Bab 2
Saat ini di kehidupan sebelumnya, Ophelia tengah dijebak oleh kakak angkatnya, Dennis Haggins. Dia dibuat pingsan dan dikurung di kamar hotel untuk dijadikan alat pelunasan utang dengan mengirimnya ke ranjang kreditur.
Waktu itu, dia terpaksa melompat keluar dari jendela untuk kabur. Alhasil, Dennis berhasil mengejarnya dan mematahkan tangan kanannya sehingga dia tidak bisa mempraktikkan medis lagi.
Di kehidupan kali ini, dia harus bertindak terlebih dahulu dan membangun jalan berdarahnya sendiri!
Pada saat yang sama di depan pintu kamar, Dennis sudah tiba dengan sang kreditur. Dia membungkuk seraya berkata, "Kak Rudy, ini kamarnya. Sesuai kesepakatan kita, setelah aku menyerahkan adikku padamu, semua utangku lunas!"
Kreditur yang bernama Rudy itu melirik ke pintu yang tertutup rapat dengan antusias. Dia membalas, "Dennis, aku nggak menyangka kamu rela mengorbankan adikmu untuk melunasi utang."
"Toh, dia bukan adik kandungku," gumam Dennis. Kemudian, dia berkata dengan nada menjilat, "Kak Rudy, ini kartu kamarnya, silakan!"
Rudy mengambil kartu kamar dan langsung menggeseknya dengan tidak sabar.
Ketika dia pergi menagih utang beberapa hari lalu, dia melihat Ophelia. Meskipun gadis itu masih muda, dia benar-benar cantik.
Saat itu, dia sudah menginginkan gadis itu. Setelah menahan diri selama beberapa hari, kini akhirnya keinginannya terwujud. Bagaimana dia bisa bersabar?
Sekelompok anak buah Rudy bersiul dan berujar, "Malam ini Kak Rudy bakal senang-senang, nih!"
Rudy tidak menoleh. Lemak di perutnya sampai bergetar saking semangatnya. Sambil memasuki kamar gelap itu, dia berkata, "Kalian tunggu saja. Setelah aku puas, kalian pasti akan kubagi!"
Para anak buah itu bersorak gembira.
Siapa sangka, begitu Rudy melangkah masuk, sebuah vas menghantamnya dari kegelapan hingga pandangannya menggelap dan kepalanya berdarah.
Sebelum orang-orang itu sempat bereaksi, vas yang menghantam kepala Rudy tadi kembali menghantam kepala Dennis yang jaraknya paling dekat.
Jeritan kesakitan Dennis menyadarkan para anak buah Rudy. Mereka semua menoleh ke orang yang berjalan keluar dari dalam kamar.
Lampu koridor bersinar menerangi tubuh Ophelia.
Dia memegang sebuah vas bunga yang masih meneteskan darah di bagian dasarnya. Wajahnya yang dingin dan tanpa ekspresi, serta matanya yang bersinar acuh tak acuh membuatnya terkesan seperti psikopat pembunuh.
Dennis yang kepalanya berdarah menatap Ophelia dengan ekspresi terkejut.
Entah mengapa, adiknya seperti tiba-tiba berubah menjadi orang lain. Dari yang sebelumnya penurut, kini terlihat begitu galak. Tatapan matanya seperti pisau yang menusuk langsung ke jantung seseorang.
"Sialan."
Rudy yang dihantam vas hingga kepalanya terluka meraung, "Tolol kalian semua! Ikat gadis ini, malam ini aku akan memberinya pelajaran!"
Mendengar itu, para anak buahnya segera maju untuk meringkus Ophelia.
Mana mungkin Ophelia akan memberi mereka kesempatan?
Dia mengayunkan vas bunga di tangannya sambil menghindari serangan seseorang dari belakang. Kemudian, dia menendang lutut orang di depannya hingga orang itu terjerembap. Setelah itu, dia membanting vas yang masih utuh itu ke lantai.
Prang!
Vas bunga itu pecah dan serpihan tajamnya terbang ke mana-mana.
Para anak buah termasuk Rudy dan Dennis refleks menghindar. Ophelia memanfaatkan kesempatan ini untuk segera berlari menuju ujung koridor.
Di ujung koridor itu ada lift, serta pintu darurat di sampingnya.
Sebelum Ophelia masuk ke pintu darurat, dia menoleh ke belakang. Rudy dan Dennis yang berlumuran darah mengejarnya bersama para anak buah. Mereka semua terlihat sangat marah, seolah-olah ingin menelannya hidup-hidup.
