, "Kalian berdua sudah pulang. Ayo, cepat makan malam."
Pelayan dengan cepat menambahkan alat makan.
"Julia, hari ini adalah hari pertama kamu bekerja, apa kamu sudah terbiasa?"
Julia mengangguk. "Sudah, Kek."
"Dia, apa dia menindasmu?"
Mendengar kalimat ini, Hans dengan tajam menatap Julia.
Julia menggelengkan kepalanya. "Nggak, Pak Hans sangat baik padaku. Dia juga sangat memperhatikanku, bahkan membiarkanku naik mobil bersamanya untuk pulang."
Hans mengangkat alisnya, tidak berkata apa-apa, dan melanjutkan makan.
Jelas, dia sangat puas dengan jawaban Julia.
Kakek merasa tidak puas, dia menatap dengan mata terbelalak. "Sudah menikah, kamu masih memanggilnya Pak Hans?"
Julia menggigit bibirnya dan dengan berani berkata, "Hans."
Hans memandangnya dengan mata yang dalam dan gelap, meliriknya sebentar.
Tidak berani menatapnya, Julia menundukkan matanya dengan malu-malu. Dia hanya menatap bubur yang ada di dalam mangkuk.
Kakek mengira dia malu. Dia pun tersenyum dan menyipitkan matanya. "Benar, panggil begitu mulai sekarang."
Setelah makan malam, Julia kembali ke kamarnya dan mandi air hangat.
Baru saja keluar dari kamar mandi, dia bertemu dengan Hans.
Julia sudah mengenakan gaun tidur. Karena baru saja mandi, pipinya yang putih dan halus terlihat merah dan basah.
Pandangan mata Hans menjadi dalam dan tenggorokannya menjadi gatal.
Dia mencium aroma jeruk yang segar dan ringan. Wanginya terasa sangat familier, seakan pernah menciumnya di suatu tempat.
Julia menundukkan kepalanya, melihat pakaian yang dikenakannya sendiri.
Dada dan pinggangnya tidak terekspos, hanya betisnya yang terlihat.
Dia merasa tidak nyaman dengan tatapan Hans. Dia menarik-narik gaun tidurnya ke bawah dan berbicara untuk memecah kecanggungan, "Terima kasih atas pertolongan hari ini di atap."
Hans tiba-tiba tersadar bahwa dia telah kehilangan konsentrasinya, dia dengan nada dingin menjawab, "Lebih baik kamu menulis surat pernyataan daripada berusaha untuk menarik perhatianku."
Kemudian, dia masuk ke kamar mandi.
Dia menutup pintu kamar mandi dengan kencang.
Rasa terima kasih yang ada di dasar hati Julia telah hilang begitu saja.
Dia mengambil kertas dan pulpen. Dia duduk dengan murung di sofa.
Dia menulis, mengubah tulisannya, lalu mengubahnya lagi.
Baru saja menulis dua kalimat, dia tiba-tiba merasa pusing dan kelopak matanya terasa berat.
Dia menggoyang-goyangkan kepalanya. Julia ingin tetap sadar, tetapi tidak bisa menahan kantuk yang datang, akhirnya dia tertidur lelap.
Begitu bangun, langit sudah terang.
Dia terbatuk kecil. Rasa pusingnya tidak berkurang, tetapi makin parah dan tenggorokan juga terasa sakit.
Kemarin hujan sangat deras, dia basah kuyup dan pasti flu.
Julia merasa tidak nyaman berbaring di sofa dan tidak ingin bergerak sama sekali.
Namun, saat dia memikirkan bahwa dia harus pergi ke kantor, dia tetap memaksakan diri untuk membuka mata dan meraba-raba ponselnya.
Ketika melihat jam delapan, Julia langsung sadar.
Dia dengan susah payah bangun dari tempat tidur, bahkan tidak sempat mencuci muka, menahan taksi, dan langsung menuju kantor.
Grup Septian.
Pagi-pagi sekali, Anita sudah sampai di kantor.
Melihat Hans, dia langsung mendekatinya. "Hans, apa kamu marah padaku?"
Hans bergumam, "Hmm?"
"Kemarin kamu sangat dingin padaku. Sebenarnya, aku nggak merasa begitu sombong. Semua ini karena kakakku yang sombong, dia bilang dia adalah istri yang sah bagimu. Jadi, aku kehilangan akal dan melakukan hal bodoh. Ke depannya aku nggak akan melakukannya lagi. Jangan marah, ya?" Anita menggerutu, "Aku nggak bisa tidur semalaman. Aku tahu kalau aku salah."
Bagaimanapun juga, dia adalah pacarnya, membuat sedikit kesalahan, bisa ditoleransi.
Hans berkata dengan tenang, "Aku sudah bilang akan menikahimu dan aku pasti akan mematuhi janji itu. Nggak peduli apa yang orang lain katakan, jangan biarkan dirimu emosi oleh kata-kata orang lain."
"Hmm."
Anita mengangguk.
"Ayo kita ke ruang rapat."
Anita tersenyum. "Baiklah."
Ruang rapat.
Setelah menerima pemberitahuan, semua eksekutif perusahaan telah duduk di tempat mereka.
Hans meneguk kopi, kaki panjangnya saling menyilang.
Sementara Anita duduk di sebelahnya, wajahnya penuh dengan kegembiraan dan harapan.
Dia sudah tidak sabar untuk melihat Julia berlutut di depan semua orang untuk meminta maaf padanya.
Namun, saat pukul delapan, Julia belum muncul.
Setelah menunggu sepuluh menit lagi, dia tetap tidak terlihat.
Ekspresi wajah Hans sangat muram.
Ekspresi wajah Anita juga berubah. Dia menanyakan dengan suara rendah, "Hans, apa dia menarik diri?"
"Telepon dia!" jawab Hans.
Hamid meneleponnya dan telpon tidak diangkat.
Dia dengan hati-hati berkata, "Pak Hans, ponselnya mati. Dia nggak bisa dihubungi."
Mendengar kata-kata itu, api kemarahan yang meluap terlihat di mata Hans.
Bagus sekali!
Bukan hanya menipunya, dia juga berani mengingkari janji.