Bab 5
Gio menampar Claire dengan begitu kuat, sampai-sampai Claire terjatuh ke atas lantai.
Pipinya segera memerah dan bengkak, bahkan darah mulai mengalir dari sudut mulut Claire!
Telinga Claire juga terasa berdengung.
Rasanya Claire tidak bisa mendengar atau melihat apa pun.
Begitu tangan Claire yang gemetar menyentuh bekas tamparan di pipinya, air mata pun mengalir turun dengan deras.
Baru pertama kali ini Gio menamparnya.
Namun, belum sempat Claire bereaksi, sosok Gio sudah menghilang dengan cepat keluar pintu.
Claire menarik napas dalam-dalam, lalu segera bangkit berdiri dan ikut mengejar.
Dia takut Nadine akan mengalami kecelakaan seperti di kehidupan sebelumnya.
"Ctaar!"
Bunyi guntur terdengar bersahut-sahutan dan hujan yang deras pun turun.
Di tengah guyuran hujan, tampaklah sosok jangkung Gio yang sedang memeluk Nadine yang bertubuh mungil dengan erat.
Nadine terus meronta dan berujar dengan putus asa, "Ini adalah hari terpenting buatku, tapi dia malah begitu! Bisa-bisanya kamu menyuruhku tinggal di sana! Dia masih begitu mendambakanmu, jadi lebih baik kukembalikan saja kamu padanya. Aku juga nggak mau bersaing dengan seorang gadis muda ...."
Gio memeluk Nadine dengan makin erat. "Nggak, Nadine, aku nggak bakal jatuh cinta padanya. Kamu tahu betul sudah berapa lama aku menyukaimu. Apa kamu berniat menghancurkan hatiku dengan menyuruhku bersama orang lain?"
Gio pun membungkuk hendak mencium Nadine.
Namun, tiba-tiba lampu mobil yang menyilaukan bergegas melaju ke arah mereka.
Claire yang baru saja berhasil mengejar pun sontak berdiri mematung saat melihat darah yang mengalir deras!
Lampu ruang penanganan UGD menyala.
Para dokter bergegas memasangkan peralatan medis pada Gio untuk melakukan pertolongan pertama.
Namun, Gio tidak peduli dengan luka-lukanya dan bersikeras agar para dokter itu menyelamatkan Nadine terlebih dahulu.
"Tapi, Pak Gio, luka Anda yang paling parah."
Gio menyahut dengan lemah dan gemetar, "Jangan khawatirkan aku, selamatkan dia dulu ...."
Para dokter pun mau tidak mau membawa Nadine yang tidak sadarkan diri ke ruang operasi.
Tidak lama kemudian, salah seorang dokter bergegas keluar sambil berkata, "Pasien mengalami pendarahan hebat. Apa ada yang golongan darahnya A?"
Gio refleks berlari turun dari tempat tidur meskipun perawat melarangnya.
"Aku! Ambil saja darahku!"
"Tapi, Pak Gio ...."
"Sudah, diam! Cepatlah!"
Kantong-kantong darah berwarna merah pun segera memenuhi nampan medis di samping, sementara wajah Gio menjadi pucat.
Gio baru bersedia berbaring di atas ranjang operasi dan dibawa masuk ke dalam ruang operasi darurat setelah dia yakin bahwa Nadine baik-baik saja.
Claire yang tidak tahan menyaksikan lebih lama lagi pun berbalik badan dan berjalan keluar.
Dia tahu betul betapa Gio mencintai Nadine. Bagi Gio, Nadine bahkan lebih penting daripada nyawanya sendiri.
Seandainya saja Claire lebih cepat menyadarinya, tentu di kehidupan sebelumnya dia tidak akan berakhir setragis itu.
Padahal sekarang Claire sudah mengubah arah hidupnya, tetapi tetap saja Nadine mengalami kecelakaan.
Ini semua karena surat cinta dan lukisan yang dia buat.
Masalahnya, Claire juga tidak mengerti kenapa semua barang itu bisa muncul. Jelas-jelas semuanya sudah dia hancurkan.
Jika dipikir-pikir lagi sekarang, satu-satunya orang yang mungkin saja menyimpan semua karya Claire dan menampilkannya itu adalah Nadine.
Namun, untuk apa juga Nadine melakukannya? Jelas-jelas dia sudah resmi bersama Gio.
Claire tidak tahu apa jawabannya, tetapi dia juga tidak mau terlalu memikirkannya.
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, Gio pun diperbolehkan pulang. Begitu pulang, dia langsung memerintahkan pengawalnya untuk melemparkan Claire ke dalam gudang pendingin.
Udara yang dingin tajam menusuk langsung menerjang sekujur tubuh Claire.
Claire memandang sekelilingnya dengan wajah pucat, seulas senyuman getir tersungging di bibirnya.
Dia bahkan sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali dia merasa kedinginan seperti ini.
Sewaktu masih kecil, Claire pernah secara tidak sengaja terjatuh ke dalam danau yang dingin hingga tubuhnya lemas. Sejak saat itulah Claire memiliki rasa trauma terhadap udara dingin.
Itu sebabnya penghangat di dalam vila selalu dinyalakan.
Namun, sekarang Gio malah menggunakan trauma Claire sebagai hukuman karena Claire masih menyimpan rasa terhadap Gio dan secara tidak langsung menyakiti Nadine.
Claire refleks meringkuk dengan harapan bisa merasa sedikit lebih hangat, tetapi percuma saja. Pada akhirnya dia hanya bisa mengerang dengan getir.
Pelayan yang berada di luar gudang pendingin akhirnya tidak tahan lagi, jadi dia berbisik, "Nona Claire, lebih baik Nona minta maaf dulu ke Pak Gio. Kalau nggak, nanti badan Nona Claire sendiri yang menderita ...."
Mata Claire sontak menjadi berkaca-kaca.
Dia akui dia memang salah di kehidupan yang sebelumnya.
Masalahnya, dia tidak melakukan kesalahan apa pun di kehidupan yang kali ini. Kenapa dia harus meminta maaf?
Apalagi karena sekarang perasaan Gio benar-benar tertuju pada Nadine seorang dan pria itu sama sekali tidak mau mendengarkan penjelasan Claire.
Angin yang dingin pun bertiup dengan kencang dari segala penjuru, membuat bulu mata Claire bahkan mulai ditutupi bunga es.
Detak jantung Claire perlahan melambat dan pikirannya makin kabur ....
Matanya pun pada akhirnya perlahan terpejam dan dia kehilangan kesadaran.