Ophelia tersenyum tipis dan mengacungkan jari tengah pada mereka.
Para pecundang!
Wajah Rudy sampai berubah warna saking marahnya. Dia berseru dengan galak, "Tangkap dia!"
Para anak buahnya sangat kompak. Beberapa orang terus mengejar, sedangkan yang lainnya mengambil jalan pintas untuk mengadang Ophelia.
Rudy menyeringai, lalu berkata pada Dennis, "Kalau dia lolos, aku nggak hanya akan menagih pokok utang dan bunganya, tapi juga memotong satu tanganmu!"
Mendengar itu, wajah Dennis langsung pucat ketakutan. Dia tahu betul orang seperti apa Rudy itu. Pria itu memiliki banyak koneksi dan selalu menepati janjinya.
Dia memaki Ophelia dalam hati. Kalau bukan karena gadis itu, dia tidak akan diancam seperti ini!
"Tenanglah, Kak Rudy. Aku janji akan membawanya ke hadapanmu."
Usai berkata begitu, Dennis segera mengejar Ophelia dengan wajah bengis. Dia sama sekali tidak memedulikan luka di kepalanya.
Setelah dia menangkap gadis itu, dia akan mematahkan tangan dan kakinya. Dia akan memastikan Ophelia tidak bisa kabur lagi!
Hotel ini berada di seberang persimpangan jalan besar yang ramai. Di tengah pelariannya, Ophelia terpaksa berhenti.
Jalan di depan dan di kedua sisinya sudah diadang sekelompok anak buah Rudy.
Dia terjebak.
Dennis yang baru menyusul tersenyum puas dan berkata, "Ophelia, larilah kalau kamu mampu. Biarpun kamu lari ke ujung bumi, aku pasti menangkapmu! Kamu nggak akan pernah bisa kabur dari cengkeramanku!"
Ekspresi Ophelia tetap datar, bahkan dia sama sekali tidak mengernyit.
Dia tidak akan bisa kabur lagi. Depan, belakang, kiri, dan kanan sudah dikerubungi orang-orang Rudy. Melihat preman-preman berwajah galak itu, para pejalan kaki juga menghindar, tidak berani ikut campur.
Ophelia sendirian dan tidak berdaya.
Sambil menyeka darah di kepalanya, Dennis melangkah cepat menghampiri Ophelia. Dia mengambil tongkat dari salah satu anak buah Rudy dan mengayunkannya dengan kuat ke arah kaki Ophelia.
Dia menggeram, "Kamu mau lari, hah? Aku akan pastikan kamu nggak bisa lari lagi!"
Kejadian di kehidupan lalu seperti terulang kembali. Bedanya, saat itu Dennis mematahkan tangan kanan Ophelia, sedangkan kali ini dia ingin mematahkan kaki Ophelia.
Ketika tongkat itu hampir mengenainya, mata Ophelia berkilat tajam. Dia menangkap pergelangan tangan Dennis, lalu menekan otot dan titik akupunktur Dennis dengan cepat. Kemudian, dia membalikkan tubuh Dennis dan menekannya di tanah dengan kuat.
Lengan Dennis ditekuk pada posisi yang tidak wajar. Seiring terdengarnya suara retak tulang, Dennis menjerit kesakitan.
"Akh! Sakit, sakit! Cepat lepaskan, lepaskan aku!"
Ophelia tidak bergerak dari posisinya.
Teknik ini diajarkan seorang narapidana setelah dia berulang kali ditindas saat di penjara di kehidupan sebelumnya.
Jika tubuhnya tidak dalam keadaan lemah sekarang, dia pasti sudah langsung mematahkan lengan Dennis.
Di tengah jeritan pilu Dennis, Ophelia justru tersenyum. Senyuman itu tidak mencapai mata, justru malah mengandung kebencian yang dalam. Dia berkata, "Sakit, hm? Waktu kamu mematahkan tangan kananku, aku jauh lebih sakit dari ini."
Dennis tertegun sejenak, lalu memaki, "Kamu sinting, hah? Kapan aku pernah mematahkan tanganmu?"
Waktu dia ingin mematahkan kaki Ophelia, dia bahkan sudah diserang sebelum sempat bertindak.
Ophelia tidak menjelaskan apa-apa. Saat ini dia hanya dikuasai kebencian.
Di kehidupan lalu, Dennis telah mematahkan tangannya. Akibatnya, sepuluh tahun yang dihabiskannya untuk belajar medis terbuang sia-sia. Hal ini menghancurkan kebanggaan dan kepercayaan dirinya. Akhirnya, dia kehilangan kekuatan untuk melindungi diri sendiri dan disakiti dengan cara yang begitu kejam hingga kehilangan nyawanya!
Jadi, alih-alih melepaskan Dennis, Ophelia malah memperkuat cengkeraman tangannya.
Tanpa sepengetahuan Ophelia, seseorang di dalam gedung seberang menyaksikan semua ini sambil menggoyang gelas minumannya.
Orang itu adalah Gavin Roberts, putra ketiga keluarga Roberts.
Setelah menyaksikan kejadian seru itu, Gavin berbalik dan berseru pada seseorang yang sedang duduk di sofa kulit, "Pak Hunter, cepat lihat ini. Gadis di lantai bawah ini hebat sekali, bisa melawan sepuluh orang sendirian!"
Mendengar itu, pria di sofa itu hanya bergerak sedikit.
Di malam yang gelap dan di bawah lampu temaram, siluet seorang pria perlahan muncul di jendela kaca.
Dia bertubuh tinggi, dengan perangai santai tetapi berwibawa. Jas yang dirancang khusus sangat pas di tubuhnya. Setiap gerak-geriknya memancarkan aura mengintimidasi yang membuat orang-orang seketika menahan napas.
Jika orang lain melihatnya, mereka pasti langsung berlutut ketakutan dan memanggilnya "Pak Hunter" dengan suara bergetar.
Dia Hunter Black, pemegang kekuasaan keluarga Black di ibu kota. Pria yang sangat berkuasa dan pemilik kekayaan yang bisa menyaingi negara!
Dia terkenal kejam, temperamental, dan tidak tertebak.
Orang-orang yang melihatnya pasti menyingkir. Jika tidak, siapa yang bisa menjamin keselamatan mereka?
Tidak ada yang menyangka bahwa seorang pria berpengaruh sepertinya akan muncul di Kota Hoburgh.
Setelah melirik situasi di bawah, Hunter mencibir bosan, "Apanya yang seru?"
"Seru!" balas Gavin sambil menggoyang gelasnya dengan raut bersemangat. "Menurut informasi terbaru yang kuterima, gadis di bawah itu adalah putri kandung keluarga Hawkin yang hilang. Drama putri asli dan palsu ini seru, tahu!"
Keluarga Hawkin?
Mata gelap Hunter sedikit berkilat.
Gavin mengangkat alisnya dan berbisik, "Kalau benda itu benar-benar ada di keluarga Hawkin, kita harus cari kesempatan untuk memeriksanya."
Hunter tersenyum miring. Matanya yang hitam pekat menatap tajam ke arah Ophelia di bawah. Dia membuka bibir tipisnya dan berkata, "Aku suka mata itu."
"Kamu tertarik padanya?" goda Gavin. Namun, dia lalu mendengar Hunter menambahkan dua kata lagi dengan santai.
"Ingin kucungkil."
Gavin tercekat, lalu akhirnya bergumam, "Kamu benar-benar raja neraka."
Di lantai bawah.
Wajah Dennis berkerut kesakitan karena tangannya masih dicengkeram erat. Sambil menahan sakitnya, dia berseru pada para anak buah itu, "Kenapa kalian diam saja? Cepat tangkap dia! Kalau nggak, Kak Rudy nggak akan mengampuni kalian!"
Para anak buah itu segera bersiap untuk menangkap Ophelia. Namun, tiba-tiba mereka diterangi lampu beberapa mobil. Mobil-mobil mewah seharga miliaran segera mendekat. Pelat nomor mobil yang unik dan mewah itu begitu mudah dikenali. Itu adalah mobil milik keluarga Hawkin, keluarga paling terkemuka di Kota Hoburgh!
Para anak buah itu saling memandang, lalu refleks mundur beberapa langkah.
Mereka tidak berani mengganggu keluarga Hawkin.
Dennis jelas tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mulutnya masih terus melontarkan kata-kata makian kotor.
Ophelia memperkirakan waktu dan menghitung mundur dengan suara pelan, "Tiga, dua, satu."
Begitu selesai menghitung, suara tangisan seseorang tiba-tiba terdengar di tengah angin malam yang sejuk. Detik berikutnya, tubuh Ophelia dipeluk erat.
"Putriku, oh putriku, akhirnya Ibu menemukanmu ... "